Budaya Nusantara: Tradisi Masa Anak Pada Suku-Suku Nusantara

Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan.

Menurut Kementerian Kesehatan yang digolongkan masa anak-anak adalah usia 5 hingga 11 tahun.

Walaupun tanpa pengetahuan ilmiah, meskipun hanya mengandalkan naluri, banyak suku di Indonesia yang sudah menerapkan langkah-langkah yang harus dihadapi masyarakatnya untuk menghadapi kehidupan. Dikemas dalam suatu rangkaian ritual, dari sejak anak, remaja hingga dewasa.

Ritual-ritual yang dilakukan beragam, disesuaikan dengan kebutuhan hakiki kehidupan mereka dan dilakukan sesuai dengan lingkungan dimana mereka berkehidupan

Pada komunitas adat Orang Rimba atau yang lebih dikenal dengan Suku Anak Dalam yang mendiami wilayah-wilayah di tengah pulau Sumatra ada sejumlah ritual menarik. Pada fase anak, kemampuan-kemampuan dasar untuk bertahan hidup di tengah hutan mulai dipelajari. Anak-anak dibekali ketapel untuk latihan membidik. Mereka juga mulai belajar mengenal jenis-jenis binatang dan tumbuhan, serta belajar membaca jejak dari binatang-binatang yang ada di sekitar hutan.

Sejak fase balita hingga fase kanak-kanak Suku Anak Dalam, rambut yang tumbuh di kepala haram untuk dipangkas. Jadi selain dengan cawat putih, anak-anak lelaki di rimba yang masih pada fase kanak-kanak dikenali dengan rambut gondrong mereka.

Kemampuan-kemampuan dasar ini tentu saja dibutuhkan oleh komunitas yang mengandalkan berburu dan meramu sebagai sumber utama makanan mereka. Pelajaran yang paling tinggi di fase ini adalah pelajaran memasang jerat untuk menangkap binatang.

Saat fase ini, anak-anak tidak boleh bersentuhan dengan dunia luar. Makanan yang diberikan kepada mereka pun tak boleh sembarangan. Ada beberapa makanan yang halal dimakan Orang Rimba, tetapi haram diberikan kepada anak-anak yang masih dalam lindungan dewa. Mungkin untuk ukuran kita, usianya sekitar pada usia balita. Maka sepanjang fase balita ini, anak-anak masih bertelanjang. Di tubuh mereka hanya menempel hiasan-hiasan semacam kalung dan gelang.

Ketika memasuki masa kanak-kanak, yaitu umur 5 tahunan, dimana di fase ini sangat mudah dikenali, karena semua anak lelaki menggunakan pakaian berwarna putih yang biasa disebut cawat, pakaian yang menutupi bagian pinggang hingga paha mereka. Saat memasuki fase ini, makanan yang boleh mereka makan sudah semakin banyak, hampir sama dengan makanan orang dewasa.

Ritual  yang mirip juga dilakukan oleh masyarakat Mentawai, di Pulau Mentawai yang masuk wilayah Sumatera Barat. Upacara yang biasa dilakukan adalah upacara eneget dan usokgunei biasanya dilakukan saat anak-anak Mentawai memasuki usia 6 hingga 8 tahun.

Eneget adalah upacara adat Mentawai untuk memperkenalkan aktivitas orang tua (orang dewasa) kepada anak laki-laki agar kelak siap memasuki kehidupan seperti orang dewasa. Kegiatan yang dikenalkan biasanya berburu dan berladang. Dalam eneget diperlihatkan bahwa pekerjaan laki-laki dewasa di Mentawai cukup berat dan memiliki pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar.

Setelah persiapan upacara rampung, anak laki-laki akan dipasangkan kabit² sementara anak perempuan memakai sokgumei³ dari daun pisang. Setelah itu, anak yang menjalani eneget kembali mengambil busur dan panah untuk memanah buah (pasuka). Proses ini menandai dibolehkannya si anak mengikuti aktivitas bapaknya. Dia sudah bisa dibawa berburu, bahkan dibolehkan berburu sendiri di hutan.

Sedangkan anak perempuan Mentawai akan melakukan ritual usokgunei untuk menandai dimulainya mereka melakukan aktivitas perempuan dewasa.

Usokgunei dimulai dengan pembuatan celana dari daun pisang bagi anak perempuan. Celana tersebut harus dipakai selama proses sokgunei berlangsung. Upacara usokgunei bagi anak perempuan dilakukan untuk mengenalkan pekerjaan perempuan dewasa Mentawai seperti membuat subba⁴ dan mencari ikan di sungai (pangisaou).

Proses usokgunei dimulai dengan persiapan, ibu-ibu anggota uma akan menyiapkan peralatan pangisou untuk mencari udang dan ikan di sungai. Setelah persiapan, para anak perempuan ikut ibu-ibu mencari ikan selama tiga hari. Setelah itu mereka kembali ke uma dengan membawa hasil tangkapan. Biasanya, ibu-ibu akan menggunakan mania (daun-daunan) di kepala sebagai tanda mereka baru saja menangkap ikan dan udang untuk sokgunei anak di suku mereka.

Sesampainya di uma, para perempuan menyiapkan keladi, sagu dan pisang yang diolah menjadi subbet.⁵ Subbet tersebut akan diletakkan dalam dua piring, satu untuk si anak dan satu lagi orang tuanya. Mereka duduk bersama kepala suku dan berkumpul bersama. Kepala suku akan meletakkan udang dan ikan di atas subbet, lalu menyerahkannya kepada si anak dan orang tuanya sembari berkata;”Konan simageret jolot tubutda sirimanua“, dan menjadi penutup pesta sokgunei. Kemudian anak perempuan tersebut sudah dibolehkan memiliki subba  sendiri, serta  pergi bersama orang tuanya atau ibu-ibu lain mencari ikan maupun pekerjaan lainnya. [S21]

Catatan Kaki

=======

¹Tuddukat, alat serupa kentongan yang terdiri dari tiga kayu yang dilubangi di bagian atasnya. Lubang ini berfungsi seperti lubang pada gitar, dibunyikan dengan pemukul bernama tetektek. Tuddukat digunakan untuk memberitakan berbagai hal, baik kegembiraan maupun duka.

²Kabit yakni sejenis celana dalam alias cawat yang dibuat dari kulit kayu pohon baiko.

³Sokgumei yakni rok yang terbuat dari untaian daun pisang yang diolah secara khusus. Sokgumai dikenakan dengan cara dililitkan di pinggang.

Subba; tato pada perempuan Mentawai yang berupa tangguk. Melambangkan menangguk ikan di sungai

⁵Subbet adalah makanan khas Mentawai selain sagu. Merupakan paduan antara keladi (gettek) rebus, pisang (bagok) rebus dan kelapa (toitet) sehingga membentuk rasa yang manis secara alami.