Kru gabungan AS-Uni Soviet untuk Proyek Uji Apollo Soyuz. Astronot Thomas P. Stafford (berdiri di sebelah kiri), komandan kru Amerika; Kosmonot Aleksey A. Leonov (berdiri di sebelah kanan), komandan kru Soviet; Astronot Donald K. Slayton (duduk di sebelah kiri), pilot modul dok kru Amerika; Astronot Vance D. Brand (duduk di tengah), pilot modul komando kru Amerika; dan Kosmonot Valeriy N. Kubasov (duduk di sebelah kanan), teknisi kru Soviet. (NASA)

15 Juli 1975 menjadi penanda peristiwa bersejarah yang nyaris mustahil dibayangkan satu dekade sebelumnya. Di tengah bayang-bayang Perang Dingin dan persaingan ideologi global, Amerika Serikat dan Uni Soviet dua kekuatan adidaya yang pernah bersaing keras dalam Space Race memutuskan untuk bekerja sama dalam sebuah misi luar angkasa.

Misi itu dikenal sebagai Apollo–Soyuz Test Project (ASTP), kolaborasi luar angkasa pertama antara dua negara yang sebelumnya lebih sering saling berhadapan.

Selama sembilan hari, tiga astronaut NASA dan dua kosmonot Soviet menjalankan misi gabungan yang dirancang tidak hanya sebagai uji teknis, tetapi juga sebagai simbol diplomasi antariksa yang melampaui batas geopolitik.

Awal Mula dari Ketegangan

Melansir laman resmi NASA, sejak peluncuran Sputnik pada 1957 dan keberhasilan Yuri Gagarin ke orbit pada 1961, Uni Soviet memimpin di awal perlombaan antariksa.

Amerika Serikat menyusul dengan misi Apollo yang sukses mendaratkan manusia di Bulan pada 1969. Namun selama dua dekade, hubungan antara kedua negara didominasi persaingan sengit—baik di Bumi maupun di luar angkasa.

Tetapi pada awal 1970-an, angin politik mulai berubah. Pemulihan hubungan diplomatik dan semangat détente antara Washington dan Moskow memberikan peluang untuk inisiatif kerja sama.

Dari sinilah lahir gagasan untuk sebuah proyek gabungan luar angkasa—misi yang akan mempertemukan dua teknologi, dua filosofi, dan dua bangsa dalam satu tujuan bersama.

Tepat pada tanggal 15 Juli 1975, NASA meluncurkan wahana antariksa Apollo dari Kennedy Space Center di Florida menggunakan roket Saturn IB. Tiga awak di dalamnya adalah astronaut veteran: Thomas Stafford, Vance Brand, dan Donald “Deke” Slayton.

Dua hari kemudian, pada 17 Juli, Apollo berhasil merapat dengan wahana Soyuz 19 milik Uni Soviet, yang telah lebih dulu diluncurkan dari Baikonur Cosmodrome dengan membawa dua kosmonot: Alexei Leonov manusia pertama yang melakukan spacewalk dan Valeri Kubasov.

Misi ini menjadi momen pertama dalam sejarah umat manusia ketika dua wahana dari negara berbeda, dengan sistem teknologi yang dirancang secara terpisah, berhasil docking di orbit dan memungkinkan pertukaran kru secara langsung di luar angkasa.

Teknologi yang Mempersatukan

Untuk mewujudkan pertemuan itu, dibutuhkan lebih dari sekadar kesepakatan politik. NASA dan Badan Antariksa Soviet bekerja bersama selama bertahun-tahun untuk mengembangkan modul dok universal—sebuah ruang kedap udara yang juga berfungsi sebagai koridor penghubung antarwahana.

Modul ini dirancang oleh NASA dan memungkinkan kru bertukar tempat secara aman meski lingkungan kerja mereka berbeda secara teknis, bahasa, dan prosedur.

Pesawat Apollo sendiri merupakan modifikasi dari versi yang sebelumnya membawa manusia ke Bulan dan ke stasiun luar angkasa Skylab. Beberapa sistem tambahan ditanamkan untuk memungkinkan integrasi dengan sistem Soviet, termasuk perangkat eksperimental, tangki propelan ekstra, serta peralatan komunikasi.

Di sisi lain, Soyuz 19 merupakan evolusi dari seri Soyuz yang telah digunakan oleh Uni Soviet sejak 1967 dan kelak menjadi tulang punggung sistem penerbangan antariksa berawak Rusia hingga saat ini.

Pertemuan antarwahana itu bukan sekadar aksi teknis. Ia menjadi panggung simbolik yang menggetarkan dunia. Dalam sambutan yang disiarkan ke seluruh penjuru Bumi, astronaut dan kosmonot saling berjabat tangan di dalam modul dok, dan menyampaikan pesan perdamaian dalam bahasa masing-masing.

Selama dua hari kegiatan bersama, para awak melakukan lima eksperimen ilmiah bersama yang mencakup studi tentang radiasi ultraviolet dan observasi atmosfer Bumi.

Mereka juga bertukar cendera mata, seperti bendera, medali, dan potret pemimpin negara masing-masing. Salah satu momen paling ikonik adalah ketika mereka menyantap hidangan ruang angkasa dan bercanda tentang perbedaan rasa antara masakan Amerika dan Soviet.

Meskipun hanya berlangsung sembilan hari, Proyek Uji Apollo–Soyuz bukanlah sekadar eksperimen sistem docking atau diplomasi simbolik. Ia adalah landasan awal kerja sama internasional di luar angkasa yang kelak melahirkan misi-misi besar seperti:

1. Pesawat Ulang Alik–Mir (kerja sama AS dan Rusia di 1990-an)

2. Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS)—yang hingga kini dihuni oleh awak multinasional dalam semangat kolaborasi lintas negara

Apollo–Soyuz adalah pembuka pintu. Ia menunjukkan bahwa bahkan di tengah dunia yang terbagi oleh ideologi, kerja sama ilmiah dan kemanusiaan tetap mungkin dilakukan.

Teknologi bisa menjadi alat perdamaian, dan luar angkasa yang tak dimiliki siapa pun dapat menjadi ruang bersama untuk membangun masa depan.

Hari ini, saat dunia kembali menghadapi ketegangan geopolitik, kisah Apollo–Soyuz 1975 menjadi pengingat bahwa kerja sama bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan.

Di atas atmosfer, tempat tidak ada perbatasan dan bendera tidak berkibar, umat manusia pernah memilih untuk bersalaman daripada bersaing.

Dan semua itu dimulai dari sebuah pertemuan di langit, 230 kilometer di atas Bumi, antara dua pesawat dan dua bangsa yang memilih untuk menjadi mitra, bukan lawan. [UN]