Blitar Selatan, Babak Terakhir Tripanji vs Trisula

Koran Sulindo – Rewang masih ingat ketika Oloan Hutapea meminta datang ke rumahnya di Jalan Padang, Manggarai, Jakarta. Itu adalah penghujung bulan September dan hanya beberapa hari sebelum Peristiwa 1965.

Tak ada bayangan apapun di kepalanya mengapa ia diundang. Yang ia tahu memang ada sekelompok anti-Dewan Jenderal sedang bersiap-siap melakukan ‘gerakan’.

Apa dan bagaimana gerakan itu Rewang tak paham detailnya.

Dari rumah Oloan ternyata sudah disiapkan rencana pergi ke suatu tempat yang di kemudian hari ia tahu sebagai daerah Kayu Awet. Di tempat itulah ia bertemu Sudisman.

Ada yang mengganjal dibenak Rewang tentang Sudisman dan ‘gerakan’ itu. Dengan jabatannya sebagai sebagai sekretaris jenderal partai, nyatanya Sudisman tak benar-benar menguasi situasi konkret ‘gerakan’.

Lebih aneh karena kemudian sampai tanggal 30 September 1965 tak ada kegiatan apapun yang dilakukan mereka di Kayu Awet.

Bahkan termasuk Rewang, Sudisman dan Oloan cuma duduk-duduk dan ngobrol ringan saja, juga sepanjang tanggal 1 Oktober 1965.

Baru di keesokan hari tanggal 2 Oktober, Rewang mendapat perintah menengok kantor CC di Kramat Raya. Keadaan Jakarta yang genting dan tak pasti ternyata juga berimbas di kantor itu. Ditambah lagi karena tak satupun pimpinan partai datang ke kantor.

Suasana genting itulah yang kemudian memuncak pada tanggal 4 Oktober. Kantor CC PKI dibakar massa sekaligus menandai munculnya gelombang anti-komunis yang disponsori tentara.

Makin genting karena justru pemimpin partai tak satupun berada di Jakarta.  Aidit dan Lukman di Solo dan Yogyakarta sedangkan Nyoto mengikuti rombongan Waperdam Subandrio di Medan.

Sejak itulah perlahan tapi pasti, pendulum politik bergerak ke kanan dan tetap berada di sana dalam waktu yang tak terbatas.

Menjawab pertanyaan Peristiwa September 1965 yang membuat partai terpukul hingga sedemikian parah, pimpinan PKI yang tersisa di pelarian berniat menyusun otokritik secara menyeluruh kesalahan partai.

Ketika Rewang menyampaikan usul itu kepada Lukman yang karena jabatannya sebagai Wakil Ketua I CC menggantikan Aidit, usul itu ditolak. Lukman menganggap dengan mengungkap kelemahan dan kesalahan partai di tengah ganasnya serangan kaum kontra-revolusi itu justru bakal lebih menguntungkan musuh. Rewang tak membantahnya.

Namun ketika Lukman ditangkap dan Sudisman secara de facto menggantikan kepemimpinan, gagasan itu kembali diungkap Rewang.

Sudisman setuju dan mengumpulkan Oloan Hutapea, Joko Sujono, Iskandar Subekti dan  Dahono serta beberapa pimpinan lain untuk mendiskusikan masalah-masalah pokok dalam otokritik tersebut. Sudisman juga menunjuk Rewang untuk mempersiapkan naskahnya.

Sebagai orang baru di Politbiro dan menganggap belum memiliki pengetahuan cukup tentang kehidupan intern partai secara nasional, Rewang keberatan dengan penunjukkan itu. Keberatan itu ditolak Sudisman yang justru menyebut sebagai anggota baru di politbiro ia tak memikul beban atas kelemahan-kelemahan dan kesalahan partai.

Dalam buku Saya Seorang Revolusioner, Memoar Rewang yang ditulis Joko Waskito, Rewang menyebut naskah itu akhirnya dikerjakan bersama-sama dengan seluruh proses penyusunan dilakukan di Jakarta.

