JIKA berjalan kaki di Pulau Dewata seringkali kita tidak sengaja menginjak atau repot menghindar dari sesajen yang berserak di segala sudut ruang terbuka. Rangkaian sesajen kecil yang ada dimana-mana itu mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali, dan dikenal dengan nama Canang atau Canang Sari.
Canang sari merupakan upakāra (perlengkapan) keagamaan umat Hindu di Bali untuk persembahan tiap harinya. Persembahan ini dapat ditemui di berbagai Pura, tempat sembahyang kecil di rumah-rumah, dan di jalan-jalan sebagai bagian dari sebuah persembahan yang lebih besar lagi. Kata canang terdiri atas dua suku kata bahasa Kawi, “ca” (indah) dan “nang” (tujuan). Dengan demikian, pengertian Canang dapat djabarkan menjadi sebuah sarana yang bertujuan untuk memohon keindahan (sundharam) ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Bali memiliki tiga tingkatan upakara, yakni Nista, Madya dan Utama. Ketiga tingkatan inilah yang mendasari umat Hindu dalam melakukan yadnya (kurban suci) sesuai kemampuan, agar yadnya yang dilakukan tidak memberatkan. Upakara dengan kuantitas terkecil dikenal dengan istilah Nista, di mana salah satunya cukup dengan sarana upakara berupa Canang. Dalam penyusunan Canang banyak melibatkan unsur-unsur mulai dari bunga-bungaan hingga wadahnya yang biasa disebut tamas atau ceper, namun tidaklah sesederhana yang tampak.
Simbolisme dari bagian-bagian penyusun Canang adalah sebagai berikut:
Ceper. Ceper adalah alas dari sebuah canang yang memiliki bentuk segi empat dan melambangkan angga-sarira (badan). Keempat sisi ceper melambangkan pembentuk angga-sarira, yaitu Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, dan Panca Karmendriya. Canang yang dialasi ceper merupakan simbol Ardha Candra, sedangkan yang dialasi oleh tamas kecil merupakan simbol dari Windhu.
Beras; atau wija melambangkan Sang Hyang Ātma atau yang membuat badan menjadi hidup, melambangkan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Ātma.
Porosan; atau peporosan terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir) yang melambangkan Tri-Premana, yaitu Bayu (pikiran), Sabda (perkataan), dan Idep (perbuatan). Ketiganya membuat tubuh yang bernyawa dapat melakukan aktivitas. Porosan juga melambangkan Trimurti, yaitu Siwa (kapur), Wisnu (sirih), dan Brahma (gambir). Porosan mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati (poros) penuh cinta dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Jajan, Tebu, dan Pisang; menjadi simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan kekuatan dalam kehidupan di alam semesta.
Sampian Uras; atau juga disebut Duras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai yang melambangkan roda kehidupan dengan astaa iswaryanya (delapan karakteristik) yang menyertai setiap kehidupan umat manusia.
Bunga. Bunga yang diletakkan di atas Sampian Urasari melambangkan kedamaian dan ketulusan hati. Penyusunan bunga diurutkan sebagai berikut: Bunga berwarna Putih disusun di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara. Bunga berwarna Merah disusun di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma. Bunga berwarna Kuning disusun di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa. Bunga berwarna Biru atau Hijau disusun di Utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu.
Sedangkan Kembang Rampai disusun di tengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata.
Kembang Rampai; diletakkan di atas susunan bunga dan memiliki makna sebagai lambang kebijaksanaan dan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata. Bermacam-macam bunga ada yang harum dan ada yang tidak, melambangkan kehidupan manusia tidak selamanya senang atau susah.
Lepa; atau boreh miyik merupakan lambang sebagai sikap dan perilaku yang baik. Perilaku menentukan penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya seseorang.
Minyak Wangi; atau miyik-miyikan menjadi lambang ketenangan jiwa atau pengendalian diri. Dalam menata kehidupan, manusia hendaknya hendaknya menjalankannya dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik.
Canang sendiri merupakan salah satu bentuk banten atau persembahan. Dari segi penggunaan, bentuk, dan perlengkapannya canang dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain Canang Genten, Canang Burat Wangi, Lenge Wangi, Canang Sari, dan Canang Meraka.
Canang Sari adalah sebuah canang yang alasnya menggunakan ceper, sampian urasarinya membentuk astadala, sehingga bentuknya bundar yang berfungsi sebagai sarining yadnya. Canang Sari terdiri dari dua jenis, yaitu Canang Sari Ageng dengan sampian urasari berbentuk astadala dan Canang Sari Alit yang pada sampian urasarinya menunjuk empat arah mata angin, namun maknanya tetap sama.
