Bulan September (Bagian 2)

Ilustrasi: Menguak hubungan Angkatan Darat dengan CIA/Asia Times

Koran Sulindo – Meski sudah cukup banyak buku, tulisan dan seminar tentang G30S, pembantaian 65/66 dan peran CIA yang bertentangan dengan versi Orde Baru, namun propaganda busuk anti-PKI terus berjalan. Penyangga Orde Baru terpenting dan terkuat tetap berkuasa.

Mereka yang pernah baca The Invisible Government oleh David Wise dan Thomas Ross dan Inside the Company: CIA Diary oleh Philip Agee, mantan agen CIA, pasti sadar bahwa di Amerika Serikat (AS) ada dua pemerintahan, yang kelihatan dan yang tersembunyi. Yang tersembunyi melakukan berbagai macam kegiatan mencari dan mengumpulkan informasi rahasia, melakukan spionase, merencanakan dan melaksanakan operasi-operasi rahasia di seluruh dunia.

Di samping CIA, ada National Security Agency, Defense Intelligence Agency, Army Intelligence, Navy Intelligence, Air Force Intelligence, State Department Bureau of Intelligence and Research, Atomic Energy Commission, dan Federal Bureau of Investigation (FBI) yang merupakan bagian dari pemerintahan yang tersembunyi itu. Menurut Oltmans (tahun 1964), jaringan kerja mata-mata ini mempekerjakan sekitar 200 ribu orang di seluruh dunia.

Oltmans mencatat 58 negeri dan wilayah di mana CIA terlibat dalam berbagai kejahatan, seperti penculikan, penyiksaan, pembunuhan dan penggulingan pemerintah setempat. AS juga satu-satunya negara yang telah menjatuhkan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki. AS juga yang pertama kali menggunakan senjata kimia di Asia Tenggara.

CIA dan Perwira Tinggi AD
Dalam bukunya In Het Land van des Blinden, Willem Oltmans menulis bahwa intervensi langsung CIA di Indonesia yang pertama kali tercatat adalah ketika agen CIA dari Belanda, Werner Verrips, merampok Javase Bank di Surabaya, 20 Desember 1950. Mayor Sutikno Lukitodisastro, yang mendapat kunjungan Oltmans, tahun 1957, ketika menunaikan tugas di Mesir sebagai anggota Batalion Garuda I, cerita bahwa dialah yang menangkap Verrips. Awal tahun 60-an, Oltmans ketemu lagi dengan Sutikno di Washington, dengan pangkat Letnan Kolonel dan jabatan asisten atase militer di Kedutaan Besar (Kedubes) Indonesia. Dalam periode itulah terjadi kontak-kontak profesional Sutikno dengan CIA, kata Oltman. Tak heranlah kalau Oltmans ketemu Kolonel Sutikno lagi pada 1966, di Jakarta, sebagai tangan kanan Soeharto.

Pada 14 Juni, 1961, Ujeng Suwargana, utusan istimewa Jenderal Nasution dan para jenderal lain yang dekat dengan CIA, muncul di rumah Oltmans di New York. Ia membawa berita tentang terbentuknya Dewan Jenderal di Jakarta yang akan menggulingkan Bung Karno dan menempatkan Nasution sebagai gantinya. Sementara itu, beberapa teman Oltmans di Belanda cerita bahwa Ujeng menyebarkan berita di kalangan wartawan dan anggota Parlemen, tentang akan terjadinya pengalihan kekuasaan oleh Jenderal Nasution. Oltmans menganggap Ujeng sebagai agen CIA dan pengkhianat.

Kaum anti-PKI tak seharusnya melupakan peristiwa 17 Oktober 1952 di mana Kolonel Nasution bersama antara lain, Kolonel TB Simatupang, Letkol Sutoko, Letkol S.Parman, Kolonel dr. Mustopo, Letkol Kemal Idris, mengarahkan moncong meriam ke Istana dan memobilisasi massa bayarannya untuk menekan Bung Karno agar membubarkan Parlemen. Bagaimana kaum anti-komunis menilai gebrakan militer ini? Makar atau bukan? Apakah para pelaku dihukum?

