Koran Sulindo – Hanya di Indonesia nuklir bisa berhadapan dengan fikih, dan kalah. Ceritanya, berdasarkan keputusan sejak awal Orde Baru, pada 1975, di pesisir pantai utara Jawa Tengah akan menjadi tapak pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir yang pertama di tanah air.

Semenanjung Muria dinilai tepat bagi berdirinya reaktor PLTN hasil kajian konsultan asal Jepang, New Jec, dan berbiaya Rp 22 miliar itu (waktu itu). Namun sejak itu hingga Orde Baru jatuh berpuluh athun kemudian, gelombang penolakan terus-menerus masyarakat baik di Jakarta maupun warga setempat membuat program itu seperti mati angin.

Puncaknya, dalam Dialog & Mubahatsah Alim Ulama se-Jawa Tengah mengenai PLTN Muria menurut perspektif Fiqih, yang diselenggarakan PCNU Jepara-Kudus dalam rangka Harlah NU Ke-81 di Jepara, pada 1 September 2007, keluarlah fatwa nuklir itu haram. Alasannya, energi yang dihasilkan hanya 2-4 persen dari seluruh pembangkit listrik yang ada di taah air, sementara limbah radioaktifnya sangat berbahaya.

Entah karena perlawanan rakyat yang militan, atau saat itu sudah dekat Pemilu 2009, gagasan pendirian PLTN itu seperti tiba-tiba lenyap di telan bumi, dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah mengungkit-ungkit lagi.

Ketika pemerintah pada 2011 kembali mempromosikan PLTN dan daerah yang disebut sebagai lokasi berdirinya reaktor itu bukan lagi Semenanjung Muria, berakhirlah nasib PLTN Muria. Tapi bukan nasib PLTN-nya. Tapak itu konon mau dipindah ke Provinsi Bangka, dan gagasan pendirian PLTN itu mulailah dari titik nol lagi,

Sebenarnya Indonesia memulai mengembangkan tehnologi nuklir pada 1958 dengan pembangunan Lembaga Tenaga Atom yang pada 1964 menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), pada zaman Soekarno, Kepala BATAN jabatan penting setingkat menteri.

Soekarno jatuh, mimpi memiliki PLTN ikut runtuh.

Setelah 59 tahun, Indonesia masih hanya bisa bermimpi. Tidak ada satu pun hingga kini PLTN yang terbangun. BATAN memang mengoperasikan 3 buah reaktor nuklir, 2 buah reaktor Triga mark II di Yogyakarta dan Bandung dan sebuah reaktor nuklir 30 MW di Serpong. Namun semuanya masih berkutat pada skala laboratorium.

Kesalahan besar di pundak Jendral Soeharto dengan Orde Barunya. Nampaknya apapun yang dari masa Bung Karno memang sengaja tidak ingin disentuh-sentuh Jenderal Besar itu. Orba langsung mengerem teknologi nuklir yang dikembangkan BATAN, tidak mematikannya, hanya membiarkannya kerdil sendiri. Pada masa ini nuklir hanya berurusan dengan bibit bermutu dan makanan, misalnya.

Pada 28 Juni 1977, misalnya, Menteri Negara Riset Prof. Soemitro menghadap Presiden Soeharto untuk membicarakan kerjasama dengan Hongaria meliputi pengembangan pertanian campuran dan penggunaan radio isotop dalam bidang kedokteran. Pada 1 Maret 1979, di Yogyakarta, Soeharto meresmikan Reaktor Atom Kartini dengan kapasitas 100 KW, reaktor atom ini dipergunakan hanya untuk penelitian dan pendidikan.

Pada 26 juli 1982, Soeharto meresmikan penggunaan beberapa perlengkapan kedokteran baru untuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Unit-unit yanbg diresmikan antara lain radiosnostik, kedokteran nuklir, dan radioterapi. Di bidang pertanian nuklir menghasilkan bibit-bibit unggul yang tahan terhadap hama serta memiliki produktivitas yang tinggi sehingga dapat menunjang program intensifikasi pertanian Orba.

Djali Ahimsa, pernah Kepala BATAN, dalam “Pemimpin Yang Penuh Pengertian”(Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun; 2009) mengatakan ketika bertemu Soeharto, ia menguraikan telah menggunakan nuklir untuk kepentingan pertanian.

“Beliau sangat mendukung dan gembira sekali. Sebagai contoh, umpamanya, kami telah meneliti pupuk dengan memakai radio isotop. Kami telah pula menggunakan radio isotop untuk meneliti kadar tanah dan kadar perembesan air di tanah. Begitu pula kami telah meneliti makanan ternak, terutama untuk sapi, kambing dan binatang yang sejenis itu. Dalam kaitan ini kami menggunakan isotop untuk mengembangkan makanan ternak suplementer. Khusus untuk. yang terakhir ini, kami sendiri belum melaporkannya pada beliau, tetapi ketika Direktur Jenderal Peternakan menyerahkan hasil penelitian tersebut, kami mendapat telepon dari Cendana. Presiden meminta laporan yang lengkap mengenai penelitian kami,” tulis Jali.

Pada masa-masa ini pula, Menristek BJ Habibie menyekolahkan ratusan anak bangsa ke luar negeri untuk menjadi ahli nuklir. Sepulang ke Indonesia mereka menemukan ilmunya tak bisa diaplikasikan di Indonesia.

Sejak Reformasi 1998, teknologi nuklir perlahan mulai dikembangkan kembali. Presiden SBY pada 16 Januari 2014 menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014. Dalam PP itu dinyatakan pembangunan, pengoperasian , dan dekomisioning reaktor daya nonkomersial atau reaktor nondaya non komersial hanya bisa dilaksanakan BATAN.

PLTN juga masuk dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Pada RPJPN itu disebutkan PLTN akan beroperasi antara 2015-2019. Namun sampai kini tak ada dokumen resmi yang memastikan hal itu.

Setelah lebih 6 dasawarsa sejak Bung Karno pertama kali menyebut nuklir di Istana Negara, hingga kini pemanfaatan energi ini di Indonesia masih berkutat di kertas-kertas rencana dan persiapan saja. [Didit Sidarta]