Canang Genten, pada intinya sama dengan Canang Sari hanya ditambahkan dengan jajan kiping, pisang mas dan bubur sesuruh merah dan putih. Di masing-masing bubur tersebut dibungkus dengan janur yang digiling menyerupai sebatang rokok serta diletakkan di bawah Sampaian Urasari. Fungsi canang ini adalah untuk memohon anugerah keremajaan, sehingga sering digunakan pada saat upacara matatah atau menek kelih (beranjak dewasa).
Canang Pesucian yang dialasi dengan sebuah taledan kecil yang berbentuk segi empat panjang dan memiliki satu sibeh pada bagian pangkalnya. Berisi merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Iswar,simbol Sang Hyang Brahma, simbol Sang Hyang Mahadewa. Simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu ,dan merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Siwa.
Canang Gantal. Pada prinsipya hampir sama dengan Canang Pesucian. Kata ‘Gantal’ berasal dari kata Gana yang mengandung arti pertemuan, sedangkan kata ‘Tal’ dapat diartikan bersatu. Dengan demikian, Canang Gantal memiliki makna permohonan kedamaian kepada Tuhan.
Canang Pangrawos, yang pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan Canang Gantal, hanya di tengahnya mempergunakan sebuah takir berisi lima buah lekesan. Hal ini bertujuan untuk memohon kebulatan pendapat berdasarkan ketenangan hati untuk mencapai kedamaian. Canang ini biasa digunakan saat rapat ataupun pengajuman.
Canang Tubungan. Canang ini pada prinsipnya sama dengan Canang Pangerawos, bedanya hanya terdapat pada lekesannya saja. Merupakan penghormatan terhadap Ida Sang Hyang Widi agar dianugerahkan kekuatan. Biasanya digunakan saat upacara nuntun atau mamendak.
Canang Raka, yang pada prinsipnya sama dengan canang sari. Pada canang raka tedapat buah-buahan sebanyak lima macam yang merupakan simbol permohonan pengeleburan panca mala. Selain itu, canang ini juga bertujuan agar dianugerahkan Panca Amertha, yakni Amertha Sanjiwani yang disimbolkan dengan pisang kayu, Amertha Kamandalu yang disimbolkan dengan buah salak, Amertha Kundalini yang disimbolkan dengan buah yang berwarna kuning, Amertha Pawitra yang disimbolkan dengan buah manggis, dan Amertha Maha Mertha yang disimbolkan dengan buah jeruk. Canang ini biasa dugunakan saat upacara Panca Yadnya, khususnya saat mendem pedagingan dan nyejer.
Canang Tadah Sukla; Pada prinsipnya sama dengan membuat Canang Payasan, hanya isi celemiknya yang berbeda. Canang ini merupakan simbol kekuatan iman, kesucian dan kesejahteraan dan biasa digunakan saat upacara pebersihan.
Canang Pangengkeb. Canang ini pada prinsipnya sama dengan Canang Payasan, hanya ditengahnya berisi dua buah takir dengan posisi tempat kanan dan kiri. Yang di kanannya berisi beras kuning dengan satu buah base tubungan, sedangkan takir yang kiri berisi cendana. Canang ini bertujuan agar dianugerahkan kekuatan kewibawaan atau taksu dalam berkesenian dan biasa digunakan saat pementasan tarian sakral.
Canang Saraswati ini menggunakan sebuah ceper sebagai alasnya. Di dalamnya berisi jajan, pisang, tebu, porosan, sampian plaus yang diletakkan pada bagian hulunya. Canang ini bertujuan untuk memohon anugerah kepintaran dan biasa digunakan saat hari Suci Saraswati.
Sebuah Canang Sari disempurnakan dengan meletakkan sejumlah kepeng (uang logam) atau uang kertas, konon untuk menjadi esensi (sari) dari persembahan. Canang memiliki peranan yang sangat penting dalam ritual keagamaan umat Hindu di Bali sehingga juga disebut Kanista atau “inti dari upakara“. Sebesar apapun upakara tersebut maka tidak akan menjadi lengkap kalau tidak diisi dengan Canang.
Canang sari digunakan sebagai persembahan harian kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai ungkapan syukur atas kedamaian yang telah diberikan kepada dunia; merupakan persembahan rumah tangga yang paling sederhana. Filosofi dari proses persembahan adalah mengorbankan diri sendiri, sebab perlu waktu dan tenaga untuk mempersiapkan persembahan. Canang sari tidak digunakan saat ada kematian di dalam masyarakat atau keluarga. [S21]