Kalau kita mundurkan sejarah ke tahun 1945 hingga 1948, akan kita temukan akar masalahnya. Yaitu kenyataan adanya dua aliran yang bertentangan dalam proses pembentukan TNI. Di satu pihak terdapat perwira-perwira yang cenderung kanan, pro-kolonial Belanda dan imperialis AS; di lain pihak perwira yang cenderung kiri, anti-kolonial dan anti-imperialis. Yang menarik perhatian adalah banyak dari perwira-perwira kanan itu berasal dari KNIL. Sementara itu, banyak dari perwira beraliran kiri berasal dari kalangan rakyat melalui pembentukan laskar-laskar dan juga PETA. Mereka tumbuh dalam perlawanan konkret terhadap usaha Belanda untuk kembali menjajah. Hari Pahlawan 10 November dilahirkan oleh pertempuran gagah berani rakyat Surabaya serta kekuatan bersenjatanya. Ia tidak lahir dari pertempuran di Bandung atau Jakarta.

Adanya kekuatan kiri bersenjata ini bagaikan duri dalam daging kaum imperialis AS. Kesempatan menyingkirkan kekuatan kiri ini tiba dengan terbentuknya pemerintahan Hatta, Januari 1948. Dengan dalih membuat TNI lebih ramping dan profesional, lahirlah kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) yang dijalankan melalui penculikan, penangkapan dan serangan terhadap militer dan organisasi massa dan politik kiri yang menentang Re-Ra. Hatta tak segan-segan menggunakan orang-orang Trotskis untuk menciptakan kekacauan, yang berakhir dengan teror putih terhadap kaum komunis dan kaum kiri.

Sikap Hatta terhadap komunis tak berubah. Dalam dokumen CIA tahun 1957 yang telah dideklasifikasi tertulis bahwa Hatta mendukung penghancuran pengaruh komunis di pemerintahan. Salah satu hal yang memisahkan Hatta dari Soekarno adalah sikap terhadap kaum komunis.

Makar pada 17 Oktober 1952 disebabkan antara lain karena pertentangan yang menyangkut keinginan Kolonel Nasution dan Kolonel Simatupang untuk mendatangkan Misi Militer Belanda guna mendidik kader militer. Ini ditentang oleh golongan militer lain yang melihat Belanda sebagai kekuatan neo-kolonial. Di sini kita lihat ke mana berpalingnya golongan militer pimpinan Nasution, bukan?

Kembali ke cerita Oltmans yang melalui Jenderal Suhardjo Hardjowardojo, saluran rahasianya ketika itu, melapor kepada Bung Karno tentang Dewan Jenderal yang punya rencana menegakkan pemerintahan pro-AS. Bung Karno mengirim Kolonel Magenda dari dinas rahasia Indonesia ke AS yang mengkonfirmasi kebenaran informasi Oltmans. Terjadilah mutasi di kalangan tentara.

Pada 17 Maret 1962, Oltmans mengundang Ujeng bersama istrinya untuk makan di sebuah restoran di New York. Oltmans tak bisa lupa cerita Ujeng tentang Bung Karno yang, katanya, pernah berkomentar: “Saya seperti bunga. Lebih suka dipetik dari pada dibiarkan layu”. Interpretasi Ujeng adalah Soekarno lebih suka dibunuh dalam sebuah kontrarevolusi dari pada meletakkan jabatan dan mati dalam kesendirian dan dilupakan. Ujeng Suwargana berkata “Kita akan biarkan Bung Karno mati seperti bunga tanpa air”. Ramalan Ujeng tahun 1962 terjadi setelah kudeta Soeharto pada 1965. Itulah hukuman Soeharto karena Bung Karno menolak menuduh PKI sebagai dalang makar pada 1965. Bujukan Oltmans pun, yang diminta Kolonel Sutikno untuk membantu meyakinkan Bung Karno, ditolak karena beliau yakin PKI tidak bersalah dalam upaya  menggulingkan pemerintahannya.

