Buton, Bangsa Maritim Penakluk Bajak Laut

Bekas benteng dari era Kesultanan Buton [foto /beritagar]

Koran Sulindo – Namanya Sipanjonga, selain hartawan dan orang paling dermawan ia adalah pemuka kaum di Pulau Liya, Johor. Suatu ketika, sebuah mimpi datang padanya terus menghantuinya.

Begitu membekas, hampir semua diingat bahkan hingga setiap detail patah kata di dalamnya.

Dalam mimpi itu, Sipanjonga didatangi orang tua yang tanpa angin tanpa hujan menyuruhnya pergi meninggalkan Liya mencari tempat yang lebih baik. Dalam mimpi itu si orang tua menyebut tetap tinggal di Liya bagi Sipanjonga ibarat menjampang tiada.

Saat ditanya kemana Sipanjonga harus pergi, orang tua nan bijaksana itu menjawab. “Cucuku, perbuat kayu yang diujung pulau itu perahu supaya boleh cucuku pergi sekalian dengan keluarga cucuku.”

Terang terwaca perintah itu, Sipanjonga segera bergegas.

Diperintahkannya para hamba sahaya membuat perahu yang kemudian diberinya nama palulang. Begiru pengerjaannya tuntas, perahu dimuati sekalian orang beserta harta emas, perak, tembaga, suasa, permata, intan, baiduri, mutiara dan lain sebagainya.

Dan pada hari dan saat yang baik, Sipanjonga memerintahkan orang untuk buang sauh dengan meriam dipasang di kiri kanan serta bunyi-bunyian dipalu orang.

“Maka layar perahu pun dipasang oranglah merampat kiri kanannya. Maka Sipanjonga pun naiklah ke palulang serta dengan segala bunyi-bunyiannya. Itulah adat segala anak raja-raja yang besar-besar dalam negeri.”

Sementara layar dibuka dengan suasana khidmat, angin buritan yang bertiup semena-mena membuat palulang melesat bak burung rajawali. Dengan seketika Pulau Liya lepas dari pandangan mata orang banyak.

Keberangkatan dari Melayu Pasai itu terjadi tepat pada tiga likur malam bulan Sa’ban tahun 634 Hijriah, selain membawa Sitamanajo sebagai pembantu utamanya, diajak pula 40 orang kepala keluarga sebagai pengikutnya.

Tujuh hari tujuh malam semenjak buang sauh, aral menghadang ketika palulang terdampar di Pulau Malalang. Saat termenung-menung, suara kembali mengagetkan Sipanjonga. Ia kembali diperintahkan kembali ke kapal dan melanjutkan perjalanan karena pulau itu bukanlah tempatnya.

“Hendaklah engkau segera berlayar menuju matahari terbit. Adalah sebuah pulau besar ‘Buntuni’ namanya disebut orang. Di sanalah engkau duduk yang sedia, Insyaallah Ta-aala,” kata suara itu.

Suara itu lebih lanjut menyebut tempat baru itu bakal menjadi sebuah negeri besar yang rakyat akan mencapai ribuan orang jumlahnya. Di tempat itu, Sipanjonga juga diramalkan bakal memiliki seorang anak laki-laki dan cucu yang banyak.

“Anakmu itu akan mendapat seorang ‘perempuan’ di dalam buluh gading, yaitu menjadi raja di dalam negeri itu lagi anakmu itu kaya kekal kekayaannya datang kepada anak cucumu berkat orang yang didapat dalam bulu itu.”

Belakangan hari, rombongan tersebut benar-benar sampai di Buntuni dan mendarat di Pulau Buton dalam dua kelompok. Kelompok yang dipimpin Sipanjonga dan Simalui mendarat di Kalampa, sedangkan kelompok lain yang dipimpin Sitanamajo dan Sijawangkati mendarat di Walalogusi.

Keempat orang inilah yang dalam Hijayat Sipanjonga dianggap pendiri komunitas Wolio yang dikenal sebagai Mia Patamia atau ‘Si Empat Orang’ yang membangun cikal bakal Kasultanan Buton.

Mengutip, Sejarah Buton yang Terabaikan karya Susanto Zuhdi, mereka berempatlah yang mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio sekaligus membentuk sistem pemerintahan tradisional. Mereka menetapkan 4 Limbo atau wilayah kecil yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu. Keempat wilayah itu dipimpin oleh seorang Bonto dan dikenal dengan Patalimbona.

