Saat membacakan Proklamasi, usia Bung Karno (BK) 44 tahun, lebih tua setahun dari Mohamad Hatta. Orang yang dituakan BK tinggal sedikit, misalnya Haji Agus Salim (61), Ki Hajar Dewantara (56), atau Tan Malaka (48).
Panglima Besar Jenderal Sudirman 15 tahun lebih muda, Wakil Panglima Besar Kolonel AH Nasution 17 tahun di bawahnya. Ketika menulis Indonesia Menggugat, BK baru 27 tahun—Pak Nas masih remaja.
Perbedaan usia BK yang berkuasa selama 20 tahun dengan pemimpin parpol/TNI makin tahun makin kentara. Dalam bahasa Belanda ia diledek sebagai ouwe heer alias Pak Tua.
BK kesepian waktu Bung Hatta mundur dari jabatan Wapres tahun 1956. Ia sibuk dengan “Konsepsi”, habis-habisan menjaga demokrasi parlementer, dirundung pemberontakan, mau dibunuh, sampai memaklumatkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Ia tokoh sentral yang belum tertandingi siapa pun. BK praktis jadi pemerintah yang tak berhenti gelisah barang sedetik pun.
Ia makin jarang berkunjung ke daerah, tetapi sering ke luar negeri untuk kunjungan kerja maupun pribadi. Ia mengenakan seragam lengkap dengan deretan tanda jasa di dada untuk mengingatkan TNI ia-lah sang pangti.
Dalam waktu 20 tahun ia menerima 26 gelar doktor kehormatan. Buku-buku yang dilahapnya berserakan di kamar tidur, toilet, ruang tamu, atau di meja makan.
BK memiliki semuanya, kecuali uang. Anda pasti tak percaya sebagian duit membangun rumah di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, berasal dari utang.
Semua orang datang tak henti meminta bertemu dia. Jam tidur dia hanya 3-4 jam sehari dan itu pun sering terganggu karena ia “turba” (turun ke bawah) melihat kehidupan rakyat tanpa pengawal dengan VW Kodok warna hijau kesayangannya.
Mungkin idealnya BK mengakhiri karier politiknya saat memasuki usia 60 tahun. Mungkin Pak Amien Rais benar saat menyarankan usia capres pada pilpres tahun 2009 maksimal 60 tahun.
Tetapi, siapa pula yang bisa mengatur napas politik BK? Dalam periode 1960-1965 itulah BK justru menjalani tahun-tahun yang paling menentukan masa depan politiknya.
Jumlah penduduk Indonesia sekitar 100 juta. Kehidupan ekonomi memprihatinkan, antara lain karena pemberontakan PRRI/Permesta, politik konfrontasi terhadap Malaysia, dan perang merebut Irian Barat dari tangan Belanda.
Rencana Pembangunan Nasional tahap ketiga yang bertujuan Indonesia tinggal landas masuk tahap industrialisasi tak berjalan meski BK memimpin Kabinet Kerja I sampai IV (1959-1964). Di saat yang sama BK menjalankan politik luar negeri yang ambisius dengan menyelenggarakan Asian Games (1962), Ganefo (1963), dan membentuk Conefo (1965).
Lebih dari itu, BK direcoki lawan-lawan politiknya di luar maupun dalam negeri. Ia masih jadi sasaran pembunuhan, sering digosipkan mau dikudeta lalu diasingkan ke China, dirumorkan sakit keras, bahkan mau kabur ke luar negeri.
Pada saat yang sama kepemimpinan BK makin tak kenal ampun, termasuk memenjarakan rekan-rekan seperjuangan sendiri. Lima tahun sejak 1960 ia makin sering mengangkat sekaligus memecat orang, termasuk mereka yang tergabung dalam “Kabinet 100 Menteri”.
BK disanjung-sanjung dengan gelar-gelar kosong, seperti “Penyambung Lidah Rakyat”, “Presiden Seumur Hidup”, atau “Pemimpin Besar Revolusi”. Ia memaksa orang menari “lenso”, menangkap Koes Bersaudara yang memainkan musik ngak-ngik-ngok ala The Beatles, atau dipuja-puji lewat lagu Oentoek Paduka Jang Mulia yang dinyanyikan Lilis Suryani.
Ia terperangkap ke dalam slogan-slogan karangan dia sendiri, seperti “Manipol-Usdek”, “Tahun Vivere Peri Koloso”, atau “Panca Azimat Revolusi”. Ia terlalu sering mengelu-elukan Menpangad Letjen Achmad Yani atau Ketua Umum PKI DN Aidit jadi “putra mahkota” pengganti resmi.
Kekuatan Tiga Besar dalam negeri yang dihadapi BK terangkum lewat Nasakom yang menurut dia merupakan “jiwaku”. BK menegaskan yang menghalangi Nasakom akan disingkirkan karena masuk kategori “kepala batu”.
BK menjaga jarak dengan PNI untuk unjuk diri sebagai “bapak” penaung semua aliran. Makin tahun ia makin memanjakan PKI dan membiarkan mereka berkali-kali mengganggu kalangan beragama, misalnya lewat isu land reform atau kampanye anti-Tuhan.
Meski sering bertikai secara terbuka, BK tak beda prinsip dengan kelompok nasionalis lainnya, TNI. Mereka sejalan dalam menghadapi pemberontakan PRRI/Permesta, perang pembebasan Irian Barat, dan politik konfrontasi.
Namun, pertentangan BK-Pak Nas sejak 1950-an jadi faktor dominan yang ikut memengaruhi pecahnya G30S tahun 1965. Pangti ouwe heer yang berumur 64 tahun berhadapan dengan sesepuh TNI AD yang baru berusia 46 tahun pas tahun 1965.
Kedua-duanya sama-sama berjuang dari bawah dan selama jadi pejabat publik menerapkan pola hidup sederhana. Pak Nas pembawa panji Orde Baru yang setengah hati, BK kalah dan terkurung sampai meninggal dunia.
BK sering mengatakan, “Revolusi akan memakan anaknya sendiri”. Pada detik-detik terakhir ia bisa saja melancarkan serangan balik, tetapi untuk apa kalau cuma memecah belah bangsanya sendiri?
Tahun 1965 itulah akhir dari “Drama Indonesia Jilid Pertama”. Mereka yang memujanya mungkin lebih banyak daripada yang membencinya, tetapi tak ada yang tak setuju bahwa BK jadi bintang utamanya.
Bagaimana dengan “Drama Indonesia Jilid Kedua”? Tunggu tanggal mainnya.