Koran Sulindo – Ketika pada 22 Desember Angkatan Laut Venezuela mencegat kapal riset Ramform Tethys milik ExxonMobil di zone ekonomi eksklusif di Guyana, insiden tersebut bisa menjadi pendorong awal konflik berkelanjutan di masa depan.
Guyana dan Venezuela terlibat sengketa perbatasan sejak awal abad ke-19. Meski telah dituntaskan oleh arbitrase internasional, kedua negara tetangga itu secara berkala saling klaim wilayah masing-masing.
Kapal riset berbendera Bahama dan dikontrak untuk melakukan pekerjaan seismik oleh ExxonMobil. Penemuan minyak dalam jumlah besar di lepas pantai Guyana oleh perusahaan-perusahaan minyak besar termasuk ExxonMobil, bagaimanapun memicu booming minyak baru untuk negara itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, ExxonMobil telah mengidentifikasi simpanan minyak lepas pantai di perairan Guyana yang diperkirakan mencapai 4 miliar barel, memberikan peluang bagi negeri yang tak punya pengalaman ekstraksi minyak itu menjadi salah satu produsen terbesar Amerika Latin.
Dengan populasi kurang dari satu juta dan ekonomi berantakan di masa lalu, penemuan itu diharapkan menjadi dorongan nyata bagi perekonomian Guyana.
Di sisi lain, insiden pencegatan kapal itu dianggap sebagai stimulus awal bagi rezim Maduro untuk membangkitkan nasionalisme menjelang dimulainya pemilihan presiden bulan Januari ini.
Bagi Guyana, dengan perekonomian tetangganya yang sedang tenggelam, Caracas butuh tambahan uang segar lebih banyak termasuk yang utama dari ekspor minyak.
Pemerintah Guyana yang sangat prihatin khawatir Venezuela terus mendorong memanasnya masalah perbatasan tersebut mengatakan, “menolak tindakan ilegal, agresif dan bermusuhan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Bolivarian yang sekali lagi menunjukkan ancaman nyata terhadap perkembangan ekonomi Guyana.”
Guyana menyebut tetangganya di barat itu melanggar kedaulatan dan integritas teritorial mereka.
Di atas kertas, militer Venezuela jelas bukan tandingan Guyana. Namun, wilayah geografis yang akan dilalui bagi setiap serangan besar-besaran Venezuela bakal menjadi tantangan karena sebagian besar perbatasan mereka adalah hutan dengan beberapa jalan serta sejumlah sungai.
Selain itu, analis barat terus bertanya tentang seberapa efektif kemampuan angkatan bersenjata Venezuela saat ini, mengingat masalah anggaran negara dan korupsi.
Apakah militer Venezuela siap dan mampu berperang melawan Guyana? Jawabannya mungkin ya, namun preferensi akan lebih cenderung melakukan operasi-operasi intimidasi dan provokasi seperti penahanan kapal eksplorasi minyak seperti yang dilakukan akhir Desember lalu.
Namun, situasi yang justru membuat rumit adalah keterlibatan kekuatan asing di wilayah itu. Selain AS, baik Cina dan Rusia telah dan terus secara aktif berusaha menjaga agar Maduro tetap berkuasa meski timbul pertanyaan apakah Beijing dan Moskow bakal mendukung langkah Caracas berperang dengan Guyana.
Selain itu, campur tangan AS di wilayah ini juga tak bisa diabaikan dengan kepentingan utama melihat kejatuhan Maduro. Mereka selalu menganggap Venezuela, seperti kata Penasihat Keamanan nasional John Bolton, bagian dari ‘troika tirani’bersama Kuba.
Jika Venezuela meningkatkan situasi tingkat intimidasi dan provokasi menjadi upaya upaya blokade angkatan laut pada ladang minyak lepas pantai, situasinya bisa saja berubah menjadi buruk. AS sejak semula sudah mengumumkan mereka tidak menyetujui tindakan Venezuela dan jelas-jelas berdiri di belakang Guyana.
Situasi Guyana-Venezuela menimbulkan sejumlah pertanyaan utama, pertama dan yang terpenting adalah seberapa jauh Maduro ingin memanfaatkan isu ini? Peran apa yang akan dimainkan Cina dan Rusia dalam drama yang tengah berlangsung?
Beberapa analis menyebut pengiriman dua pembom jarak jauh Rusia ke Venezuela awal Desember lalu bisa dilihat sebagai bagian dari rencana yang lebih besar untuk mendukung Maduro terhadap Guyana.
Sementara minyak dianggap oleh Guyana sebagai tiket masa depan untuk perekonomian yang lebih baik setelah pengelolaan yang buruk terhadap gula, bauksit, dan emas. Tindakan Venezuela memicu bayangan gelap atas harapan itu. Caracas telah berhitung benar akan hal ini karena terbukti ExxonMobil akhirnya menangguhkan seluruh operasi.
Meskipun kemungkinan perang tidak mungkin terjadi, namun terdapat cukup ruang untuk eskalasi, sesuatu yang dalam jangka pendek dapat membantu Maduro menggalang dukungan domestic.
Di sisi lain, bagi Guyana, insiden itu bisa menjadi ujian penting mengenai seberapa besar dukungan yang bisa didapat dari AS, Eropa, dan negara-negara Karibia lainnya. Sejauh ini sejak Karibia lepas dari radar AS, peran Cina dan Rusia terus tumbuh.
Guyana bisa jadi bakal menjadi ujian bagi tekad AS mempertahankan dominasi strategisnya di Karibia.[TGU]