Pelabuhan Penting

Terletak di bagian barat Pulau Buton dan menghadap Pulau Muna membuat Pelabuhan Bau-Bau terlindung dari hempasan angin barat maupun timur. Bau-Bau juga merupakan kota pantai yang paling dekat dengan ibu kota.

Kota ini juga berada di tepi Sungai Buton yang memberinya akses ke wilayah-wilayah pedalaman.

Munculnya Buton sebagai salah satu kekuatan politik tak bisa dilepaskan dari bangkitnya pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara. Seperti lazimnya kota-kota dagang port-polity, Buton tak bisa disebut sebagai tempat persinggahan semata.

Wilayah ini mendapat hembusan angin musim barat yang bertiup dari November sampai April. Musim itu mempengaruhi hujan terutama pada bulan Desember sampai Februari yang ditandai dengan angin kencang di pantai barat.

Pada bulan-bulan tersebut bagian barat dan selatan pantai Poleang, pantai barat Kabena dan pantai barat Kepulauan Tukang Besi terlalu berbahaya bagi pelayaran sementara di pantai barat Muna perairan menjadi tenang karena terhalang Pulau Kabaena.

Sementara itu bulan Mei secara tetap datang angin timur dan tenggara yang berpuncak pada bulan Juli hingga September. Pada musim ini, gelombang di pantai timur Buton terlalu kuat sehingga pelayaran menjadi sangat berbahaya.

Dua musim yang berlangsung dengan tetap inilah yang menentukan pola lalu lintas pelayaran menghubungkan pulau-pulau di sekitar Buton.

Di musim angin timur, pelayaran dari Bau-Bau ke Kepulauan Tukang Besi dapat ditempuh dalam waktu 14 hari. Namun sebaliknya, dalam musim barat dari Tukang Besi ke Bau-Bau hanya butuh waktu satu hari satu malam.

Seberapa jauh bisa ditelusuri sejarah awal Buton terkait dengan pelayaran Nusantara dan bagian-bagian lain Asia sudah terjadi sejak akhir abad pertama masehi. Penggalian arkeologi menunjukkan penemuan keramik-keramik menunjukkan telah tercipta hubungan erat Buton dengan Cina.

Sumber Cina menulis pada abad ke-13 menyebut, Cha Ju-Kua, seorang kepala pajak kerajaan Cina dan inspektur kapal dagang Chuangchow melaporkan adanya jalur perdagangan laut ke selatan. Pada perkembangan selanjutnya, pelayaran itu mengintegrasikan Donggala di abad ke-15.

Hampir dipastikan keramik-keramik itu datang melalui pedangan perantara orang Asia, melalui Sriwijaya kemudian disalurkan ke wilayah pinggiran termasuk Sulawesi Selatan.

Dari penggalian arkeologi itu juga ditemukan keramik dari Asia daratan seperti barang-barang dari Cina, Anam, dan Thai di abda ke-14 dan 15. Di Maros juga ditemukan a phoenix-headed ewer pada abad ke-9 di dekat Takalar dan Pangkajene. Pertanyaan siapa pembawa keramik ke Sulawesi Selatan dan dalam konteks apa masih menjadi perdebatan.

Diperkirakan keramik-keramik itu datang melalui perdagangan Buton dengan wilayah selatan Filipina. DI awal abad ke-10 sampai ke-13, Kerajaan Butuan di timur laut Mindanao tempat ditemukan keramik serupa sudah mempunyai hubungan dagang dengan Cina, Campa dan Borneo.

Butuan adalah pelabuhan besar tempat singgah dalam jalur-jalur perdagangan dari Asia ke Sulawesi Selatan. Di samping itu, ada bukti kebahasaan yang memperlihatkan bahwa sebelum pedagang dari Asia berhubungan dengan Sulawesi, orang Bajo yang telah lama berhubungan melalui perdagangan dengan orang Butuan.

Sumber tertulis tertua yang menyebut Buton adalah Negarakartagama. Dalam kitab itu, Empu Prapanca membagi daerah-daerah taklukan Majapahit menjadi empat kelompok. Pertama, negeri Melayu yang meliputi tempat-tempat di Sumatra seperti Jambi, Palembang, Samudera hingga Lamori di Aceh. Kedua, negeri-negeri di ‘Pulau Tanjung Negara di Kalimantan.

