Bom Pospol Kartasura, Kaum Milenial dan Terorisme

Peneliti intelijen dari UI, Ridlwan Habib [Foto: Antara]

Koran Sulindo – Kendati Kepolisian RI sedang mendalami sosok pelaku serangan pos polisi Kartasura, Solo, Jawa Tengah, RA diduga termasuk kategori lone wolf. Serangan yang dilakukan seorang remaja yang tidak terhubung langsung dengan jejaring lama.

“Istilahnya milenial lone wolf,” kata peneliti terorisme dari Universitas Indonesia (UI), Ridlwan Habib di Jakarta, Selasa (4/6).

Untuk memastikan sosok RA, pelaku serangan bom pos polisi Kartasura, aparat Polri sedang menyelidiki jejaring yang berkaitan dengannya. Bahkan rumahnya pun sudah digeledah polisi.

Dikatakan Ridlwan, lone wolf adalah sebuah istilah bagi pelaku bom yang beraksi sendirian dan termotivasi secara individual. Pelaku bisa termotivasi karena media sosial maupun situs-situs yang pro terhadap terorisme.

Disebutkan Ridlwan, ada 4 ciri serangan yang dilakukan secara individual. Pertama, jenis bom yang sangat amatir. “Bahannya berdaya ledak rendah dari ramuan mercon, lalu diikatkan secara asal asalan di perutnya, pelaku bukan perakit bom yang berpengalaman,” kata Ridlwan.

Kedua, dari pemilihan waktu sasaran yang jelang tengah malam. “Pelaku ketakutan dan mencoba mencari waktu yang paling sepi,” katanya. Ketiga soal sasaran yaitu pospol Kartasura yang lokasinya sangat dekat dengan rumah pelaku.

“Bahkan dengan berjalan kaki bisa ditempuh dalam waktu 20 menit, ” katanya. Ini membuktikan serangan tidak terencana dengan baik. Terakhir, jenis bom yang sama sekali tidak mematikan. Bom itu hanya bisa mematikan sasaran jika pelaku memeluk target.

“Dari pengakuan beberapa saksi mata, pelaku bahkan ragu ragu mendekat. Ini sangat amatir. Pemuda labil yang terpengaruh faham radikalisme yang salah,” kata Ridlwan menambahkan.

Karena itu, kata alumni S2 Intelijen UI ini, perlu ada upaya serius dari pemerintah untuk memberantas radikalisme yang menyimpang di kalangan milenial.

Survei Milenial
Apa yang diungkapkan Ridlwan itu sejalan dengan hasil survei Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga pada tahun lalu. Survei yang melibatkan 2.300 responden di seluruh Indonesia itu menyebutkan, 10 persen kelompok muda setuju menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam dan boleh menggunakan kekerasan untuk membela agama.

Hasil survei ini membuktikan kalangan muda terpapar situs atau akun di media sosial beraliran intoleransi maupun radikalisme yang diakui cukup menarik dari segi konten. Siswa dan mahasiswa yang banyak menggunakan media sosial cenderung lebih intoleran dibanding yang tidak mengakses internet.

Dari fakta ini menunjukkan ada hubungan cara keberagamaan generasi milenial dengan media sosial. Berdasarkan hasil survei itu pula, situs atau akun milik kelompok intoleran atau garis keras memenuhi dunia maya dan menyasar kalangan muda. [KRG]