Bung Karno: Nabi Muhammad Saw adalah teladan
Bung Karno: Nabi Muhammad Saw adalah teladan (kompasiana)

Hingga sekarang, peringatan Maulid Nabi dan Isra Mi’raj selalu dirayakan secara khidmat di Istana Negara. Adalah Presiden Sukarno yang memulainya. Perayaan atau peringatan keagamaan di Istana ini kemudian menjadi warisan jejak kebaikan yang selalu diikuti oleh presiden-presiden Indonesia berikutnya.

Bahkan, Presiden Sukarno pernah mengatakan dengan penuh rasa bangga bahwa tidak ada negara lain kala itu yang mengadakan peringatan Maulid Nabi atau Isra Mi’raj resmi di Istana Negara seperti di Republik Indonesia. Baru belakangan, banyak negara di dunia ikut melakukan hal sama.

Patut dicatat, setiap kali peringatan Maulid Nabi dan Isra Mi’raj tiba, lagi-lagi Bung Karno selalu menyempatkan diri memberi sambutan. Bung Karno sendiri menyukai permintaan tampil ini, dan itu dianggapnya sebagai bentuk kecintaannya kepada Nabi Muhammad Saw.

Bung Karno menyebut peringatan Maulid Nabi dan Isra Mi’raj di Istana Negara sebagai sarana untuk mengagungkan Nabi Muhammad Saw sebagai sosok pejuang besar yang wajib diteladani. Bung Karno lebih banyak mengungkap pengagungannya kepada Nabi ini dalam bentuk narasi-narasi pidato kenegaraan.

Suatu kali, Bung Karno tampil di acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, tanggal 1 Juli 1966 yang bertepatan dengan 11 Rabiul Awwal 1386. Pidato Presiden pada peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw di Istana Negara Jakarta ini hanya berupa satu lembar kertas konsep, yang disimpan di gedung Arsip Nasional RI di nomor 888.

Saat mengawali pidatonya, Bung Karno melontarkan pertanyaan: “Apa sebab saya memuliakan Muhammad? Apa sebab saya cinta mati-matian kepada Muhammad? Apa sebab saya anggap Muhammad itu manusia yang terbesar yang pernah hidup di bawah kolong langit ini? Apa sebab? Tentu masing-masing orang mempunyai pendapat sendiri-sendiri.”

Selanjutnya, Bung Karno dengan gaya pidato dan retorikanya yang khas menyampaikan perasaan subjektifnya kenapa ia cinta bukan main, sayang mati-matian kepada Muhammad Saw. Tak cuma itu, sekaligus Bung Karno menganggap Nabi Muhammad sebagai manusia teragung yang pernah hidup di kolong langit. 

Bung Karno mengibaratkan Muhammad itu satu bouquet bunga, rangkaian bunga yang dalam keseluruhannya indah sekali. Ada bunga putihnya, ada bunga merahnya, ada bunga birunya, ada bunga kecil-kecilnya, dan ada bunga yang mencolok besarnya. Demikian seterusnya. Seluruhnya adalah satu bouquet yang cantik indah, yang menakjubkan. 

Namun, Bung Karno beretorika, dari berpuluh-puluh macam bunga di dalam bouquet itu, ada satu yang menurut rasa subjektifnya paling dikagumi. Itulah Muhammad yang paling indah dan paling dihormati di antara manusia di muka bumi ini. “Kalau ditanya kepada saya, Muhammad yang saya kagumi itu, apa toh kok Bung Karno kagumi mati-matian. Apanya?”

Bung Karno kemudian menjawab pertanyaannya sendiri dengan menceritakan mengenai philosophy of life yang ia ikuti. “Falsafah hidup saya ikuti, gemari. Yaitu saya anggap Muhammad itu, baik di dalam badaniahnya maupun di dalam kepemimpinannya, maupun di dalam tindak tanduknya, menonjolkan satu sifat hebat, yaitu aku akan sebut dengan satu perkataan, kejantanan, kelaki-lakian.”

“Saya minta para wanita jangan lantas, wah ini menghina kepada wanita ini! Kok yang diagungkan oleh Bung Karno kok kejantanan, kelaki-lakian. Saya minta maaf kepada Saudara-saudara kaum wanita, barangkali Saudara-saudara sudah mengerti apa yang saya maksudkan dengan kejantanan. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan kelamin. Has nothing to do with sex. Tidak!” 

Bung Karno lantas menjelaskan dengan gamblang apa yang dimaksudnya dengan kejantanan atau kelaki-lakian Nabi Muhammad itu. “Yang saya maksudkan dengan kejantanan ialah, sikap kekuatan pejuang, kejantanan, sentosa. Itu yang saya maksudkan,” ungkap Bung Karno dengan nada suaranya yang berapi-api.

Selanjutnya Bung Karno menguraikan bagaimana Muhammad selama sepuluh tahun memimpin perjuangan di Madinah, dilanjutkan dengan perjuangan selama 13 tahun di Mekah. Bung Karno juga menggambarkan bagaimana Muhammad mendaki dan menuruni bukit. “Ibaratnya, Muhammad pun menyemir sepatu sendiri. Bukan orang ndara, ningrat yang memerintah menyemir sepatunya, tidak. Kadang-kadang dia pikul air sendiri.” [AT]