Ilustrasi: Banjir di Jakaarta Timur/tribratanews.com

Koran Sulindo – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menilai penanganan preventif yang dilakukan Pemerintah Provinsi  DKI Jakarta mencegah banjir selama ini sudah baik.

“Tetapi memang curah hujan yang tinggi dan ada beberapa projek yang belum selesai, ditambah pasang air tertinggi pada pukul 07.00 WIB mengakibatkan banjir,” kata Kepala BNPB Willem Rampangilei, seusai menyampaikan kuliah umum “Penanggulangan Bencana dan Tantangannya di Indonesia” di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa (21/2).

BNPB juga menerjunkan 3 tim satuan tugas untuk membantu masyarakat mengurangi risiko dampak bencana banjir yang terjadi di Jakarta.

Banjir merupakan bencana yang paling banyak terjadi tahun 2016 yaitu 775 kali. Bahkan, daerah rawan banjir meluas di beberapa daerah yang tidak pernah mengalami banjir seperti di Garut, Pangkal Pinang, Kota Bandung, Kota Bima, dan wilayah Kemang di  Jakarta.

“19 juta masyarakat Indonesia terancam banjir dan longsor akibat hujan yang terjadi sepanjang bulan Januari-Februari 2017 dan 175 ribu masyarakat yang terdampak,” katanya.

Jauh sebelum bencana banjir terjadi, menurut Willem, Presiden Joko Widodo juga telah melakukan koordinasi dengan seluruh kementerian membahas potensi banjir dengan mendirikan posko nasional penanggulan banjir di Kantor Kementerian Pekerjaan Umum (PU).

“Intinya kami sudah mengerahkan seluruh SDM yang ada dalam upaya penanggulangan bencana banjir,” kata Willem.

Kerentanan Banjir Makin Tinggi

Sementara itu Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan wilayah Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang kerentanannya terhadap banjir makin meningkat.

Menurut Sutopo, hal itu karena dampak perubahan penggunaan lahan yang begitu pesat di wilayah Jadetabek itu sehingga hampir 80 persen hujan jatuh berubah menjadi aliran permukaan. Sementara kapasitas drainase dan sungai jauh lebih kecil daripada debit aliran permukaan. Akibatnya banjir dan genangan terjadi dimana-mana.

Citra satelit Landsat tahun 1990 hingga 2016 menunjukkan permukiman berkembang luar biasa. Permukiman nyaris menyatu antara wilayah hulu, tengah dan hilir dari daerah aliran sungai yang ada di Jabodetabek.

Ruang terbuka hijau atau kawasan resapan air juga makin minim.

Kapasitas sungai-sungai dan drainase perkotaan mengalirkan aliran permukaan masih terbatas. Okupasi bantaran sungai menjadi permukiman padat menyebabkan sungai sempit dan dangkal. Sungai yang harusnya lebar 30 meter, saat ini hanya sekitar 10 meter. Bahkan ada sungai yang 5 meter. Sudah pasti kondisi tersebut menyebabkan banjir.

“Relokasi permukiman di bantaran sungai adalah keniscayaan jika ingin memperlebar kemampuan debit aliran. Tapi seringkali relokasi sulit dilakukan karena kendala politik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat,” kata Sutopo, melalui rilis tertulis hari ini.

Berdasarkan data BMKG hari ini tergolong hujan sedang hingga lebat. Curah hujan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan hujan yang menyebabkan banjir di Jakarta pada 2007, 2013, dan 2014 yang saat itu mencapai 200 – 350 mm.

Kini peluang hujan ekstrem makin besar, artinya wilayah Jadetabek juga makin tinggi risikonya terjadi banjir jika tidak dilakukan upaya pengendalian banjir yang komprehensif dan berkelanjutan. [Antara/bnpb.go.id/ugm.ac.id/DAS]