Wilayah ketiga, mencakup tempat-tempat yang terdapat di Semenanjung Malaya antara lain Pahang, Langkasuka atau Patani, Kelantan, Trengganu dan Tumasik. Sedangkan wilayah keempat yang masuk ke dalam kekuasaan Majapahit adalah tempat-tempat di sebelah timur Jawa mulai dari Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku hingga Papua.

Disebut dalam Negarakartagama, tempat-tempat di timur Jawa yang terkait dengan upeti adalah pulau-pulau di Makasar, Buton-Banggawi, Kunir, Galiyao, Salaya, Sumba, Solor, Muar, Wandan, Ambwan, Moloko, Wwanin, Seran dan Timur.

Selain Negarakartagama, penjelasan lebih detail juga diuraikan oleh penjelajah Portugis, Tome Pires dalam laporannya Suma Oriental yang dituls yang ditulis pada tahun 1512-1515.

Dalam catatannya itu, Tome Pires menyebut pelayaran dari Malaka ke Maluku disebutnya tak berbahaya dan merupakan pelayaran yang baik dan menyenangkan. Memanfaatkan angin musim, kapal-kapal Portugis dapat berlayar ke Banda atau Ambon hanya dalam waktu satu bulan dan dari kedua tempat itu pelayaran dapat diteruskan ke Maluku dalam waktu satu atau dua hari.

Dengan perlengkapan yang baik, kapal-kapal Portugis tak akan mengalami kesukaran di Ambon dan dapat meneruskan ke Maluku, khususnya mereka yang yang mempelajari dan menyelidiki bagaimana berangkat dari Portugis menuju Maluku dalam waktu singkat.

Tome Pires juga menyebut siapapun yang menginginkan pelayaran sempuran mereka tak perlu mengambil alur pantai Jawa, tetapi melalui Singapura ke Borneo dan langsung menuju Buton untuk menuju Maluku.  Mereka yang melalui jalur ini akan selalu didukung angin musim yang baik dan cepat.

Jadi memang rute dari Borneo ke Maluku memang lebih cocok buat orang Portugis, karena tak perlu singgah dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain seperti jika mereka melalui pantai Jawa. Tome Pires juga menyebut mereka mengabaikan jalur itu karena harus membayar orang,

Ini jelas berbeda dengan pedagang Melayu yang memang berdagang di setiap pelabuhan untuk memaksimalkan keuntungan. Dari Malaka mereka berdagang di Jawa dan meneruskan perjalanan ke Bima dan Sumbawa. Dari pulau-pulau itu mereka mengambil pakain. Orang-orang Banda dan Maluku menyukai kedatangan mereka.

Mengusir Bajak Laut

Sementara kisah Sipanjonga masih berlanjut, belakangan hari ia menikahi Sabangan, saudara perempuan Simalui dan melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Botoambari.

Tokoh inilah yang kemudian mengadakan perjalanan ke Kamaru, di timur Buton dan kawin dengan seorang putri Kamaru. Pernikahan itu memperkuat sekaligus memperluas pengaruhnya.

Tak hanya bercerita tentang Sipanjonga, tradisi-tradisi lokal di Buton juga mengadopsi kisah putri misterius yang dianggap turut menjadi pendiri kerajaan Buton. Putri bernama Wakaka itu konon muncul dari buluh gading.

Selain Wakaka, tokoh misterius lainnya adalah Sibatara, seorang pemuda tampan yang ditemukan dari sebuah jaring di Sungai Wakarumba. Jika Wakaka adalah anak perempuan Batara Guru yang bermukim di langit, Sibatara disebut sebagai cucu seorang raja Majapahit.

Boambari lah yang akhirnya mengawinkan Wakaka dengan Sibatara. Sementara Wakaka dipilih menjadi penguasa di Buton, perkawinan mereka melahirkan tujuh anak perempuan dengan anak tertua bernama Bulawambona dikawinkan dengan La Baluwu dan melahirkan anak laki-laki tertua yang diberi nama Bancapatola. Sosok inilah yang dikemudian hari menurunkan Lakilaponto, raja terbesar Buton.

