Ilustrasi: Buya Syafii Maarif/Maarif Institute

Koran Sulindo – Syafii Maarif mempertanyakan kesungguhan anak bangsa mempertahankan negara bangsa Indonesia yang memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945.

“Jujur tidak kita bela bangsa ini? Sungguhkah? Itu harus datang dari hati dan akal sehat. Jangan pakai topenglah. Topeng-topeng itu sekarang dimana-mana dan merusak? Negara Anda, negara saya, jangan biarkan tenggelam,” kata Buya Syafii saat menjadi pembicara kunci di seminar “Indonesia di Persimpangan: Negara Pancasila vs Negara Agama”, yang digelar di Hotel Aryaduta, Jakarta, Sabtu, (8/4), seperti dikutip Tribratanews.polri.go.id.

Seminar digelar Indonesian Conference of Religion and Peace (ICRP) bekerja sama dengan Institute for Interfaith Dialogue (Interfidei), Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Maarif Institute, Komnas HAM, Jaringan Antar-Iman Indonesia (JAII), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), dan Yayasan Cahaya Guru (YCG).

Buya mengakui berbahagia berbicara di hadapan para idealis dalam acara itu. Menurutnya, sejak merdeka, 17 Agustus 45, dasar negara tidak pernah berubah, tetap Pancasila.

“Saya lelah sebenarnya, kenapa negara sebesar ini, sebagian besar Muslim, terpecah dan saling menghujat. Suriah, Irak, Mesir dan seterusnya sudah hancur. Kita boleh menyalahkan Barat, tapi juga harus tahu bahwa itu bisa masuk karena kita rapuh,” kata Buya.

Karena kesenjangan di Indonesia begitu tajam, ide-ide radikal seperti ISIS gampang tumbuh. Banyak yang memegang teologi maut; berani mati karena tidak berani hidup; memonopoli kebenaran bahwa di luar mereka haram. Pendukung segala sempalan yang ingin ganti Pancasila bersuara lantang karena yang mayoritas diam. Mayoritas hanya diam.

“Kita masih jauh dari Suriah, tapi harus hati-hati karena yang bertarung di sana juga banyak orang Indonesia penganut teologi maut. Saya beberapa kali kirim sms ke Kapolri, negara tidak boleh kalah. Negara tidak boleh kalah,” kata Buya. [DAS]