Suatu hari, pada Oktober 1964, Oltmans terima telepon Kolonel Sutikno, atase militer di Washington, yang menyampaikan keinginan jenderal tertinggi dinas rahasia, S. Parman, untuk menemuinya. Pada 18 Oktober 1964, Oltmans tiba di Hotel Hilton New Yok dan langsung ke suite nomor 1040. Ternyata tujuan Jenderal Parman sebenarnya adalah menghubungi agen CIA, Werner Verrips. Jenderal Parman sudah kenal Verrips sejak ia masih tinggal di Indonesia. Verrips punya hubungan sangat baik dengan Jenderal Nasution, Jenderal Pandjaitan di Bonn, dan Jenderal Parman. Bahkan Jenderal Pandjaitan dan Jenderal Parman pernah datang ke rumahnya di Huis ter Heide, negeri Belanda. Akhirnya terjadi percakapan telepon  akrab antara Jenderal Parman dengan Verrips. Mereka janjian akan bertemu di Belanda atau London.

Ada pepatah dalam bahasa Spanyol dime con quien andas, te diré quién eres (katakan siapa kawan pergaulan Anda, akan saya kasih tahu siapa Anda).

Anehnya, beberapa minggu kemudian Oltmans terima telepon Verrips yang dengan gelisah bertanya mengapa Jenderal Parman mencari dia. Oltmans tidak tahu. Verrips memberitahu Oltmans bahwa dia diancam akan dibunuh. Enam minggu kemudian setelah Jenderal Parman meneleponnya dari Hotel Hilton di New York, persisnya 4 Desember, Verrips mati dalam sebuah kecelakaan mobil. Adakah hubungan kematiannya dengan telepon Jenderal Parman? Yang jelas, cara membunuh agen yang sudah tidak diperlukan atau membahayakan operasinya, melalui kecelakaan merupakan praktik umum CIA di mana-mana.

Tokoh sipil yang diberitakan sebagai agen CIA adalah Adam Malik. Dalih yang dipakai oleh mereka yang membela Adam Malik adalah itu dilakukan untuk kepentingan Indonesia. Kepentingan kaum oligarki Indonesia? Yang jelas bukan kepentingan rakyat jelata Indonesia.

Pemberontakan PRRI/Permesta 1958
Kaum anti-PKI seharusnya juga tidak melupakan pemberontakan PRRI/Permesta 1958. Apapun penyulutnya, fakta tetap tak terbantahkan, yaitu berontak menentang pemerintahan Soekarno dan mendirikan pemerintahan tandingan. Perdana Menteri PRRI adalah Sjafruddin Prawiranegara, dari Masyumi, sedangkan Soemitro Djojohadikoesoemo dari PSI, menjabat Menteri Perhubungan dan Perdagangan.

Sjafruddin Prawiranegara serta partainya, Masyumi, sangat anti-komunis. Ia manifestasikan sikapnya ini melalui dukungan kepada imperialisme AS dalam perang Vietnam 1964 hingga 1973. Buktinya adalah sebuah surat yang ditulisnya kepada Edwin Fox, mantan administrator Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan ditemukan di antara 30 ribu arsip catatan harian duta besar AS di Jakarta periode 1964-1968. Di samping itu, ia juga mendukung pembantaian 65/66 yang terungkap dalam dokumen Arsip Keamanan Nasional AS yang dipublikasi di Universitas George Washington pada 2017.

Kedua tokoh Masyumi lainnya yang bergabung dengan PRRI adalah Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap.

Soemitro Djojohadikoesoemo bergabung dengan PRRI, sekaligus melarikan diri untuk menghindari penangkapan karena tuduhan korupsi. Tokoh PSI lainnya yang bergabung dengan PRRI adalah Mohammad Rasjid, sebagai dubes keliling PRRI dan Des Alwi sebagai juru bicara PRRI di Singapura, Hongkong dan Manila.

Pemberontakan ini mendapat dukungan peralatan militer modern, Armada Ketujuh, Angkatan Udara AS dan CIA yang oleh Oltmans dinamakan “Perusahaan Pembunuhan”. Salah satu buktinya, pesawat pembom B26 dengan pilotnya bernama Allan Pope ditembak jatuh.

