Ilustrasi: Film Putri Giok

Koran Sulindo – Bila ingin melihat peradaban sebuah bangsa, lihatlah melalui film. Karena dari film itulah potret sosial, budaya, seni, serta teknologi pada kurun waktu tertentu dapat disaksikan: apa dan bagaimana wajah peradaban suatu bangsa.

Kalimat di atas seringkali kita dengar setiap kali ada gelaran menyoal film yang mengangkat tema-tema peristiwa sosial : sejarah dan budaya. Film bertema cinta dan horor sekalipun adalah potret tersendiri kondisi sosial pada masanya.

Pokok pikiran di atas terdengar dari obrolan saat David Hanan menyarikan buku yang ditulisnya, berjudul Cultural Specificity In Indonesian Film: Diversity in Unity, di ruang Sinematek Indonesia, Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), pekan lalu.

Sejumlah tamu ‘penting’ di pentas perfilman Indonesia hadir dalam obrolan itu di antaranya: Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Eros Djarot, Riri Riza, Pong Hardjatmo, Titiek Puspa, pengusaha Mooryati Sudibjo, penari Sardono W.Kusumo, dan tuan rumah Kepala Sinematek Indonesia, Adi Surya Abdi. Saya sendiri diminta ‘menemani’ untuk membuka dan menutup obrolan tentang buku yang ditulis pria bule, pengajar di jurursan media, film dan jurnalistik, di Monash University, Australia.

David Hanan, 81 tahun, asal Australia adalah Ajudan Senior Research Associate Studi Film dan Screen, di School of Media Film dan Journalism, Monash University, Australia. Dia telah banyak menerbitkan buku dan artikel tentang film Indonesia, yang diterbitkan oleh East –West Film Journal, Oxford Unversity Press, Routledge, Hongkong UP, Cornell University, Oxford Islamic Studies Online dan Third Text.

Hanan pernah mengikuti Diploma Pasca Sarjana dalam studi film di Universtiy College London, dan pernah mendirikan kursus studi film di Departeman Seni Visual, Monash University.

Pada tahun 1980-an, ia selama tujuh tahun duduk sebagai Sekretaris di Festival Film International, Melbourne. Dalam kapasitasnya itu, Hanan membentuk hubungan antara perfilman Indonesia dengan perfilman Australia.”Sampai sekarang kami masih menjalin kerjasama baik dalam studi, produksi film dokumenter, dan bidang kearsipan film. Seperti dengan Sinematek di bawah koordinasi Adi Surya Abdi,” jelas David.

“Saya telah membimbing belasan PhD., dalam berbagai disertasi tentang film. Menerjemahkan atau membuat subtitle film Indonesia. Saya juga memprakarsai beberapa proyek pelestarian film. Sekarang ini saya menjadi kurator Between Three Worlds DVD, sebuah Divisi MAI Press. Tugas saya adalah mendistribusikan film –film  Asia Tenggara ke berbagai negara di dunia,” jelas Hanan, yang beristrikan wanita asal Nusa Tenggara Timur, dan tinggal di Bali.

Adi Surya Abdi mengatakan David Hanan adalah seorang pengajar dan pengamat, sekaligus pecinta film Indonesia. “Saya sangat senang dan bangga karena ada orang asing yang mau peduli terhadap katakanlah semacam peradaban Indonesia melalui film. Lewat buku ini, secara akademik ia membedah dan menelanjangi film Indonesia dengan kritis dan elegan, sehingga beliau menjaga jagat perfilman Indonesia agar tetap hadir dengan kualitas tema dan cerita yang semakin baik dari masa- ke masa.”

Hubungan antar-Etnik

Buku setebal 300 halaman itu membahas berbagai cara para penggiat perfilman Indonesia dalam mengungkapkan beragam budaya daerah di Indonesia, juga peristiwa sejarah ke dalam media film sejak 1950an hingga 2003. Di antara kurun waktu itu ada film Harimau Tjampa, Roro Mendut, November 1928, G30 S PKI, Putri Giok, Pengantin Pantai Biru, hingga Ada Apa dengan Cinta.

Judul-judul film cerita di atas diangkat mencerminkan peristiwa sosial, baik budaya dan sejarah. ”Film yang dibuat Teguh Karya, November 1828, bisa dikatakan film yang menampilkan kondisi perjuangan perlawanan Pangeran Diponegoro. Orang yang sama, Teguh Karya, menuangkan pandangan masyarakat Indonesia mengenai sosok wanita Jawa sekaligus ibu dalam tatanan sosial di Indonesia lewat film Ibunda,”tutur Hanan.

