“Cebong” versus “Kampret” dan Polarisasi Politik Pascapilpres

Ilustrasi/EPA-Dedi Sinuhaji

Koran Sulindo – Pemilu 2019 sudah berakhir dan hasil hitung cepat dari mayoritas lembaga survei menunjukkan petahana Joko “Jokowi” Widodo dan pasangannya Ma’ruf Amin akan memimpin Indonesia periode 2019-2024.

Namun pesaing Jokowi, Prabowo Subianto, menolak hasil hitung cepat ini. Prabowo mengklaim bahwa ia yang menang.

Pertarungan wacana kemenangan antara kedua kubu juga masif terjadi di ranah media sosial melalui tagar #JokoWinElection versus #VictoryForPrabowo.

Dari preseden di atas, saya berargumen bahwa polarisasi politik paska pemilu 2019 akan semakin tajam sebagai akibat akumulasi dari strategi kampanye yang dilakukan kedua kubu sejak pemilihan presiden (pilpres) pada tahun 2014.

Semakin Tajam

Polarisasi politik antara pendukung Jokowi dan Prabowo akan semakin tajam karena pilpres 2019 merupakan kelanjutan pertarungan kedua kubu pada pilpres 2014 yang tampaknya belum selesai.

Pengamat politik Indonesia dari Australian National University Marcus Meitzner (2017) menggambarkan pemilihan presiden (pilpres) 2014 sebagai pertarungan antara dua kelompok politik di Indonesia.

Pendukung Jokowi mewakili kelompok yang disebut Meitzner sebagai kelompok teknokrat yang populis. Mereka merupakan varian dari gerakan populisme modern yang menggunakan persona individu untuk memobilisasi massa.

Sebelum berkarir di politik, Jokowi adalah seorang pengusaha mebel dari Solo, Jawa Tengah. Dia memulai karir politiknya ketika menang menjadi walikota Solo tahun 2005 dengan dukungan partai politik. Karirnya melesat dan dia dipilih menjadi gubernur DKI Jakarta tahun 2012 sebelum akhirnya mencalonkan diri sebagai presiden tahun 2014.

Kelompok ini merespons positif citra Jokowi sebagai politikus generasi baru yang merupakan produk reformasi dan bukan bagian dari patron elite masa lalu. Mereka mengapresiasi pendekatan politik Jokowi yang moderat dan inklusif yang bersandar pada reformasi.

Berseberangan dengan kubu Jokowi adalah kelompok ultra nasionalis yang populis. Mereka mewakili pendukung Prabowo yang suka dengan pendekatan jagoannya yang pro rakyat miskin, anti “status quo”, dan anti Barat. Mereka juga mendukung tiga agenda utama gerakan populis yang diadopsi Prabowo.

Ketiga agenda itu adalah mengganti sistem politik yang sudah rusak, menolak campur tangan pihak luar dalam perekonomian dan pengelolaan kekayaan alam, dan mengganti elite politik korup yang adalah antek asing.

Strategi ini terbukti efektif di beberapa negara. Keberhasilan metode bisa dilihat lewat keberhasilan Hugo Chavez di Venezuela, Rodrigo Duterte di Filipina dan Donald Trump di Amerika Serikat

Munculnya kedua kubu yang berseberangan ini menciptakan fanatisme akut yang membelah masyarakat menjadi dua kubu pada pilpres 2014.

Lahirnya Cebong dan Mampret

Jokowi memenangkan pilpres 2014 dengan margin tipis. Perbedaan raihan suara antara Jokowi dan Prabowo pada 2014 merupakan yang paling tipis di antara pilpres sejak 1998, menandai ketatnya persaingan antara kedua kubu.

Keengganan Prabowo mengakui kekalahannya pada pilpres 2014 diduga menjadi pemicu keberlangsungan segregasi politik sepanjang masa pemerintahan Jokowi 2014-2019.

Tidak lama kemudian pendukung masing-masing kubu menemukan istilah untuk memanggil kubu lawannya. Muncullah panggilan cebong dan kampret.

Sebagian pendukung fanatik Prabowo menggunakan kata cebong untuk merujuk pada pendukung fanatik Jokowi. Istilah cebong muncul dari kata kecebong yang merupakan anak katak. Istilah ini berasal dari kegemaran Jokowi memelihara kodok ketika menjadi Walikota Solo.

Sedangkan pendukung fanatik Jokowi membalas dengan menggunakan kata kampret untuk merujuk pada pendukung fanatik Prabowo. Awalnya, kata itu muncul sebagai ekspresi umpatan kekesalan yang digunakan pendukung Prabowo untuk mengomentari kebijakan Jokowi.

