Koran Sulindo – Tiap tahun, di berbagai negeri, apa yang tercatat dalam ingatan kolektif pada bulan September tentu berlainan sesuai dengan sejarah yang dilalui bangsa dan rakyat di tiap-tiap negeri.
Di Belanda, sepanjang pengetahuan saya, tidak ada hal atau peristiwa sejarah istimewa yang diperingati seluruh rakyatnya tiap bulan September. Hanya dari segi cuaca dan temperatur, September merupakan bulan yang bagi sebagian orang menyenangkan dan menyedihkan bagi sebagian orang yang lain. Di jalan-jalan, mereka yang bersepeda sudah mengenakan jaket, sweater atau mantel untuk melindunginya dari angin yang membuat orang merasa lebih dingin.
Pada 23 September, Belanda mulai masuk musim gugur. Ada orang yang senang dengan kedatangan bulan September, karena tak lama lagi kita akan menyaksikan keindahan alam dengan pohon-pohon rindang serta warna-warni daun-daunnya yang sering dilukiskan oleh para pelukis terkenal di dunia. Tak sedikit orang yang tidak menyambut musim gugur, disebabkan semakin jarangnya kehadiran matahari, angin dan hujan sering melanda dan turunnya temperatur yang memaksa sebagian orang mulai pasang alat pemanas di rumahnya.
Bagi rakyat Polandia, 1 September 1939, merupakan tanggal yang menandakan dimulainya penderitaan dan kematian. Satu setengah juta tentara Jerman fasis masuk dan menyerang negeri itu tanpa mengeluarkan pernyataan perang. Awan hitam fasisme mulai menyelimuti negeri-negeri Eropa.
Pada 9 September 1945, sejarah mencatat kemenangan besar rakyat dan Tentara Pembebasan Tiongkok di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok dan Mao Zedong. Satu juta tentara Jepang bertekuk lutut di hadapan keberanian dan keteguhan rakyat Tiongkok dalam melancarkan perang rakyatnya.
Tapi, 31 tahun kemudian, pada tanggal dan bulan yang sama, tepatnya 9 September 1976, rakyat Tiongkok dan rakyat tertindas sedunia dilanda kesedihan luar biasa dengan kepergian Mao Zedong untuk selama-lamanya.
Dongping Han, penulis The Unknown Cultural Revolution-Life and change in a Chinese Village menggambarkan bagaimana ayahnya menerima berita meninggalnya Mao sebagai berikut: “Ayah saya menangis sepanjang jalan, dari pabrik sampai rumah. Ketika kakek meninggal, dia tidak menangis. Kemudian, dia kumpulkan semua keluarga dan berkata, hari ini langit di atas rakyat miskin telah runtuh dan kita tidak tahu kehidupan seperti apa yang akan kita hadapi di hari-hari yang akan datang”. Dongping Han, ketika itu, tidak mengerti kata-kata ayahnya. Dia berpikir, kita sudah mendirikan negara sosialis. Bagaimana langit di atas rakyat miskin bisa runtuh, hanya karena Ketua Mao meninggal?
Bahaya restorasi kapitalisme, yang sudah sejak lama dicanangkan Mao Zedong, akhirnya menjadi kenyataan melalui kudeta yang dilakukan klik revisionis di dalam Partai Komunis Tiongkok. Istri Mao serta tiga pemimpin penting partai lainnya ditangkap. Setelah itu, terjadi persekusi dan penangkapan besar-besaran terhadap ratuan ribu pendukung Revolusi Besar Kebudayaan Proletar.
Pada tanggal dan bulan yang sama, 1948, Rakyat Korea mendirikan Republik Demokratis Rakyat Korea di bawah pimpinan Partai Buruh Korea dan Kim Il Sung.
Bagaimana ingatan kolektif dan sikap orang Indonesia menjelang kedatangan bulan September? Jawabannya tergantung pada posisi politik, ekonomi dan sosial serta keberpihakan masing-masing orang. Sebagian kaum oligarki penguasa negara, baik sipil maupun militer menggunakannya untuk kembali membangkitkan momok PKI guna menjamin kemenangan kliknya dalam konflik perebutan kekuasaan. Mereka kerahkan dan gunakan segala macam cara, termasuk penayangan kembali film yang sudah lama kehilangan daya penipuannya, disebabkan karena bukti-bukti yang bermunculan seiring dengan berjalannya waktu, telah membelejetinya.
