Koran Sulindo – Ketika komunitas internasional khususnya masyarakat Arab dan Muslim terkejut atas pembantaian Israel pada 60 warga Palestina, Arab Saudi dan sekutu-sekutunya seperti tak bergeming.
Meski mengutuk Israel, pernyataan mereka tak lebih hanya sekadar komsumsi humas belaka.
Secara substansial mereka tetap berada di belakang Israel yang didukung AS termasuk bertahan dengan penerapan sanksi bagi pejabat tinggi dari kelompok perlawanan, Hizbullah.
Sanksi itu menargetkan dua pejabat tertinggi Hizbullah yakni Sekretaris Jenderal Sayyed Hassan Nasrallah dan Wakil Sekretaris Jenderal Sheikh Naim Qassem serta tiga pejabat teras Hizbullah lainnya.
Pemberlakuan sanksi dimotori oleh Departemen Keuangan AS dan partnernya yang disebut sebagai Terrorist Financing Targeting Center.
Lembaga ini mencakup negara-negara anggota Dewan Kerjasama seperti Teluk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Kuwait, dan Oman.
Perluasan sanksi ini muncul setelah Hizbullah meraih keuntungan signifikan dalam pemilihan parlemen bulan ini di Libanon.
Sanksi juga diberlakukan bertepatan dengan momen di mana Saudi dan Israel harus menghadapi menguatnya pengaruh regional Iran.
Hizbullah adalah satu-satunya kelompok perlawanan yang secara militer sanggup mempermalukan tentara Israel di tahun 2006 silam.
Ketika itu, tentara Israel berhasil dipukul mundur dari invasi mereka di Libanon.
Hizbullah segera meraih popularitas di seluruh Arab yang secara tradisional merupakan musuh bebuyutan Israel.
Tahun lalu saat memperingati 11 tahun kemenangan itu, Nasrallah mengejek kemampuan militer AS dan Israel serta sekutu-sekutunya dalam menghadapi Hizbullah.
“Pemerintahan Amerika, dengan segala cara yang tersedia dan mungkin tak akan pernah dapat menghancurkan kekuatan perlawanan kami.”
Sementara dalam beberapa tahun terakhir Hizbullah terlibat Bashar al-Assad memadamkan pemberontakan di Suriah, Saudi dan mitra-mitra seperti UEA atau Qatar mendukung kelompok anti-pemerintah.
Dominasi yang Rapuh
Kekalahan pemberontak Suriah jelas mengecewakan Saudi yang di sisi lain juga terjebak di Yaman dan gagal mengalahkan perlawanan Houthi Ansarullah, sebuah gerakan populer Muslim Zaydi yang secara longgar bersekutu dengan Hizbullah dan Iran.
Menghadapi kemunduran hampir di semua front, melalui Liga Arab yang dipimpinnya Saudi latah menggemakan tuduhan Israel dan AS bahwa Hizbullah adalah ‘teroris’.
“Mereka menyebarkan ekstremisme di kawasan dan memasok organisasi teroris seperti Houthi dengan persenjataan canggih dan rudal balistik.”
Pemimpin Hizbullah menepis tuduhan itu dengan menyebut memberikan roket ke pejuang Houthi adalah perbuatan “sepele dan konyol”.
Yang tak disebut Saudi justru Hizbullah dengan segala cara telah membantu mengisi gudang senjata kelompok perlawanan Palestina dengan senjata canggih.
Termasuk rudal panggul Kornet buatan Rusia kepada kelompok-kelompok seperti Hamas di Jalur Gaza. “Saya bangga dengan itu,” kata Nasrallah berterus terang.
Di sisi lain Saudi dan sekutu-sekutunya justru melakukan tekanan penuh kepada tokoh-tokoh seperti Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas untuk berhenti mengupayakan perdamaian antara gerakan Fatah di Ramallah dan Hamas di Gaza.
Mereka menekan Otoritas Palestina agar sudi menerima apa yang disebut ‘Rencana Damai’ Gedung Putih yang diklaimnya sebagai ‘Kesepakatan Abad Ini’.
Padahal ‘Rencana Damai’ ini nyata-nyata mendukung kepentingan Israel dan perluasan pendudukan Zionis.
Pangeran Mahkota Saudi Mohammad bin Salman seperti dikutip Chanel 10 News mengatakan dalam beberapa dekade terakhir kepemimpinan Palestina kehilangan kesempatan setelah menolak semua proposal perdamaian yang diberikan.
“Sudah saatnya rakyat Palestina mengambil proposal dan setuju untuk datang ke meja perundingan atau diam dan berhenti mengeluh.”
Ini kontras dengan seruan Hizbullah yang bersumpah tak akan pernah berkompromi atas tanah yang dicuri dari orang-orang Palestina dengan “pertempuran penuh dan tidak terbatas.”
Menjadi rahasia umum, orang-orang Saudi telah lama dianggap melepaskan diri dari perjuangan Palestina. Paling baru mereka justru memamerkan pengkhianatan kepada rakyat Palestina ketika Putra Mahkota Saudi bertemu dengan utusan-utusan AS.
Langkah konyol yang menuai cemooh meluas dari masyarakat Arab yang yang membentang dari Baghdad hingga Aljazair.(TGU)