Koran Sulindo – Kekuatan yang sadar anti-komunis di Indonesia sebenarnya merupakan minoritas. Sikap itu disebabkan karena mereka sadar bahwa kepemilikan, kedudukan ekonomi dan hak-hak istimewanya akan menjadi sasaran perjuangan kaum buruh, kaum tani, kaum miskin kota, kaum pemuda dan wanita, masyarakat adat dan sektor kelas pekerja lainnya yang menginginkan sebuah masyarakat yang menjamin keadilan sosial dan kesetaraan.
Mayoritas massa menjadi anti-PKI karena mesin propaganda Orde Baru dengan dan tanpa Soeharto telah dan terus merasuk dan berdominasi dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Kita masih terus bergelut untuk mengatasi kebodohan dan kepicikan yang membutakan dan melumpuhkan.
Tahukah kaum anti-komunis bahwa PKI dilahirkan dari rahim Sarekat Islam, 1912, yang berkembang pesat setelah para pemimpinnya sadar bahwa perjuangan politik melawan penjajah Belanda harus dilancarkan guna menjamin kesamaan hak yang dituntut para pedagang Islam?
Tahukah kaum pembenci PKI bahwa sebelum TNI dan semua jenderal anti-komunis lahir, PKI-lah yang memimpin pemberontakan nasional pertama melawan penjajah Belanda pada 1926? Akibatnya, ribuan komunis dipenjara, dibuang ke Boven Digul di Papua dan tujuh putra Priangan, lima putra Banten dan empat putra Minang, digantung. Pengorbanan pertama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia justru diberikan oleh kaum komunis; banyak di antara mereka yang sekaligus muslim. Ada percobaan untuk menghilangkan keyakinan komunis para pejuang Digulis itu dan berkata bahwa mereka bukan komunis, melainkan orang Islam. Sebaliknya, dalam kudeta merangkaknya Soeharto 1965, semua di-PKI-kan supaya bisa ditangkap, diculik dan dibunuh. Stigma “PKI anti-agama” adalah racun yang terpelihara karena propaganda Orba, kebodohan dan kepicikan.
Pada Maret 1942, Belanda bertekuk lutut di hadapan balatentara Jepang. Indonesia diduduki “Saudara Tua”. Sebelum Jepang masuk, 1937, kader PKI, Amir Syarifudin dan Wikana serta tokoh nasionalis seperti Sartono dan A.K. Gani sudah ambil inisiatif untuk mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO) guna menghadapi bahaya fasisme. Di tahun yang sama, sebuah front persatuan, Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dibentuk. Tahun 1944, D.N. Aidit, M.H.Lukman dan Sidik Kertapati membentuk Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom). Selain itu, ada Gerakan anti Fasis (Geraf) yang dipimpin Widarta dan Gerakan Indonesia Baru pimpinan Wikana. Karena kegiatannya itulah maka banyak kader PKI yang ditangkap, disiksa dan dihukum mati. Pamudji, ketua PKI ketika itu, dan Sjaifulah meninggal dalam penyiksaan. Sukadjat, Azis dan Abdurochim dihukum mati. Jaminan Bung Karno telah mengubah hukuman mati bagi Amir Sjarifudin menjadi hukuman seumur hidup. Ironisnya, kemudian, Amir Sjarifudin ditembak mati tanpa proses hukum oleh pemerintahan Hatta.
Ada orang yang menggunakan ungkapan “Revolusi makan anak kandungnya sendiri”. Saya melihat bukan revolusi yang membunuh Amir Sjarifudin dan kawan-kawannya, melainkan kontrarevolusi yang dilancarkan Hatta dan para petinggi militer pro-kolonial dan imperialis dan dibantu para pengikut Tan Malaka/Trotski.
Perjuangan Kemerdekaan
Ketika Jepang menyerah, orang-orang PKI, D.N. Aidit dan Wikana yang ambil inisiatif untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Bersama tokoh pemuda nasionalis lainnya, mereka berhasil mendorong Soekarno dan Hatta untuk berani memproklamasikan Republik Indonesia. Kemudian dalam pengorganisasian rapat raksasa di lapangan Ikada, 19 September 1945, kembali aktif DN Aidit, MH Lukman dan Sidik Kertapati. Tak heranlah kalau kemudian mereka termasuk yang diciduk Kenpeitai.
