Seorang anak warga pemukiman bantaran rel
Ilustrasi: Seorang anak warga pemukiman bantaran rel berjalan rel di Kawasan Senen, Jakarta/Antara-Zabur Karuru

Koran Sulindo – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka penduduk miskin dan tingkat ketimpangan terus turun. Pada September 2018 jumlah penduduk miskin sebesar 9,66 persen, turun dibandingkan Maret 2018 yang mencapai 9,82 persen. Sementara ketimpangan turun tipis menjadi 0,384, dari Gini Ratio Maret 2018 yang sebesar 0,389. Sementara itu, jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2017 yang sebesar 0,391 turun sebesar 0,007 poin.

“Ada penurunan kemiskinan sebesar 0,16 persen pada September 2018 dari Maret 2018 dan 0,46 persen dibandingkan September 2017,” kata Kepala BPS, Suhariyanto, di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Selasa (15/1/2019).

Secara jumlah, penduduk miskin pada September 2018 mencapai 25,67 juta orang atau menurun 0,28 juta orang terhadap Maret 2018 dan menurun 0,91 juta orang terhadap September 2017.

Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2018 sebesar 7,02 persen, turun menjadi 6,89 persen pada September 2018. Sementara penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2018 sebesar 13,2 persen atau turun menjadi 13,1 persen pada September 2018.

Dibanding Maret 2018 jumlah penduduk miskin September 2018 di daerah perkotaan turun sebanyak 13,1 ribu orang, dari 10,14 juta orang pada Maret 2018 menjadi 10,13 juta orang pada September 2018.

Sementara itu daerah perdesaan turun sebanyak 262,1 ribu orang, dari 15,81 juta orang pada Maret 2018 menjadi 15,54 juta orang pada September 2018.

“Meskipun ada penurunan kemiskinan, kita masih punya PR (pekerjaan rumah). Di desa, persentase kemiskinan jauh lebih tinggi dibandingkan di kota. Jadi, ini merupakan tantangan karena persentase kemiskinan di perdesaan jauh lebih tinggi hampir dua kali lipat dibandingkan di kota. Ini perlu kita pecahkan ke depan,” katanya.

Adapun faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan selama periode Maret 2018-September 2018 salah satunya yaitu kenaikan nominal rata-rata upah buruh tani per hari pada September 2018 sebesar 2,07 persen dibanding Maret 2018, dari Rp51.598 menjadi Rp52.665.

Secara riil upah buruh tani per hari pada September 2018 naik sebesar 1,6 persen dibanding Maret 2018, yaitu dari Rp37.602 menjadi Rp38 205. Selain itu, nilai tukar petani (NTP) pada September 2018 juga naik sebesar 1,21 persen dibanding Maret 2018, yaitu dari 101,94 menjadi 103,17. Kemudian, selama periode Maret 2018-September 2018 besarnya inflasi umum pun cukup rendah yaitu sebesar 0,94 persen.

“Upah riil buruh tani meningkat nominalnya. Inflasi Maret ke September 2018 juga relatif stabil, hanya 0,94 persen. Upah riil buruh tani meningkat artinya daya beli petani juga meningkat,” katanya.

Ekspor dan Impor

BPS juga nilai ekspor Indonesia pada Desember 2018 mencapai 14,18 miliar dolar AS atau menurun 4,89 persen dibandingkan November 2018 dan turun 4,62 persen dibandingkan Desember 2017.

“Penurunan ekspor Desember 2018 disebabkan penurunan ekspor nonmigas, sementara ekspor migasnya masih naik 27,34 persen,” kata Suhariyanto.

Nilai ekspor nonmigas Desember 2018 mencapai 12,43 miliar dolar AS atau turun 8,15 persen dibandingkan November 2018. Demikian juga dibandingkan ekspor nonmigas Desember 2017, ekspor Desember 2018 turun 7,01 persen.

Penurunan terbesar ekspor nonmigas Desember 2018 terhadap November 2018 terjadi pada bijih, kerak, dan abu logam sebesar 278,7 juta dolar AS atau 56,25 persen, sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada perhiasan/permata sebesar 84,9 juta dolar AS atau 27,41 persen.

“Ekspor nonmigas Desember 2018 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu 1,67 miliar dolar AS, disusul Amerika Serikat 1,48 miliar dolar AS, dan Jepang 1,16 miliar dolar AS, dengan kontribusi ketiganya mencapai 34,70 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) sebesar 1,33 miliar dolar AS,” katanya.

Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada Januari–Desember 2018 berasal dari Jawa Barat dengan nilai 30,37 miliar dolar AS atau 16,87 persen, diikuti Jawa Timur 19,07 miliar dolar AS atau 10,59 persen dan Kalimantan Timur 18,56 miliar dolar AS atau 10,31 persen.

“Jadi, ini bagaimana kita bisa mendorong agar daerah lain juga meningkatkan ekspornya,” kata Suhariyanto.

Sementara nlai impor Indonesia Desember 2018 mencapai US$15,28 miliar atau turun 9,60 persen dibanding November 2018, namun naik 1,16 persen jika dibandingkan Desember 2017.

Impor nonmigas Desember 2018 mencapai US$13,31 miliar atau turun 5,14 persen dibanding November 2018, sebaliknya meningkat 6,16 persen jika dibanding Desember 2017. Impor migas Desember 2018 mencapai US$1,97 miliar atau turun 31,45 persen dibanding November 2018, demikian juga apabila dibandingkan Desember 2017 turun 23,33 persen.

Penurunan impor nonmigas terbesar Desember 2018 dibanding November 2018 adalah golongan bahan kimia organik sebesar US$174,4 juta (27,07 persen), sedangkan peningkatan terbesar adalah golongan buah-buahan sebesar US$69,8 juta (68,90 persen).

Nilai impor semua golongan penggunaan barang baik barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal selama Januari–Desember 2018 mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing 22,03 persen, 20,06 persen, dan 19,54 persen

Neraca Perdagangan Defisit Terbesar

BPS juga mencatat neraca perdagangan Indonesia pada 2018 mengalami defisit terbesar sejak 1975, yakni mencapai 8,57 miliar dolar AS.

“Kalau kita lihat penyebabnya (pada 2018) adalah lebih karena defisit migas yakni 12,4 miliar dolar AS. Sementara nonmigasnya kita masih surplus 4,8 miliar dolar AS,” kata Suhariyanto.

Impor hasil minyak mentah yang mengalami defisit 4,04 miliar dolar. Sementara untuk gas, masih surplus sebesar 7,58 miliar dolar AS.

Sebagai perbandingan, defisit neraca perdagangan pada 2014 mencapai 2,2 miliar dolar AS, 2013 sebesar 4,08 miliar dolar AS dan 1975 sebesar 391 juta dolar AS.

Selama 2018 perdagangan Indonesia yang mencatat surplus di antaranya dengan India sebesar 8,76 miliar dolar AS, Amerika Serikat 8,56 miliar dolar AS dan Belanda 2,6 miliar dolar AS.

Sementara, defisit perdagangan di antaranya dengan Tiongkok defisit 20,8 miliar dolar AS, Thailand 5,1 miliar dolar AS dan Australia 2,9 miliar dolar AS. [DAS]