Sementara konsep diedarkan untuk dimintakan pendapat, masukan-masukan kemudian dikompilasi dan kembali diedarkan untuk koreksi. Begitu tak ada lagi amandemen, konsep Kritik Otokritik Politbiro CC PKI itu disahkan sekaligus diumumkan khususnya di kalangan internal pada bulan September 1966.

Namun, belum sempat otokritik itu didiskusikan secara matang, Sudisman ditangkap tentara bulan Desember 1966. Ini segera memicu kekosongan pimpinan dalam CC karena hanya Sudisman-lah yang paling senior baik secara politik maupun jabatan.

Rewang menyebut  Kritik Otokritik Politbiro CC PKI itu adalah pencapaian terbesar Politbiro sementara partai dalam keadaan kerusakan parah akibat serangan kontra-revolusi.

Masuk Desa

Selain Kritik Otokritik Politbiro CC PKI, Politbiro juga mengumumkan Tripanji baru partai yakni pembangunan kembali partai, perjuangan bersenjata dan front nasional.

Selain kekosongan pimpinan masalah pelik lain yang harus dihadapi adalah kenyataan bahwa Jakarta tak lagi memungkinan sebagai ‘tempat’ untuk pimpinan. Di sisi lain membangun partai tanpa perlawanan atas penindasan bersenjata adalah hal mustahil.

Membangun kembali partai harus disatukan dengan usaha melakukan beladiri bersenjata dan sesuai garis otokritik, posisi pimpinan harus segera dipindahkan dari Jakarta.

Dengan penindasan bersenjata harus dihadapi dengan perlawanan bersenjata, berarti butuh daerah yang dapat menjadi basis perlawanan. Dan itu jelas tak bisa dilakukan dari kota seperti Jakarta.

Tanpa punya pandangan di mana harus membangun basis, satu-satunya jalan yang bisa dilakukan menghubungi CBD (Comite Besar Daerah) di daerah-daerah. Berdasarkan perkembangan terakhir, ternyata hanya CBD Jawa Timur saja yang paling memungkinkan.

Hasil kontak dengan CBD Jawa Timur juga didapat kabar mereka bahkan telah melakukan orientasi masuk ke desa sekaligus mempersiapkan daerah di Kabupaten Blitar Selatan sebagai basis.

Dengan mayoritas penduduk merasa dirinya anggota partai keamanan unsur-unsur pimpinan partai jelas terjamin. Segera kemudian proses perpindahan dilakukan secara bertahap sejak bulan Januari-Februari 1967.

Dari Jakarta mereka yang tercatat berangkat ke Blitar Selatan adalah Rewang, Oloan, Tjugito, Iskandar Subekti, Marjoko dan Katno. Sementara dari CBD Jawa Timur adalah Muhammad  Munir dan Ruslan Wijayasastra.

Blitar Selatan waktu itu adalah daerah pegunungan tandus tadah hujan dengan tanaman utamanya adalah singkong yang sekaligus sebagai makanan pokok penduduk setempat. Padi yang ditanam adalah padi gogo dan jagung dengan tanaman selingan kacang tanah dan kedelai.

Tanaman satu musim umumnya hanya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak lebih!

Ini yang kemudian memicu munculnya orang-orang yang disebut sebagai ‘bromocorah’ atau orang yang mata pencahariannya melakukan tindak kriminal. Mereka punya pengaruh karena kekuatan fisiknya yang membuat jerih rakyat.

Ini sejak semula juga sudah diwaspadai semenjak mereka masuk dan menghindari untuk merekrutnya. Bagaimanapun sekali waktu watak kriminal itu bisa kambuh jika datang kesempatan.

Ketika akhirnya CC Darurat di Blitar Selatan pada rapat tangal 23 Mei, ditunjuklah Ruslan Wijayasastra sebagai Ketua CC Darurat. CC Darurat itu membawahi tiga departemen yakni Organisasi yang dirangkap oleh Ruslan, Agitasi dan Propaganda ditangani Rewang sementara Derpartemen Perjuangan Bersenjata dipimpin Munir.