Dalam pertempuran Surabaya melawan Inggris, hadir orang-orang kiri dan komunis bahu membahu dengan rakyat membela kedaulatan Republik. Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang didirikan Soemarsono, Ruslan Wijayasastra dan Bambang Kaslan, memainkan peran pokok dalam perlawanan itu. Bung Tomo, penanggungjawab PRI dalam bidang penerangan, sedangkan Soemarsono ketua PRI. Bung Tomo jadi pahlawan; Soemarsono, jangankan jadi pahlawan, partisipasinya pun ingin dihilangkan wartawan senior, Rosihan Anwar. Padahal PRI, laskar pemuda pertama dan terbesar di Surabaya di mana tergabung 20 ribu pemuda, jauh lebih besar daripada Tentara Keamanan Rakyat.
Dalam Kongres Pemuda Pertama, yang diselenggarakan atas inisiatif Amir Sjarifudin, 6 November 1945 di Yogjakarta, PRI bergabung dengan enam ormas pemuda lainnya menjadi Pemuda Sosialis (Pesindo) yang tumbuh besar bahkan sampai ke Aceh, dan akhirnya menjadi organisasi pemuda terbesar dan terkuat dengan laskar-laskar bersenjatanya. Laskar-laskar rakyat ini berperan besar dalam melancarkan perang gerilya melawan agresi militer Belanda. Tentara reguler TNI tak dapat memenangkan perang kilat yang dilancarkan tentara Belanda yang dipersenjatai sampai giginya. Tak terelakkan TNI harus meninggalkan kota-kota yang dengan cepat diduduki Belanda dan masuk ke daerah pedesaan. Tanpa dukungan kaum tani dan laskar-laskar rakyat, perlawanan tak akan dapat bertahan lama.
Dalam pemerintahan yang dibentuk sejak proklamasi, terdapat juga wakil-wakil kiri/komunis. Dalam kabinet Amir Sjarifudin, suara kiri diwakili pada pokoknya oleh Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia (PBI), PKI, SOBSI. Tanpa kekuatan yang nyata ada dalam masyarakat dan pergerakan kemerdekaan, tak mungkin kehadiran para wakil kiri dalam kabinet. Ini merupakan duri dalam daging kaum kanan pro-imperialis.
Dengan dalih menentang persetujuan Renville, Masyumi, kemudian juga PNI, menarik menteri-menterinya dari kabinet Amir. Padahal wakil kedua partai itu turut serta dalam proses perundingan. Itulah cara licik untuk menjatuhkan kabinet Amir Sjarifudin. Berhasil mereka menyingkirkan kekuatan kiri di pemerintahan, tibalah saatnya menghancurkan kekuatan kiri bersenjata melalui Rekonstruksi dan Rasionalisasi yang dikeluarkan pemerintahan Hatta. Semua ini terjadi dalam konteks perang dingin yang dilancarkan imperialis AS untuk membendung pengaruh komunis.
Kebodohan dan kepicikan kaum anti-PKI tak memungkinkannya untuk menganalisa latar belakang semua kejadian yang saling berhubungan yang berakhir pada persekusi, pemenjaraan dan pembunuhan terhadap anggota PKI, ormas dan militer kiri, September 1948. Tindakan bela diri terhadap provokasi dan serangan tentara Siliwangi dicap pemberontakan oleh kaum anti-komunis.
Penyembunyian dan Pemutarbalikkan Fakta
Kepada orang yang mau dengan jujur menelusuri perjalanan sejarah PKI, bisa kita tanya, adakah kebijakan atau tindakan PKI yang pro-kolonial, pro-imperialis? Pernahkan PKI berkolaborasai dengan CIA? Apakah PKI sebuah partai koruptor?
Salah satu cara untuk mempertahankan kebencian terhadap PKI adalah menyembunyikan, memutar balik atau memanipulasi fakta. Begitu orang mengucap PKI, kaum anti-komunis kontan bilang, anti-agama! Harap diketahui, sejak lahir sampai dibunuh Orba, PKI tidak pernah mencantumkan syarat ateisme untuk menjadi anggota. Bagaimana pembenci PKI menjelaskan Haji Misbach, Haji Batuah, Kiai Haji Dasuki Siradj dan banyak haji-haji lain sebagai anggota PKI dan turut serta dalam pemberontakan 1926?