Selain jenderal yang penuh kharisma, Lakilaponto sangat cerdas di bidang ketatanegaraan. Itu dibuktikannya dengan menyatukan beberapa kerajaan di Sulawesi Tenggara yang sebelumnya saling bermusuhan.

Dengan pertalian yang longgar baik berdasarkan keturunan atau perkawinan, nama Lakiponto terlukis hampir di semua lembaran sejarah kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tenggara seperti Kerajaan Muna, Kerajaan Buton, Kerajaan Konawe, dan di Kerajaan Moronene.

Pada setiap wilayah yang didatanginya, penyebutan Lakilaponto menyesuaikan dengan pemberian masyarakat setempat yang umumnya berdasar latar belakang kehadirannya.

Di Konawe, Lakilaponto bernama Haluoleo, di Moronene ia dinamai Landolaki, sementara di Buton ia dikenal dengan sebutan Murhum.

Lakilaponto inilah yang tercatat dalam sejarah Kerajaan Buton berhasil menggulung armada kapal La Bolontio, penguasa perairan Banda hingga Selayar di akhir abad ke-15. Meski tak banyak literatur yang menjelaskan asal-usul La Bolontio, beberapa sumber menyebut ia merupakan bajak laut yang menguasai Moro di Filipina.

Manuskrip-manuskrip Buton menyebut La Bolontio adalah kapten laut dari kepulauan Tobelo dari Kesultanan Ternate. Dalam manuskrip itu disebut, La Bolontio di bawah perintah Sultan Ternate mendapat mandat memperluas wilayah kekuasaannya sekaligus menyebarkan pengaruh Islam.

Konfrontasi antara Lakilaponto dan La Bolontio terjadi semenjak Lakilaponto menjadi Panglima Perang Kerajaan Konawe, saat itu  La Bolontio menyerang wilayah pesisir Kerajaan Konawe yakni Wonua Sampara.

Akan tetapi Lakilaponto berhasil menghalau pasukan La Bolontio sehingga gagal menaklukan daerah tersebut. La Bolontio juga pernah berhadapan lagi dengan Lakilaponto, saat Labolontio menyerang wilayah Kerajaan Moronene yang meminta bantuan Lakilaponto. Permintaan itu disanggupi Lakilaponto dengan mengirim peralatan dan perlengkapan perang bagi Moronene.

Sementara itu, ketika La Bolontio tengah berada di Selayar mereka menyerang wilayah Buton dan mendarat di daerah Labuantobelo, di sisi utara Pulau Buton. Saat itu Kerajaan Buton yang dipimpin oleh Raja Buton La Mulae dengan gelar Sangia Yi Gola.

Merasa kerajaannya terancam Raja Buton La Mulae mengadakan sayembara untuk mengalahkan Labolontio, dengan hadiah perkawinan dengan puterinya. Sayembara itu terdengar sampai ke Kerajaan Muna, sehingga pada waktu itu Raja Muna Sugi Manuru memanggil pulang Lakilaponto guna mengikuti sayembara tersebut, sebab apabila Labolontio berhasil menguasai Buton, maka Labolontio dapat mengancam kedaulatan Kerajaan Muna.

La Bolontio dan Lakilaponto bertemu di pesisir Pantai Boneatiro dan terjadilah pertarungan di antara keduanya yang dimenangkan Lakilaponto. Lakilaponto berhasil memenggal kepala Labolontio dan menyerahkannya kepada Raja Buton saat itu.

Sebagai imbalannya Lakilaponto berhak menikahi putri Raja Buton saat itu. Setelah mengalahkan Labolontio, Lakilaponto kembali ke Muna untuk menggantikan ayahandanya Raja Muna Sugi Manuru, yang telah lanjut usia.

Tiga tahun memerintah Muna, Lakilaponto dinobatkan sebagai Raja Buton menggantikan mertuanya Raja Buton La Mulae, pada masa itulah ia menerima Islam sebagai agama resmi sekaligus mengubah kerajaan Buton menjadi Kesultanan.

Lakilaponto menjadi sultan pertama dengan Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatul Khamis. Lakilaponto mangkat pada tahun 1584 setelah memerintah Buton selama lebih kurang 46 tahun. Tiga tahun sebagai raja Buton dan 43 tahun sebagai sultan. [TGU]