CC Darurat juga menghidupkan memulai program pertama dengan menghidupkan kembali organ partai Mimbar Rakyat yang terbit dua mingguan berisi materi politik praktis, sedangkan majalah Bendera Merah yang terbit bulanan untuk mengakomodasi teori.

Selain itu CC Darurat juga menunjuk Munir untuk menyusun pedoman perjuangan bersenjata Tesis Perjuangan Bersenjata untuk member panduan tahap-tahap perang rakyat.

Dalam tesis itu disebut tahap pertama dari perang rakyat adalah propaganda bersenjata bisa berupa gerakan-gerakan yang mempropagandakan garis politik partai yang dilakukan orang-orang bersenjata.

Tahap berikutnya adalah tahap defensif aktif yang pada pokoknya bisa disebut menyarikan pelajaran dari perang Tiongkok. Dengan kekuatan bersenjata rakyat dalam situasi bertahan, pertempuran frontal dan kekuatan musuh yang lebih besar harus dihindari.

Dalam tesis itu juga dikemukakan rambu-rambu kapan perjuangan bersenjata harus dimulai yang bakal ditinjau sebuah konferensi yang dihadiri  minimum oleh CBD-CBD di Jawa.

Dasar dari teori perjuangan bersenjata ini karena di negeri jajahan dan setengah jajahan yang watak kekuasaannya tidak demokratis, perang rakyat jangka panjang dimungkinkan karena kesulitan mengembangkan partai atau gerakan revolusioner rakyat melalui sistem demokrasi yang ada.

Komite Proyek

Selain di Blitar Selatan, CC Darurat juga telah menyiapkan beberapa daerah basis seperti di Komite Proyek (Kompro) Gunung Lawu dan Kompro Gunung Kendeng yang mencakup wilayah pegunungan Bojonegoro sampai Purwodadi. Selain itu juga disiapkan Kompro Gunung Kelud, Kompro Gungung Semeru dan Gunung Arjuna dan Kompro Merapi yang dibangun CBD Jawa Tengah.

Selain membangun kompro-kompro, CC Darurat di Blitar Selatan juga berhasil membentuk detasemen gerilya yang berkekuatan 150 gerilyawan bersenjata yang menurut rencana bakal menjadi pasukan reguler.

Menjadi masalah karena yang terjadi kemudian adalah situasi fatal karena kekeliruan penafsiran propaganda bersenjata. Menurut tesis itu propaganda bersenjata tidak bisa dilakukan sebelum perjuangan bersenjata dimulai.

Namun, aksi-aksi seperti menghukum algojo-algojo tentu saja segera memicu reaksi padahal putusan memulai perjuangan bersenjata belum lagi diketok. Menghukum algojo pada hakikatnya masuk kategori aksi bersenjata.

Benar saja meningkatnya jumlah perampokan, penculikan, pembunuhan di Rejotangan, Ngunut, Kalidawir dan Bojolangu di Tulungagung dan penyerangan pos-pos polisi segera membunyikan alarm intel tentara.

Sebenarnya perampokan semacam itu bagi daerah-daerah tersebut sejak zaman Hindia Belanda memang sudah biasa. Selalu dapat diperkirakan sarang -perampokan itu berasal dari daerah Blitar Selatan.

Berlainan sifatnya dengan perampokan-perampokan itu ternyata punya sasaran khusus. Dari mereka yang ditangkap kadang tercetus bahwa tindakan mereka tersebut merupakan pembalasan pada algojo-algojo yang berarti utang darah dibayar darah.

Modal Utang

Pangdam Brawijaya M. Jasin dalam memoarnya, M. Jasin Saya tidak pernah minta ampun kepada Soeharto menyebut sebenarnya tentara sudah mengendus gerakan itu semenjak pertengahan tahun 1967.

Mereka bahkan sudah mengetahui rencana pembentukan tujuh kompro di Jawa Timur, soal di mana dan bagaimana bentuknya mereka masih gelap.

Intel juga berhasil membongkar beberapa bentuk kegiatan di Kandangan, Pare dan Kediri. Sedangkan di Surabaya mereka berhasil menyusup kegiatan PKI yang disebut organisasi Trie, sekaligus mendeteksi Sekolah Perlawanan Rakyat (SPR) di Malang Selatan.