David Hanan juga menyitir cerita hubungan antar ras di Indonesia yang tertuang dalam film Putri Giok, dan sejarah kelam bangsa Indonesia melalui film G30S PKI. ”Di buku ini saya tidak terlalu jauh menyinggung kualitas penggarapannya, karena saya tahu sendiri keberadaan teknologi film di Indonesia dan sumber daya manusianya tidak terlalu banyak,” cetus Hanan, seraya tersenyum.

Dalam buku yang ditulisnya selama lebih kurang dua tahun itu, Hanan mencoba mengeksplorasi dominasi budaya yang mendasar dengan pencapaian karya penggiat perfilman, baik oleh penulis skenario maupun sutradara. Dalam film-film mengenai budaya berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya dalam aspek, misalnya, bentuk bahasa yang digunakan yang kemudian menjadi produk bangsa. Tapi juga terkait dengan formasi dan tradisi yang unik dan panjang di berbagai masyarakat di kepulauan Indonesia.

Buku yang diterbitkan Palgrave Macmillan tidak melulu membahas konten budaya atau sejarah yang difilmkan. Di sana juga dijelaskan cara-cara bagaimana para penggiat film menuangkannya ke dalam media film diulasnya secara kritis, termasuk bagaimana sudut pandang para penggiat film Indonesia menuangkan aspek khas masyarakat di berbagai daerah yang bebenturan nilai-nilainya antara satu daerah dengan lainnya. Juga disinggung masalah posisi sosial wanita Indonesia. Serta bagaimana menghubungkan peristiwa sejarah masa lalu dan masa kini Indonesia.

“Semua itu menjadi unik dan menarik sekaligus buat saya pelik sebagai orang luar melihat Indonesia. Berangkat dari sanalah saya mau menuliskannya, meskipun agak lama dari keinginan saya,” kata Hanan.

Sejak tahun 1983 David mulai banyak bergaul dengan para penggiat perfilman Indonesia, seperti Djadoeg Djaya Kusuma dan Kepala Sinematek pertama, Misbach Yusa Biran. ”Saya sering berkunjung ke tempat tinggal Teguh Karya, Teater Populer, ke Institut Kesenian Jakarta, dan banyak mendapat masukan dari Garin Nugroho dan teman teman lainnya,”cerita Hanan.

Suasana di ruang Sinematek meski acara launching buku, tak ubahnya seperti kangen-kangenan dan ngobrol  yang kadang diselingi cerita soal film Indonesia kekinian sambil menikmati suguhan kopi, the, dan panganan tradisional.

Seperti Riri Riza, sutradara film Ada Apa dengan Cinta 2 dan Laskar Pelangi, menyela dengan pertanyaan bagaimana Hanan melihat tumbuhnya perfilman regional di kawasan Indonesia.”Seperti di Makassar, Purbalingga, Bandung, dan daerah lainnya membuat konten kedaerahan, dibiayai oleh mereka sendiri, menggunakan bahasa daerah dan hanya di putar didaerah regional itu,” tanya Riri.

Diakui David perfilman Indonesia nasional dan regional memiliki potensi untuk tumbuh tetapi harus didukung oleh pemerintah setempat. Film tidak melulu sebagai produk industri, tapi juga alat promosi bagi daerah itu, khususnya mengenai seni dan budaya yang mungkin sudah tidak disukai para pemudanya. ”Saya sebetulnya sudah menjajaki hal itu. Nantilah, mungkin dalam buku berikutnya,” kata Hanan.

Menutup obrolannya, Hanan berharap buku ini memberi rujukan betapa kaya dan ragamnya tema dan cerita film Indonesia selama lima puluh tahun. Meski dalam kurun waktu 1992 hingga 2001 film Indonesia mati suri, produksinya tak sampai 20 judul pertahun yang diproduksi. Masa itu bisa dijadikan pembelajaran bagi para penggiat perfilman Indonesia.

Penggalian tema budaya dan setting sejarah merupakan panorama indah bagi perfilman Indonesia sekarang dan masa yang akan datang. ”Jadi, tidak ada alasan untuk tidak membuat film yang bagus,” kata Hanan. [Didang P. Sasmita]