Lembaga Pendidikan PKI
Sementara itu, di kalangan mahasiswa dan intelektual yang peduli pada sejarah bangsa dan rakyatnya, ada yang menggunakan September untuk menyelenggarakan webinar dengan berbagai macam tema atau bedah buku yang berkaitan dengan peristiwa atau kejadian penting pada bulan itu.
Ada webinar tentang Universitas Rakyat (UNRA): Ide dan Praktik Pendidikan “Merah” 1958-1965 yang antara lain membahas ide-ide dan praktik pendidikan komunis. Kawan pemantik diskusi menjelaskan bagaimana PKI menitikberatkan bentuk pengorganisasian massa yang ditekankan pada unsur didaktik yang kuat. PKI mendirikan lembaga-lembaga pendidikan sebagai tempat proses belajar-mengajar rakyat dari berbagai lapisan sosial dan usia. PKI berkomunikasi dengan cara melakukan pemberantasan buta huruf, mengajari membaca dan berhitung, mengenalkan rakyat pada ilmu pengetahuan dan Marxisme, menanamkan lima moral komunis, yaitu jujur, bersatu, disiplin, setia kawan dan semangat berkorban. Melalui pendidikan juga dipupuk panca cinta. Pertama, cinta tanah air; kedua, cinta rakyat dan cinta kerja; ketiga, cinta ilmu; keempat, cinta persahabatan antar-bangsa; dan kelima, cinta ibu bapak. Inilah yang membuat PKI memiliki basis massa yang besar dan militan.
Menarik sekali pengalaman pemantik ketika mewawancarai bekas anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Ia merasa kagum terhadap ingatan dan pengetahuan mereka. Meski pendidikan formal tidak sampai perguruan tinggi, tetapi penjelasan mengenai politik sebagai teori dan praktik melampaui mereka yang bertitel sarjana. Pemantik berkata PKI mengerti betul bagaimana cara berkomunikasi dengan simpatisan dan kadernya. Peningkatan kesadaran politik dan organisasi rakyat dilakukan melalui pekerjaan di front ideologi, front kebudayaan dan front ilmu. Pekerjaan yang baik di ketiga front itu akan meningkatkan kecerdasan dan ketangkasan rakyat. Prinsip-prinsip pembimbingnya antara lain “politik panglima”, “ilmu dan pendidikan harus berpihak kepada rakyat”, “belajar untuk mengubah keadaan”.
Terdapat beberapa tingkat pendidikan. Dimulai dari pemberantasan buta huruf, kemudian Panti Pengetahuan Rakyat setingkat Sekolah Dasar, diteruskan dengan Balai Pengetahuan Rakyat setingkat Sekolah Menengah Pertama dan Universitas Rakyat setingkat Sekolah Menengah Atas.
Menurut pemantik webinar, keberhasilan PKI membangun organisasi massa dengan jumlah masif dan militan dari tahun 1958 hingga 1965 dilahirkan oleh pendidikan Universitas Rakyat yang memperlakukan massa rakyat sebagai manusia dan dibangun mimpinya bersama organisasi untuk menyelesaikan tujuan revolusi Indonesia, yaitu menciptakan keadilan sosial.
Mengapa PKI menganggap begitu penting pendidikan terhadap massa luas rakyat biasa? Siswoyo yang memimpin Departemen Pendidikan Ilmu dan Kebudayaan menjelaskan alasannya: “… kebangkitan rakyat tidak cukup hanya dituntun oleh garis politik, dengan semangat dan keberanian saja. Tapi kebangkitan rakyat juga harus diimbangi dengan rasio. Sebab jika tidak, nanti yang terjadi atau yang muncul adalah revolusioner-revolusioner anarkis. Yang begini, tentu bukan revolusi namanya. Maka di sini penting artinya mengembangkan pendidikan umum untuk meningkatkan rasio di kalangan massa rakyat, agar massa rakyat dapat berpikir lebih matang, jernih, dan objektif”.
