Buzzer dan Politik Indonesia

Ilustrasi Buzzer -DW

Peristiwa atau isu politik selalu ramai di media sosial, ada yang menyuarakan kontra terhadap suatu isu ada pula yang mendukung, banyak juga yang hanya ikut nimbrung atau sekadar mengamati. Suatu isu akan semakin meriah di media sosial jika sudah melibatkan peran buzzer politik, apalagi terkait dukung-mendukung calon dalam pemilihan umum (Pemilu).

Pemilihan Presiden 2019 (Pilpres) lalu seolah jadi medan perang para buzzer politik untuk mempengaruhi pengguna media sosial. Berbagai isu ditebar melalui internet, mulai dari masalah prestasi calon, latar belakang calon, mitos, gosip, cacat politik hingga stigma digunakan secara membabi-buta. Salah satu karya buzzer politik Pilpres yang masih terbawa hingga bertahun-tahun kemudian adalah istilah “cebong” dan “kampret” sebagai stigma terhadap kelompok politik pendukung calon lainnya.

Buzzer dan asal-usulnya

Kehadiran media sosial (medsos) pada pertengahan hingga akhir tahun 2000 an, seperti Facebook, Twitter dan Instagram membuat komunikasi sosial melalui internet semakin luas. Dengan media sosial, pesan seseorang pengguna dapat menjangkau ratusan, ribuan hingga puluhan juta pengguna lainnya. Seiring dengan perkembangan medsos muncullah berbagai istilah bagi para penggunanya seperti seperti netizen, followers, influencer, hingga buzzer.

Kata buzzer sendiri berasal dari Bahasa Inggris yang berarti lonceng, bel, atau alarm. Sedangkan dalam Oxford Dictionaries, buzzer diartikan sebagai “An electrical device that makes a buzzing noise and is used for signalling” yakni perangkat elektronik yang digunakan untuk membunyikan dengungan guna menyebarkan sinyal atau tanda tertentu.

Buzzer atau dalam Bahasa Indonesia adalah pendengung, memiliki arti orang yang menyebarluaskan informasi, rumor atau gosip (terutama melalui media sosial) untuk menjadi perhatian banyak orang supaya hal tersebut menjadi perbincangan banyak orang berdasarkan KBBI. Terkadang kelompok buzzer juga dinamakan pasukan cyber atau konsultan media sosial demi menghilangkan kesan negatif.

Pada awalnya buzzer digunakan sebagai media promosi (marketing) untuk mempromosikan barang, jasa atau tokoh sehingga menjadi perhatian publik. Saat ini objek dari promosi buzzer mengalami pergeseran, yang pada awalnya memasarkan produk komersil dari suatu perusahaan menjadi tokoh publik yang mencalonkan diri menjadi pemimpin di lembaga pemerintahan.

Direktur Pusat Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto menjelaskan bahwa buzzer atau kerap disebut sebagai pasukan cyber bertugas untuk memanipulasi opini publik di media sosial.

Menurut sifat kerjanya, pengamat komunikasi Said Zaidaan Firstiansyah mengatakan profesi buzzer memiliki dua kategori yakni, kerja secara sukarela atau kerja sesuai permintaan. Biasanya buzzer sesuai permintaan ini dilirik oleh para aktor politik seperti untuk memenangkan pemilihan kepala daerah, pemilu legislatif, hingga pilpres.

Buzzer politik profesional

Proses keterlibatan menjadi seorang buzzer politik profesional di media sosial diawali dengan adanya rekrutmen dari penyedia jasa. Banyak yang melakukan rekrutmen terbuka di media sosial seperti Twitter guna menggaet kaum muda. Setelah menjadi resmi menjadi profesional, maka buzzer akan melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan kampanye politik dengan membuat konten di media sosial selaras dengan pasangan calon tertentu.

Dalam sebuah penelitian, Felicia dan Louisa mengatakan bahwa buzzer politik profesional lebih banyak berperan secara pasif dalam menentukan pesan-pesan kampanye yang disampaikan melalui akun-akun Twitter miliknya.

Semua aktivitas buzzer politik profesional diatur dan dikoordinasikan oleh pihak tertentu melalui grup WhatsApp. Pada awal tergabung menjadi buzzer politik profesional, mereka diminta untuk membuat masing-masing 10 akun di media sosial Facebook, Twitter, dan Instagram. Setiap akun tersebut harus diberikan identitas tertentu agar terlihat seperti akun sungguhan. Kemudian, melalui akun-akun tersebut mereka akan menyalurkan pesan-pesan kampanye berupa narasi dan tagar (hastag) harian yang lebih dahulu dikoordinasikan.

Berdasar penelitian LP3ES, buzzer biasanya mendapat Rp50-Rp100.000 per akun, yang setiap bulan bisa mengantongi kisaran Rp1-Rp7 juta. Sementara, pencipta konten biasa mendapat kurang lebih Rp4 juta. Untuk koordinator biasanya mendapat bayaran Rp200.000 setiap akun, yang secara total mendapat 5-15 juta rupiah.

Sedangkan influencer atau pesohor yang terlibat menjadi buzzer bisa mengantongi sampai Rp20 juta atau imbalan non-tunai, seperti posisi komisaris, atau proyek BUMN jika pasangan calon pengguna jasanya menang pemilu.

Dampak buzzer dan opini publik

Penggunaan buzzer dalam politik kini telah marak di seluruh belahan dunia. Menurut penelitian Bradshaw & Howard mengenai penggunaan buzzer di berbagai negara, dari 70 negara yang di teliti, 89 persennya telah melibatkan buzzer dalam politik.

Menurut Pratama Persadha yang dikutip CNN, Buzzer di Indonesia mulai populer sejak Pilkada Jakarta tahun 2012. Saat itu pasangan Jokowi-Ahok berhasil menang dengan mengerahkan “pasukan medsos” bernama Jasmev, atau Jokowi Ahok Social Media Volunteer.

Penggunaan jasa buzzer oleh politisi untuk pendekatan publik di media sosial dapat menjadi negatif ketika digunakan untuk menyebar berita hoax dan hate speech terhadap lawan politik. Lebih jauh tindakan ini sangat tidak bertanggungjawab hingga menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat.

Selain itu akan menjadi bahaya besar bagi demokrasi jika para buzzer digunakan oleh tokoh publik yang memiliki kekuasaan, karena dapat digunakan membungkam suara masyarakat dan menggantikannya dengan opini palsu melalui jasa buzzer.

Bila dilihat dari perspektif kritis, kondisi ini tidak hanya dampak dari munculnya media sosial semata, namun ada aktor-aktor yang saling berhubungan untuk mempertahankan kepentingannya. [PTM]