Salah satu aksi pemogokan di pelabuhan yang paling awal terjadi pada bulan Juli 1913 ketika awak kapal yang bekerja untuk Perusahaan Perahu Layar dan Kapal Laut Semarang menuntut kenaikan upah sebesar 30 persen dan jatah beras sebagai tambahan.

Mereka juga menuntut penyediaan ikan-ikan segar dan peningkatan jumlah pekerja tetap di tiap kapal. Hampir semua tuntutan itu disetujui perusahaan kecuali kenaikan upah sebesar 5 rupiah per bulan.

Kenaikan upah menjadi tuntutan penting menyusul naiknya biaya hidup di Semarang sejak tahun 1910.

Ketika aksi mogok akhirnya benar-benar terjadi, atas permintaan perusahaan patih setempat datang ke pelabuhan untuk mengetahui penyebab perselisihan.

Kepada patih, awak kapal menceritakan bahwa bekerja di atas perahu menjadi sangat sulit di tahun-tahun belakangan sementara upah mereka jauh lebih sedikit dibanding para buruh yang bekerja di dermaga.

Ketika perusahaan akhirnya setuju membayar upah sebesar 2 rupiah per bulan, awak kapal yang mogok itu segera bekerja kembali.

Keberhasilan mogok memaksa perusahaan meningkatkan upah segera ditiru awak kapal dari perusahaan-perusahaan lain. Beberapa dari mereka juga segera menggelar mogok hingga tiga hari dan baru berhenti setelah mendapatkan upah yang sama.

Selama aksi mogok, ternyata perusahaan menawarkan upah dua kali lipat kepada buruh-buruh dermaga agar mau ditempatkan sebagai pengganti awak kapal yang mogok. Rayuan itu umumnya ditolak karena takut pembalasan awak kapal, sementara mereka yang menerima langsung mabuk laut begitu berada di atas perahu akibat ombak.

Proses bongkar muat benar-benar terbengkalai selama aksi mogok tersebut.

Kenaikan upah menjadi tuntutan utama karena selama masa-masa perang,  masyarakat perkotaan Hindia terus menerus menghadapi biaya hidup yang terus naik. Sepanjang tahun 1913 hingga 1920 sebagian besar barang-barang konsumsi naik hingga dua kali lipat termasuk bahan pokok.

Harga beras terus tercatat mulai mengalami sejak 1913 sampai akhir Perang Dunia I di tahun 1918 dan memuncak pada tahun 1919 dan 1920. Jawa yang sebelumnya sanggup memenuhi kebutuhan sendiri harus bergantung impor beras dari Burma dan Thailand.

Ketika kedua tempat itu gagal panen di 1919 dan 1920, Jawa segera mengalami kelangkaan beras yang memicu harga membumbung ke tingkat paling tinggi.

Buruh yang tergantung dari upah segera menjadi lebih miskin dari biasanya. Penderitaan akibat inflasi itu mendorong pertumbuhan serikat-serikat buruh di Jawa yang menjadi pemicu utama gelombang mogok kerja. Gelombang itulah yang kemudian menjalar ke kota-kota dan penggilingan-penggilingan gula di pedalaman antara tahun 1918 hingga 1921.

Di pelabuhan, meski beberapa pemogokan merupakan aksi tergorganisir, tetap saja sebagian besar tetapla merupakan reaksi spontan akibat kondisi buruk yang terjadi di pelabuhan-pelabuhan bertahun-tahun sebelumnya.

Sebagai contoh, upah awak kapal di Semarang tidak pernah mengalami perbaikan sejak ditetapkan di tahun 1913 dan jauh lebih rendah dari upah rekan-rekan mereka di Batavia atau Surabaya. [TGU]

*pertama dimuat pada April 2018