Penerapan program pendidikan ini sudah tentu menghadapi banyak kesulitan dan juga mengalami kegagalan. Misalnya, bahan pelajaran, bacaan dan peralatan yang jauh dari memuaskan dan kesibukan pekerjaan organisasi membuat aktivis dan kader kadang-kadang harus “bolos” sehingga memperlambat kemajuannya. Semua ini membuat peserta menjadi tak bersemangat. Guna mengatasinya, lebih banyak perhatian dan sumber daya partai dipusatkan kepada usaha pendidikan itu dan juga dilancarkan kampanye mengumpulkan dana untuk penulisan dan penyebaran bahan-bahan pendidikan.
G30S dan Genosida 65/66
Buku John Rosa Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto dibedah dalam webinar yang juga diselenggarakan dalam bulan September. Ada dua atau tiga peserta yang mengajukan sanggahan terhadap uraian ketiga pemantik diskusi yang berhubungan dengan peran Soeharto dalam kudeta dan pemutarbalikan informasi dan fakta sejarah. Dalam menjawab sanggahan peserta, sejarawan Aswi Warman menyinggung dokumen-dokumen yang ditemukan Jess Melvin dan dimuat dalam bukunya The Army and the Indonesian Genocide-Mechanic of Mass Murder.
Jess Melvin dalam Introduction: The Indonesian genocide files, menyatakan bahwa dokumen-dokumen yang ia temukan dalam arsip Dinas Rahasia Indonesia di Banda Aceh telah menghancurkan secara definif propaganda resmi pemerintah Indonesia tentang pembantaian massal 1965-66 dan membuktikan militer ada di belakang kejadian itu. Dokumen-dokumen top secret setebal tiga ribu halaman itu menggambarkan “operasi penumpasan” dengan tujuan “menumpas sampai ke akar-akarnya” saingan politik terbesarnya, yaitu Partai Komunis Indonesia.
Versi resmi pemerintah selalu menggambarkan pembantaian sebagai akibat dari konflik horizontal sebagai reaksi penduduk terhadap kekejaman PKI. Dan apa yang disebut “kekejaman PKI” seharusnya dibuktikan bukan dengan kebohongan dan fitnahan. Tentara dianggap sebagai penyelamat bangsa dari komunisme. Melvin melihat ini sebagai pemutarbalikan fakta. Selanjutnya ia menegaskan, sekarang dapat dibuktikan, bahwa pembantaian merupakan kebijakan negara yang memang direncanakan.
Dengan ditemukannya dokumen-dokumen tersebut, bukti pelanggaran HAM berat dan genosida yang dilakukan rezim Orde Baru Soeharto menjadi tidak terbatas pada kesaksian oral baik dari para korban maupun para pelaku penganiayaan dan pembunuhan saja.
Peneliti dan akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Sri Lestari Wahyuningsih, berkata bahwa berkas dokumen yang ditemukan Melvin menunjukkan rantai komando keterlibatan langsung Angkatan Darat dalam desain dan eksekusi kejahatan HAM berat terhadap warga sipil. Ia menambahkan bahwa dokumen-dokumen itu berisikan informasi yang banyak kesamaannya dengan kesaksian baik korban maupun pelaku dari masyarakat sipil. Tapi ia pun melihat adanya bahaya besar penghilangan bukti-bukti dalam bentuk dokumen itu.
Dapatkah kita mengharapkan pemerintah dan TNI untuk tidak menghilangkan bukti-bukti yang tidak mungkin mereka bantah? Atau, kalau memang mereka merasa tak bersalah, sudah seharusnya mereka membuka semua arsip lama yang berhubungan dengan kudeta dan pembantaian manusia yang sama sekali tak berdosa. Dosa mereka hanya satu, mengabdi dan membela kepentingan bangsa dan rakyat melalui keanggotaan dalam berbagai organisasi massa dan satu-satunya partai politik klas buruh, PKI. Sejak dihancurkannya PKI, adakah partai politik yang memperjuangkan dan membela kepentingan kaum buruh, kaum tani, kaum miskin kota, kaum wanita dan pemuda serta sektor penduduk dan kaum pekerja lainnya? [Tatiana Lukman]