Rakyat di Ujung Tanduk

Pertarungan yang belum selesai ini berlanjut pada pilpres 2019 dan semakin diperparah dengan beberapa faktor:

Perselisihan antara kedua kelompok ini berlanjut pada tataran legislatif dan eksekutif. Partai-partai oposisi di parlemen yang dimotori oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang didirikan oleh Prabowo selalu mengkritik Kebijakan pemerintahan Jokowi.

Berbagai isu sosial, ekonomi dan politik yang muncul dalam ranah publik atau media sosial selalu terbagi menjadi dua kubu tanpa adanya dialog publik.

Misalnya isu pembangunan jalan tol di Jawa menjadi isu partisan antara kedua kelompok. Perdebatan antara “tol milik Jokowi” dan “rakyat tidak makan infrastruktur” tidak bisa dihindari tanpa ada diskusi substantif terkait isu yang lain seperti tarif dan penggunaan fasilitas jalan tersebut.

Politik partisan juga merembet ke pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti di DKI Jakarta. Kemenangan Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta pada tahun 2017 diidentikkan dengan kemenangan kubu Prabowo.

Para ahli berpendapat kemenangan Anies disebabkan penggunaan politik populis yang juga dipakai Prabowo. Pendekatan menggunakan isu agama sebagai senjata terbukti ampuh untuk meraih kemenangan.

Dengan ketiga kondisi di atas, maka polarisasi politik paska pilpres 2019 menjadi semakin tajam karena kontes politik melibatkan dua kandidat yang sama dengan kondisi publik yang sudah partisan.

Sikap Prabowo yang mengklaim kemenangan pilpres 2019 akan semakin mempertajam perpecahan di kalangan publik sama seperti yang dilakukannya pada pilpres 2014.

Strategi Sama tapi Polarisasi semakin Tajam

Belajar dari kemenangan Anies, Jokowi tampaknya mengadopsi pendekatan kelompok Prabowo yang menggunakan isu agama. Ini alasannya kenapa Jokowi kemudian memilih tokoh Islam konservatif Ma’ruf Amin sebagai wakil presidennya.

Meski kedua kelompok baik Jokowi dan Prabowo akhirnya sama-sama menggunakan isu Islam, hal ini tetap tidak meredakan polarisasi yang ada antara kedua kelompok.

Setelah Jokowi memilih Ma’ruf, pendukung Prabowo menuding Jokowi mempolitisasi isu SARA (Suku, Agama, dan Ras) untuk kepentingan politiknya.

Jika kelompok Prabowo sering sekali mengkapitalisasi isu agama melalui gerakan massif, seperti Gerakan 212 dan Munajat 212, maka Jokowi, sejauh ini, tampaknya enggan memobilisasi massa atas nama agama.

Tidak adanya gerakan tandingan massa dari Jokowi yang mengatasnamakan Islam membuat fanatisme kubu Prabowo semakin mengerucut dan mempertajam politik identitas.

Apa yang bisa Dilakukan

Langkah yang ditempuh kubu Prabowo saat ini dengan mengklaim kemenangan pilpres tanpa didukung hasil pemilu, dapat mencederai proses demokrasi dan mempertajam perbedaan.

Lini masa sosial media memperlihatkan militansi dukungan terhadap Prabowo tetap yakin dirinya menang terus menguat. Hal ini akan menyebabkan bukan hanya polarisasi politik, tetapi bisa berujung kepada segregasi sosial dan perpecahan anak bangsa.

Apabila terjadi segregasi sosial akan sangat mudah negara menjadi terpecah atas dasar perbedaan ideologi atau pilihan politik.

Kasus perpecahan bangsa setelah pemilihan umum (pemilu) pernah terjadi di Kenya tahun 2007. Persaingan antara dua kandidat calon presiden, berujung dengan 630.000 orang kehilangan tempat tinggal dan 1.133 terbunuh.

Untuk mencegah kasus seperti di Kenya, kita harus memperbaiki kondisi politik saat ini dengan menggunakan pendekatan dari atas ke bawah.

Hal ini bisa dilakukan melalui rekonsiliasi oleh kedua kandidat dan elite politik pendukungnya saat ini.

Salah satunya bisa dilakukan dengan menempatkan persatuan bangsa di atas kepentingan politik golongan. Pernyataan kekalahan dari pihak Prabowo dan elite pendukungnya bisa menjadi permulaan. Kemudian dilanjutkan dengan Jokowi melakukan pidato kemenangan. Kedua hal ini bisa menjadi tradisi baru dalam demokrasi untuk meredakan ketegangan di kalangan akar rumput.

Sikap kenegarawanan dari kedua kandidat untuk sama-sama mengakui hasil pemilihan tanpa menempuh proses hukum dapat menjadi angin segar untuk mengakhiri polarisasi politik yang terjadi sejak 2014. [Whisnu Triwibowo, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.