Buruh pelabuhan di era kolonial penghidupan dan kehidupannya sangat tergantung dengan mandornya. Hal itu terungkap dalam pemeriksaan kehidupan buruh pelabuhan di Surabaya tahun 1927.
Buruh-buruh pelabuhan itu sebagian besar ditempatkan di bedeng yang dimiliki mandor yang berlokasi di kampung-kampung kumuh dekat pelabuhan.
Menurut laporan Nieuw Soerabajaasche Courant tanggal 22 November 1927 disebut sebuah bedeng dengan panjang 8 m x 3 m setinggi 1,7 m ditempati oleh 23 orang buruh.
Terbuat dari bambu dengan lantai yang kotor, bedeng di kelilingi bedeng-bedeng serupa tempat di mana seminggu sebelumnya ditemukan wabah penyakit.
Di bedeng lain yang masih terletak di sekitar tempat itu, buruh pelabuhan harus membayar 3 sen semalam untuk tidur berhimpitan dengan 120 di atas selembar alas tidur yang saling berjejalan.
Kondisi mengenaskan itu terus menerus terjadi karena keterbatasan akomodasi sementara beberapa kampung di sekitar pelabuhan penuh buruh. Mereka yang gagal menemukan tempat tidur terpaksa tidur di lantai-lantai pasar setempat.
Apa yang terjadi di Surabaya, keadaannya tak jauh berbeda dengan di Semarang.
Buruh yang bekerja di atas perahu di pelabuhan itu bahkan keadaannya lebih buruk lagi. Mereka tinggal di pondok-pondok kecil di atas perahu, berjejalan sampai 9 orang di dalam satu pondok setiap malamnya, atau tidur di udara terbuka, atau merapat di tembok pelabuhan.
Pekerjaan berat dan pemukiman kumuh itulah yang mempengaruhi kesehatan buruh.
Di sisi lain, meski hidup di kampung dekat pelabuhan memberikan keuntungan pada buruh karena menghemat ongkos trem yang mahal mereka harus menghadapi konsekuensi berdiam di pinggiran kota bagian utara yang berawa-rawa.
Di musim kemarau, kampung menjadi sangat panas, berdebu dan terlampau sesak hingga menyebabkan berjangkitnya penyakit malaria dan penyakit lain akibat sanitasi yang buruk dan air minum yang kotor. Pada musim hujan keadaan tak bertambah baik.
Dataran rendah atau saluran-saluran air yang tak memadahi membuat kampung rentan tergenang air dalam jangka waktu lama. Jika kondisi itu tiba, penyakit-penyakit seperti kolera benar-benar berpesta. Selain kolera penyakit yang menyerang di waktu-waktu itu adalah tipus, influenza, malaria hingga TBC.
Untung saja, musim hujan biasanya bertepatan dengan rendahnya tingkat permintaan tenaga kerja di pelabuhan sementara buruhpelabuhan umumnya menggunakan waktu-waktu itu untuk kembali ke desa.
Walaupun kampung yang ditempati para buruh itu sangat padat, kumuh dan tidak sehat, bagaimanapun mereka nyaman tinggal bersama dengan orang dari dari daerah yang sama.
Mereka berbicara dengan bahasa daerah mereka sendiri dan menganut norma-norma sosial seragam sekaligus mengembangkan ikatan kuat dalam hal kesetiakawanan dan kemasyarakatan.
Ikatan solidaritas yang kuat itulah di belakang hari berperan penting untuk memahami mengapa buruh pelabuhan begitu sering melakukan aksi mogok kerja.
Aksi Mogok
Ketika kesadaran nasional tumbuh di lapisan tipis elit intelektual, pelabuhan dan buruh-buruhnya adalah golongan masyarakat yang paling sadar seperti dibuktikan dengan seringnya terjadi aksi antara tahun 1910 sampai dengan 1920.
Meskipun penyebab utama mogok bisa sangat bervariasi, hal yang paling umum adalah ketidakpuasan buruh atas upah yang tidak sesuai.