Kalangan anti-komunis kadang masih berusaha untuk mengecilkan bahkan membenarkan pemberontakan ini. Para pelakunya mendapat perlakuan sesuai dengan hukum yang berlaku ketika itu. Adakah pembantaian terhadap mereka dan sanak keluarga serta keturunannya? Yang melawan pemberontakan dan karena itu menderita dan dibunuh justru anggota ormas-ormas progresif dan PKI di daerah yang dikuasai pemberontak.

Pada September 1963, rakyat Indonesia berhadapan dengan boneka imperialis Inggris, Federasi Malaysia yang menggabungkan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Sabah dan Brunei. Lagi-lagi perwira tinggi pimpinan AD seperti Ahmad Yani dan Nasution berseberangan dengan politik Bung Karno. Jahatnya, Soeharto yang direkrut Yani, menyabot kampanye anti-Malaysia melalui tindakan-tindakan rahasianya.

AURI dan ALRI mendukung penuh kebijakan Konfrontasi Bung Karno. Kita ingat kesatuan khusus KKO AL yang menunaikan tugasnya di Sabah dengan baik dan berhasil menimbulkan korban besar di pihak Inggris. Komando Gabungan Siaga dipimpin oleh Laksamana Madya Udara Omar Dani.

Sementara itu PKI serta ormas-ormas progresif juga dengan konsekuen mendukung kebijakan Bung Karno melalui pembentukan barisan sukarelawan. Tidakkah jelas siapa yang mendukung politik Bung Karno yang anti-Nekolim dan siapa yang menentang bahkan ingin menggulingkan pemerintahan Bung Karno untuk menegakkan pemerintahan yang pro-Nekolim?

Perwira Angkatan Udara dan Pelurusan Sejarah
Dalam wawancara dengan Kanal Anak Bangsa baru-baru ini, Marsekal Muda (Purn) Pieter Wattimena dan Marsekal Muda (Purn) Irawan Saleh bicara tentang perlunya meluruskan sejarah, berani bersuara, mengatakan apa adanya, yang salah dinyatakan salah, yang benar dinyatakan benar.

Usaha pertama adalah mengembalikan kehormatan Panglima AU, Marsekal Omar Dani dengan memasang fotonya sebagai KSAU kedua. Kedua perwira purnawiran AU itu menganggap G30S adalah masalah internal Angkatan Darat, termasuk kepentingan Soeharto melenyapkan Ahmad Yani.

Watimena cerita tentang bagaimana dampak “bersih lingkungan” yang ia saksikan di kalangan perwira AU ketika itu. Semua orang harus mengisi ulang data-data keluarga. Ia melihat banyak senior berkapasitas tinggi, yang patut menjadi pimpinan, harus meninggalkan AU karena dianggap tidak bersih lingkungan. Yang muda, ada yang dicopot dari jabatannya dan ada yang akhirnya tidak bisa sekolah, juga karena dianggap tidak bersih lingkungan.

Di abad 21, hubungan AD dengan CIA tak terputus. Oleh agen CIA yang bekerja dengannya, Jenderal Hendropriyono, yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM dan kasus pembunuhan Munir, disebut bagaikan a breath of fresh air, karena bersedia kerja sama dengan AS, tapi dengan minta imbalan dalam bentuk jasa dan material, bahkan untuk keluarganya, seperti memasukkan saudara ke universitas peringkat tertinggi di AS.

Fakta sejarah telah menunjukkan posisi politik perwira elite AD dan tokoh-tokoh penting Partai Masyumi dan PSI yang reaksioner, anti-komunis dan pro-imperialis dan dengan sendirinya anti-Soekarno. Artinya ideologi anti-komunis senyawa dengan pro-Nekolim. Dan apa dampaknya bagi negeri dan masyarakat yang dikuasai oleh oligarki sipil dan militer anti-komunis dan pro-Nekolim? Lihatlah Indonesia sejak Soeharto dengan Orbanya berkuasa dan diteruskan sampai sekarang dengan karyanya yang terakhir: Omnibus Law! [Tatiana Lukman]