Blokade gerbang tol Jatikarya

Koran Sulindo — Ratusan ibu-ibu dan bapak-bapak melakukan aksi unjuk rasa pada Kamis (13/8). Mereka memblokade Gerbang Tol (GT) Jatikarya 2-Jalan Tol Cimanggis-Cibitung.

Penutupan GT Jatikarya itu karena mereka menuntut ganti rugi atas hak tanah yang belum dibayarkan oleh pengadilan. Dalam aksinya, mereka mengancam akan tidur di area GT Jatikarya.

Bahkan, mereka pun membuat tenda di gerbang pintu keluar Jatikarya tersebut.

Berdesarkan pengamatan di lokasi, para warga yang terdiri dari bapak-bapak dan ibu-ibu meneriakan pekikan “bayar-bayar” atas tanah yang sekarang dijadikan tol tersebut.

Aksi masa yang terdiri dari Ibu-ibu dan bapak-bapak itu terus meneriakan akan tetap melakukan aksi tidur di jalan tol yang belum diresmikan ini.

“Kami tidak akan pulang dan tidur di sini sebelum bapak-bapak mengganti rugi atas hak kami,” ujar salah satu perseta aksi di lokasi, Jalan Tol Cibitung-Cimanggis, Keluarahan Jatikarya, Jatisampurna, Kamis (13/8/2020).

Hingga pukul 17.12 WIB mereka pun terus beraksi. Bahkan satu tenda saat ini tengah diberdirikan. Tenda tersebut diberdirikan tepat di pintu keluar GT Cibitung-Cimanggis. Dua tenda itu saat ini sudah berdiri.

Diketahui, lahan yang terpakai untuk kepentingan pembangunan jalan tol seluas 4,2 hektar ini belum dibayarkan uangnya kepada warga.

Hak yang harus dibayarkan kepada pemilik tanah atau ahli waris seluruhnya yaitu sebesar Rp 218 miliar. Namun, uang tersebut belum cair karena pihak dari BPN belum menerbitkan surat pengantar untuk mencairkan.

Sementara, pngacara ahli waris Dani Bahdani menganggap, aksi yang dilakukan oleh warga itu karena kecewa dengan sikap pemangku kepentingan yang tidak mendengarkan tuntutan mereka.

“Kita masang spanduk malah tidak ditanggapi, malah spanduknya ilang. Jadi ini adalah efek dari kejadian kemarin, sekarang warga pada prinsipnya akan mendirikan tenda di atas jalan tol ini,” kata dia ketika ditemui di lokasi.

Karena hak belum dibayarkan, mereka mengancam tidak akan meninggalkan GT Jatikarya sebelum uang mereka dicairkan. “Jadi pada prinsipnya, sebelum tanah masyarakat di bayar mereka tidak akan meninggalkan tempat ini,” ungkap Dani.

Terlebih lagi, proses hukum atas permasalahan ini sudah dilayangkan oleh masyarakat sebelum terbangunnya Tol Cimanggis-Cibitung.

“Dan sudah dua kali mendapatkan putusan PK. PK pertama itu perkara nomor 218 tahun 2008 tanggal 28 November 2008. Sedangkan PK yang terakhir PK diatas PK yaitu PK nomor 815 tahun 2018 tanggal 19 Desember 2019,” kata Dani.

Intinya, kata Dani tanah objek sengketa di Jatikarya ini diantaranya seluas 42.669 meter persegi terkena jalan Tol Cimanggis-Cibitung merupakan milik warga. “Nah yang berhak adalah orang yang mendapat putusan akhir,” kata Dani.

Namun, pada kenyataannya sampai saat ini BPN belum mau menerbitkan surat pengantar untuk pencairan uang konsinyasi sebesar Rp 218 miliar.

“Tidak jelas mereka sendiri yang menerbitkan sertifikat tanpa alasan, kita bisa buktikan karena alasan yang dimiliki pihak lain itu baru dibeli tahun 99 berdasarkan akte notaris haji Abu Yusuf SH tanggal 8 Mei 2012,” ujar Dani.

Dengan demikian, BPN dalam hal ini selaku pihak yang belum melaksanakan putusan tersebut. BPN, kata Dani, tidak menjalankan keputusan hukum, yang harus menerbitkan surat pengantar pencairan ke pengadilan.

“BPN harus menerbitkan surat pengantar pencairan uang konsinyasi, karena siapapun tidak akan bisa memenangkan perkara ini karena mereka belinya dari mayat,” ungkap Dani. [WIS]