Tentara juga sudah mengendus rencana CBD Jatim mengirim kader-kadernya ke Pakisaji dan Suruhwadang di Blitar Selatan untuk membangun tentara reguler.

Meski ‘gangguan’ keamanan itu memancing tentara meningkatkan penyelidikannya di Blitar Selatan dan Tulungagung sebenarnya mereka gagal menemukan petunjuk konkret.

Intel-intel yang dikirim gagal memperoleh hasil yang diinginkan. Alasannya sepanjang sejarah wilayah Blitar Selatan rakyat di daerah tersebut sangat terlatih menyimpan rahasia sepanjang itu menyangkut soal-soal keamanan.

Petunjuk terang baru didapat tanggal 22 Desember 1967 ketika intel menangkap seorang perampok bernama Kusno alias Yudo. Menyusul serangkaian interogasi dari mulutnya meluncurlah berbagai informasi penting termasuk tentang Pasukan Gerilya Rakyat Surabaya (PGRS).

PGRS ini dipimpin Purwadi, seorang tentara berpangkat Lettu dari Batalyon 516. Belakangan, diketahui nama sebenarnya adalah Suwandi dan berpangkat Peltu dari kompi angkutan Kaliasin. Ia ditangkap di Kompro Pandan, Bojonegoro.

Selain Kusno, tentara secara kebetulan juga menangkap Pratomo yang setelah penyelidikan menunjukan ia adalah bekas Komandan Kodim Pandeglang. Mengapa ia ada di sana?

Ternyata Pratomo merupakan penghubung tokoh-tokoh PKI di Jakarta dengan tokoh-tokoh di Blitar Selatan. Ia juga yang bertanggung jawab untuk mengadakan latihan militer.

Berbekal keterangan Kusno dan Pratomo, intel memiliki bekal untuk menggelar penyelidikan yang lebih fokus baik untuk membongkar gerakan di Blitar Selatan maupun PGRS.

Ketika tentara memusatkan radarnya, penelitian intensif menunjukkan banyak tokoh seperti Munir, Rewang, Oloan Hutape berada di Blitar Selatan.

Selain itu mengorek informasi hasil tangkapan itu, Jasin juga mengetahui dari rapat di rumah Kapolda Jawa Timur Sumarsono diketahui KKO berencana menculik Bung Karno dan membawanya ke Blitar Selatan sebagai simbol perjuangan PKI terhadap Orde Baru. Soemarsono ini masih merupakan kerabat Bung Karno

Informasi penting itu bocor karena pelayan di rumah Sumarsono adalah intel yang diselundupkan Jasin.

Tak hanya hanya melibatkan Angkatan Darat, Jasin juga menggandeng Suwoto Sukendar dari Pangkodau untuk menggelar operasi ke Blitar Selatan. Termasuk yang  membantunya adalah Ali Said yang mengusulkan nama Trisula untuk operasi itu. Dalam perencanaan Trisula bakal mencakup operasi teritorial, intelijen dan dan tempur.

Meski merupakan operasi resmi pemerintah, semula Trisula sama sekali tak dibiayai Jakarta dengan alasan merupakan inisiatif daerah. Kepada M Panggabean, Jasin ngotot bakal mengusahakannya sendiri biaya operasi itu.

Belakangan Jasin mendapat modal awal operasi uang sebesar  Rp 20 juta yang dipinjamnya dari  Gubernur Jawa Timur Mohammad Noer yang mendukungnya. Dukungan juga datang dari Suwoto yang menyumbang dua kompi tentara dari AU. Operasi mulai menunjukan hasil ketika Jakarta mulai mengirim uang.

Mematok Operasi Trisula bakalan tuntas dalam tiga bulan, kepada Kepada Komandan Brigade V Kolonel Sutarmin, Jasin mengancam bakaln mencopotnya jika molor. Ini jelas kelebihan percaya diri. Karena perjuangan bersenjata di Blitar Selatan itu ternyata bertahan satu setengah tahun yakni sejak awal 1967 sampai dengan pertengahan 1968.[TGU]