Begitu bebas dari pembuangan Boven Digul, KH Dasuki Siradj meneruskan pengabdiannya kepada rakyat sebagai komunis tanpa meninggalkan Islam. Ketika H. Moh. Thaha dari NU mengajaknya kembali kepada ajaran Islam, beliau menjawab belum pernah meninggalkan Islam. Beliau menambahkan, pengalaman 33 tahun bersama PKI justru semakin mengukuhkan bahwa kembali kepada Islam berarti menjalankan hukum Allah dalam praktik politik. Dan untuk itu, PKI-lah tempatnya.
Selama mewakili PKI di Konstituante, beliau sering menghadapi serangan wakil Masyumi yang menuduh PKI berpotensi untuk menghancurkan masjid dan agama, kalau berkuasa. KH Dasuki mengungkapkan fakta ketika itu, banyak masjid dibakar dan banyak orang dibunuh, bukan oleh PKI tapi oleh gerombolan DI/TII. Keluarga saya pun langsung mengalaminya. Eyang saya, KH Muklas dibunuh gerombolan DI/TII di Tegal, 6 Januari 1960.
Desa Cibugel, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, dari 1949-1962, mengalami tidak kurang dari 50 kali penggarongan dan pembakaran DI/TII, karena penduduknya konsisten menolak pemberontakan. Pinardi, dalam bukunya Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo yang dikutip Hendi Johari, cerita bahwa dalam salah satu serangannya, 1.400 rumah habis dibakar, tak satupun bangunan yang berdiri utuh, tujuh warga desa ditangkap dan di sebuah kandang kambing, satu persatu disembelih atau dipukul ruyung hingga kepala pecah. Semua warga dipaksa menyaksikan pembunuhan sadis itu.
Dalam serbuan yang terjadi 23 November 1959, 120 orang tewas, 60 orang luka-luka dan 418 rumah dibakar. Sebagian besar yang mati adalah wanita, anak-anak dan balita yang mati bukan karena peluru nyasar, tapi memang sengaja ditembak. DI/TII yang mengacau, membakar dan membunuh, tapi PKI yang dibenci dan dimusuhi.
PKI sering dituduh melakukan pembantaian terhadap ulama dan santri. Zein Muttaqien, di akun Facebook, 31 Mei 2020, menyebarkan foto sebagai bukti kuburan massal ulama dan santri yang, katanya, dibunuh PKI Musso. Ia juga menuduh anggota PKI yang dibebaskan dari penjara, serta keluarga dan simpatisannya melakukan pemutarbalikkan fakta sejarah. Padahal orang-orang di parit yang akan dibunuh di foto itu adalah korban pembantaian 1965/66! Siapa sebetulnya yang memutar balik fakta sejarah?
Sementara itu sejarawan Asvi Warman Adam (LIPI) menganggap cerita-cerita di buku Ayat-Ayat yang Disembelih oleh Thowaf Zuharon dan Anab Afifi tidak jelas 5W-nya (What, Who, Where, When, Why) dan 1 H-nya (How). Di samping itu, Thowaf Zuharon adalah redaktur khusus Cendana News. Jelas benang hitamnya.
Seandainya banjir darah tahun 1948 terhadap ulama dan santri oleh PKI memang betul terjadi, mengapa pemerintah Hatta dan Aangkatan Darat tidak langsung mendokumentasikannya, sehingga jelas 5W dan 1H-nya? Mengapa baru muncul buku itu tahun 2015, kurang lebih 67 tahun kemudian? Kalau saksi pembunuhan berumur 10 hingga 15 tahun ketika itu, berarti ia sudah berumur hampir 80 tahun ketika diminta kesaksiannya. Panjang sekali umurnya! Yang lebih hebat dan serem lagi, Anab Afifi berkata kepada kumparan.com, buku itu bicara tentang kekejaman PKI periode 1926-1968! Yang dibunuh PKI bukan orang Islam, melainkan orang Kristen, Budha, Hindu! Begitu tinggi “imajinasi” sang penulis, sampai lupa bahwa pada 1926-27 justru kaum komunis yang ditindas Belanda.
