Ilustrasi/ntmcpolri.info

Koran Sulindo – Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mencabut permohonan banding atas vonis 2 tahun penjara Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam perkara penistaan agama. Istri Ahok, Veronica Tan mencabut permohonannya setelah berbicara dengan tim kuasa hukum melakukan pertimbangan dan pengkajian.

“Informasi itu memang benar. Keluarganya mencabut permohonan banding,” kata kuasa hukum Ahok, I Wayan Sudirta, di Jakarta, Senin (22/5), seperti dikutip antaranews.com.

Keputusan itu adalah pilihan terbaik dari yang terburuk, meski keluarga tetap kecewa dan merasa vonis majelis hakim tidak adil.

Menurut Wayan, kronologi pencabutan itu dimulai pada Senin pukul 14.30 WIB, ketika ia bersama 3 anggota tim kuasa hukumnya mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara untuk memasukkan memori banding.

Pukul 15.30 WIB, mereka baru diterima oleh petugas PN Jakarta Utara. Kemudian tidak lama kemudian datanglah keluarga Ahok dan menyatakan hendak mencabut banding tersebut.

“Alasan pencabutan itu secara resmi akan disampaikan pada Selasa (23/5) besok,” kata Wayan.

Inkracht

Tanpa melakukan banding, maka maka vonis dalam pengadilan tingkat pertama yang diputuskan pada 9 Mei lalu dalam kasus Ahok ini berubah menjadi berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Biasanya, dalam sistem peradilan di Indonesia, setelah vonis majelis hakim, terdakwa atau kuasa hukum terdakwa atau jaksa penuntut berhak naik banding. Proses itu berlangsung di pengadilan tinggi dalam rapat tertutup. Vonis pengadilan tinggi ini masih bisa digugat melalui kasasi, di tingkat mahkamah agung. Setelah kasasi, keputusan sudah bernilai berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Jika tak ada proses banding, Dalam putusan perkara pidana terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana, yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi “Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah pertama, putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; Kedua, putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau ketiga, putusan kasasi.

Menurut situs hukumonline,com,  suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap salah satunya adalah putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu 7 hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding.

Satu-satunya peluang hukum yang bisa digunakan Ahok dan kuasa hukumnya adalah melakukan peninjauan kembali (PK).

Namun permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut, seperti bunyi (Pasal 268 ayat [1] KUHAP).

Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain (Pasal 263 ayat [2] KUHAP), yaitu pertama, jika terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; kedua, apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; atau apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Pengajuan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua pengadilan yang memutus pada tingkat pertama. (lihat Pasal 264 KUHAP jo. Pasal 70 UUMA). [DAS]