Bukan Lagi Resesi, Indonesia Terancam Hadapi Depresi Ekonomi

Ilustrasi Indonesia di ambang resesi/Istimewa

Koran Sulindo – Ekonomi Indonesia dipastikan akan kembali tumbuh negatif pada kuartal ketiga ini, sehingga secara teknikal Indonesia mengalami resesi. Tetapi, ancaman pertumbuhan negatif juga bisa terjadi pada kuartal keempat bahkan pada kuartal pertama 2021. Dus, bukan hanya resesi, Indonesia kemungkinan akan mengalami depresi ekonomi.

Dalam dua acara paparan kinerja APBN 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pandangan yang pesimis akan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini. Pada saat paparan kinerja APBN Juli 2020 atau bulan pertama di kuartal ketiga, Sri Mulyani menyampaikan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 ini cenderung berada di zona negatif.

Outlook dari kami menggambarkan bahwa GDP kita di keseluruhan tahun ini di minus 1,1% hingga slightly positif 0,2%,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers di Jakarta akhir Agustus lalu.

Sebelumnya, pemerintah memang masih merasa optimis pertumbuhan ekonomi pada 2020 ini bakal tetap berakhir positif, meski pada kuartal kedua mengalami kontraksi yang dalam sebesar -5,32%. Asumsinya saat itu adalah pemerintah memperkirakan pandemi Covid-19 yang menjadi biang kelesuan ekonomi akan berakhir begitu memasuki Juli 2020. Tetapi nyatanya tidak demikian. Grafik Covid-19 di Indonesia masih menunjukkan tren yang terus menanjak hingga ketika Sri Mulyani memaparkan kinerja APBN bulan Juli pada akhir Agustus 2020 itu.

Selang sebulan kemudian, saat Sri Mulyani kembali memaparkan kinerja APBN Agustus 2020 pada Selasa (22/9) lalu, outlook ekonomi Indonesia malah tambah memburuk. Bila sebulan sebelumnya rentangan outlook masih ada zona positifnya, teranyar justru perkiraan rentang pertumbuhan sepenuhnya di teritori negatif yaitu -1,7% hingga -0,6%.

“Ini artinya negatif teritori kemungkinan akan terjadi pada kuartal ketiga dan mungkin juga masih akan berlangsung untuk kuartal keempat,” ujar Sri Mulyani. Ia memang menambahkan pemerintah mengusahakan agar kuartal keempat setidaknya pertumbuhan mendekati 0%.

Memang masih punya waktu untuk mengusahakan ekonomi Indonesia pada kuartal keempat bisa tumbuh positif. Tetapi untuk kuartal ketiga, jelas sudah tak ada waktu lagi. Pelonggaran pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah sejak Juli lalu nyatanya tak bisa mendorong konsumsi rumah tangga terutama kelompok kelas menengah atas. Alasannya tentu jelas. Karena pelonggaran pembatasan sosial justru membuat penyebaran Covid-19 makin menggila sehingga kelas menengah atas yang merupakan orang-orang berduit tak melakukan belanja (spending). Karena itu, kata Sri Mulyani, konsumsi rumah tangga pada kuartal ketiga ini diperkirakan masih akan tumbuh negatif yaitu berada di kisaran -3% hingga -1,5%. Sebelumnya pada kuartal kedua 2020, belanja rumah tangga yang berkontribusi sekitar 58% PDB Indonesia, mengalami kontraksi 5,51%.

Pemerintah sendiri memang sudah menggelontorkan berbagai stimulus ekonomi untuk mendorong konsumsi masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Total anggaran yang disediakan pemeirintah dalam berbagai bantuan sosial untuk mendorong daya beli masyarakat mencapai Rp 203 triliun.

Sri Mulyani mengatakan, total masyarakat yang mendapatkan bantuan dari berbagai program bansos mencapai 60 juta hingga 70 juta, yaitu 10 juta untuk Program Keluarga Harapan (PKH), 20 juta untuk bantuan sembako, 9 juta untuk PKH non-sembako, 11 juta untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) dana desa dan 5,6 juta Kartu Prakerja.

Berbagai bantuan sosial ini belum mampu mengembalikan tingkat konsumsi rumah tangga secara keseluruhan sehingga pada kuartal ketiga konsumsi rumah tangga masih tumbuh negatif. Penyebabnya, karena masalah utama yaitu pandemi belum teratasi sehingga kepercayaan diri masyarakat untuk kembali melakukan spending (belanja) belum begitu kuat.

Menunggu Gebrakan
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sudah mengingatkan ini pada awal Agustus lalu. Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto mengatakan, selama pandemi Covid-19 belum teratasi dan tidak ada kebijakan yang luar biasa dari pemerintah untuk mengatasinya, bukan tak mungkin kontraksi 5,32% pada kuartal kedua lalu adalah titik permulaan untuk jatuh ke jurang lebih dalam lagi.

Hingga saat ini memang tidak ada gebarakan yang luar biasa dari pemerintah untuk mengatasi pandemi ini. Memang di DKI Jakarta sejak awal pertengahan September kembali dilakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tetapi PSBB kedua ini tidak seketat PSBB pertama. Pusat perbelanjaan misalnya masih dibuka dengan syarat maksimal pengunjung 50% dari kapasitas dan mematuhi protokol kesehatan. Perkantoran juga masih dibuka dengan ketentuan maksimal 25% karyawan yang bekerja di kantor. Padahal, belakangan perkantoran ini merupakan salah satu kluster penyebaran Covid-19 yang banyak.

Di sisi lain, pemerintah juga masih tetap menggelar pemlihan kepala daerah serentak pada 9 Desember mendatang. Penetapan pasangan calon sudah dilakukan pada Sepember ini dan kampanye resmi akan segera dimulai. Sementara sejak beberapa bulan sebelumnya para calon yang masih berstatus bakal calon sudah menggelar safari politik dengan melibatkan massa yang banyak.

Belakangan pemerintah hanya menyeruhkan masyarakat untuk menggunakan masker, menjaga jarak dan rajin mencuci tangan atau kampanye 3M. Artinya, semuanya diserahkan kepada kesadaran masyarakat sendiri. Kampanye ini sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak awal pandemi ini pemerintah memang cenderung melonggarkan aktivitas ekonomi, meksi ada jargon PSBB.

Hasilnya sudah diketahui: tren kasus postif Covid-19 di Indonesia terus naik. Bila negara-negara lain sudah pernah mencapai puncak penyebaran dan sekarang ada yang kembali memasuki gelombang kedua, Indonesia tidak. Gelombang pertama saja belum pernah berakhir. Satu-satunya harapan saat ini adalah vaksin segera ditemukan, diproduksi dan distrubuskan secepatnya. Hanya dengan vaksin Covid-19 di Indonesia akan berakhir dan saat itulah ekonomi baru bisa tumbuh kembali. [Julian A]