Kalau memang betul PKI melakukan kejahatan pembantaian, mengapa tidak diadili para pemimpinnya secara terbuka? Amir Sjarifudin bersama 10 kawannya, ditembak mati tanpa diadili. Hatta begitu haus darah orang-orang PKI, sehingga tak menghiraukan kenyataan 4 menteri menolak, 4 menteri abstain dan veto Presiden Soekarno yang menolak membunuh 11 orang PKI itu.
Sebaliknya, pasukan gelap berseragam hitam, berikat kepala merah dan menggunakan badge tengkorak, yang telah menahan 100 anggota Sarekat Buruh Kereta Api yang menyelenggarakan kongres di Madiun, setelah dilucuti oleh Brigade 29, dilepaskan, tak ada yang ditahan. Pelucutan itupun dilakukan karena pasukan gelap itu mengadakan latihan perang tanpa izin Komandan Militer Teritorial, dengan peluru tajam di lapangan dekat markas Brigade 29. Itu dianggap mengancam keselamatan Brigade. Ternyata, pasukan gelap itu merupakan gabungan dari Siliwangi, Brigade Mobil dan Gerakan Revolusi Rakyat yang dibentuk oleh para pengikut Tan Malaka.
Kreuzer menilai licik dan kotor politik Hatta yang tiba-tiba membebaskan pengikut Tan Malaka yang ditahan berkaitan dengan keterlibatannya dalam kudeta yang gagal pada peristiwa 3 Juli 1946. Harusnya orang-orang anti-PKI bertanya, mengapa mereka yang dinyatakan terlibat dalam kudeta, tidak saja tidak ditembak mati, tapi malah dibebaskan? Hatta tahu betapa bencinya pengikut Tan Malaka pada PKI. Di Madiunlah kesempatan untuk mengadu mereka.
Irvan Sjafari, dalam ulasannya terhadap buku Ayat-Ayat yang Disembelih bicara tentang PKI ubel-ubel atau laskar hitam dan pemimpin PKI bernama Kutil, pelaku penyembelihan. Konon, Kutil mengakui mengikuti PKI dan instruksi Tan Malaka! Kasihan, sang penulis tidak tahu bahwa PKI musuh bebuyutan Tan Malaka! Tak mungkin ikut PKI dan sekaligus ikut Tan Malaka, kecuali mata-mata atau provokator. Itulah pemuda-pemudanya Dr. Moewardi yang berseragam gelap dengan ikat kepala merah dan menyaru sebagai anggota PKI. Merekalah yang melakukan pengacauan dan teror terhadap para kiai dan santri. Bayangkan sendiri kekeruhan situasi yang meningkatkan ketegangan dan bentrokan dengan akibat korban berjatuhan.
Apakah PKI Akan kembali?
Anhar Gonggong dikenal sebagai sejarawan anti-PKI. Namun, dia sadar partai macam apa PKI itu. Jawabnya, kalau pemerintah bisa memberi kesejahteraan kepada semua, maka ruang untuk kembalinya PKI bisa tertutup. Kalau pemerintah tidak dapat membuat kita semua merasa merdeka dan tidak bisa memberi kesejahteraan kepada semua, maka ruang terbuka untuk kehidupan PKI. Kebenciannya kepada PKI tak menghalanginya untuk mengakui secara tak langsung bahwa PKI adalah partai yang berjuang untuk kesejahteraan rakyat kita semua.
Umat Islam tak seharusnya melupakan pengalaman KH Dasuki Siradj yang menganggap PKI adalah tempat di mana beliau menjalankan hukum Allah dalam praktik politik. Umat Kristen juga seharusnya ingat bahwa Amir Sjarifudin merealisasi ajaran Kristus dalam praktik politiknya. Mereka yang merasa revolusioner tapi menghujat PKI bukanlah revolusioner sejati. Kelemahan dan kekurangannya, jangan diulangi dan harus diatasi. Sukses dan keberhasilannya, lipat gandakan. Hanya orang yang berpangku tangan yang tidak melakukan kesalahan. Jutaan komunis sejati sudah membuktikan dirinya berani berjuang membela kepentingan rakyat tanpa pamrih, dengan mengorbankan segala-galanya termasuk jiwanya. PKI berani mengakui kesalahan dan berusaha memperbaikinya. Hanya PKI yang memperjuangkan hari depan adil dan makmur bagi rakyat. [Tatiana Lukman]