BISSU adalah pendeta Bugis di Sulawesi Selatan, yang dahulu berperan utama sebagai penjaga para raja dan kerajaan. Bissu adalah kelas pendeta—ahli dalam ajaran kepercayaan dan ritual Bugis pra-Islam. Mereka dianggap perwujudan dari gabungan laki-laki, perempuan, fana dan dewa. Bissu termasuk dalam tradisi kuno yang sudah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia di abad 13.
Bugis adalah salah satu etnis utama di Sulawesi Selatan, sebuah wilayah semenanjung sempit pulau Sulawesi yang membentang ke selatan menuju pulau Flores di kepulauan Indonesia Timur. Saat ini, agama utama adalah Islam, tetapi praktik spiritual dan ritual tradisional masih memainkan peran penting di banyak komunitas.
Dalam kepercayaan masyarakat Bugis kuno, mereka memiliki jumlah gender berbeda dengan umumnya di Indonesia (laki dan perempuan), antara lain: oroané (pria), makkunrai (wanita), calalai (priawan), calabai (waria), dan bissu (androgini atau interseks).
Calalai’—perempuan biologis yang hidup dan bekerja seperti laki-laki dalam masyarakat; dan calabai’—laki-laki biologis yang hidup seperti perempuan, mengenakan pakaian feminin, dan melakukan banyak fungsi yang dilakukan perempuan. Biasanya, baik calalai’ maupun calabai’ tidak ingin menjadi lawan jenis. Mereka nyaman memegang identitas gender yang non-biner, dan diterima secara umum dalam masyarakat Bugis.
Bissu identitas gender yang kelima. Mereka pada dasarnya melampaui gender—meta-gender atau gender-transcendent. Beberapa bissu terlahir interseks, memiliki alat kelamin yang ambigu. Ini tidak selalu terjadi, tetapi terlepas dari biologi mereka, sebagian besar bissu memiliki penampilan yang ambigu gender atau androgini.
Perpaduan jenis kelamin ini diyakini memberikan kekuatan spiritual khusus kepada mereka, dan mereka sangat dihormati dalam masyarakat Bugis karena memiliki kemampuan lebih untuk terhubung dengan dunia roh.
Bagi masyarakat Bugis, bissu bukanlah sekadar manusia yang mengubah gender, namun memiliki makna spiritual tinggi. Istilah bissu berasal dari kata ’bessi’ yang memiliki arti: tidak berdarah.
Selama berabad-abad bissu adalah bagian tetap di istana kerajaan di Sulawesi Selatan. Mereka berperan sebagai penasihat spiritual dan penyembuh raja, menjaga protokol dan melakukan ritual suci dalam pernikahan, kelahiran, pengobatan, dan waktu panen. Bissu secara tradisional tinggal di istana kerajaan dan diberi tanah dan sawah untuk penghidupan mereka.
Meskipun jumlah bissu bervariasi, setiap kerajaan memiliki kepala dan wakil bissu, dalam upacara besar membutuhkan partisipasi setidaknya 40 pendeta.
Bissu menyelenggarakan ritual bagi para bangsawan dan mengurusi pusaka suci kerajaan, arajang. Dalam menjalankan kegiatan tersebut, mereka mengenakan pakaian androgin yang memadukan atribut laki-laki dan perempuan.
Mereka dipercaya dapat kerasukan arwah dewata untuk kemudian memberi berkat, arena dianggap merepresentasikan baik laki-laki/perempuan, mortal/dewata. Untuk membangkitkan arwah, mereka harus menyelenggarakan ritual yang cukup rumit dengan bebunyian, sesajen, dan tarian.
Jika arwah sudah terbangun dan memasuki raga mereka, mereka kemudian menusukkan keris-keris pusaka ke leher, atau telapak tangan dan dahi. Keberadaan arwah dalam raga membuat mereka kebal—hanya bissu yang kebal berhak untuk memberikan berkat, mulai dari upacara kelahiran, kematian, kesuburan desa, hingga berkat untuk pengobatan.
Persinggungan budaya
Masuknya Islam di Sulawesi secara langsung memberi dampak pada kehidupan para bissu yang pada mulanya adalah penjaga dari kepercayaan lokal masyarakat Bugis. Pertemuan ajaran dan budaya baru berakibat banyak perubahan dan timbul ketegangan.
Segeri yang merupakan salah satu wilayah di Sulawesi Selatan yang memiliki jumlah bissu cukup banyak turut mengalami perubahan. Masuknya Islam di Segeri hampir bersamaan dengan diterimanya Islam secara resmi di Gowa-Tallo. Islam sampai ke Gowa-Tallo diperkirakan sekitar tahun 1500-an pada saat raja Gowa ke-16 Tunipalangga.
Setelah kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam secara resemi, daerah-daerah lain seperti di Segeri pun mulai memeluk Islam. Kedatangan Islam di Segeri ini menjadi cerita tersendiri bagi bissu, komunitas yang konsisten dengan tradisi Bugis-Kuno.
Pada awal kedatangan Islam, tidak menjadi problem yang pelik bagi komunitas bissu.
Salah satu strategi yang dilakukan dalam menyebarkan ajaran Islam di suku Bugis adalah dengan mengedepankan pendekatan tasawuf yang bisa akomodatif dengan kepercayaan lokal, juga Islam saat itu dijalankan dengan negosisasi kultural oleh para penganjurnya.
Seiring berjalannya waktu, ajaran Islam semakin mengakar dan mulai menghambat pergerakan bissu. Masyarakat Bugis secara perlahan menanggalkan identitas asalnya tanpa disadari memengaruhi eksistensi bissu.
Perubahan tersebut dapat dilihat dari sebagian upacara bissu diambil alih oleh puan kali (khali). Pelaksanaan upacara merekapun mulai disederhanakan. Misalnya, upacara mappaliki di Segeri yang dulunya (sebelum Islam datang) berlangsung selama 40 hari dan 40 malam, kemudian berubah menjadi 7 hari dan 7 malam. Juga peran para bissu yang diambil alih pemuka agama Islam dalam keseharian warga.
Ritual perkawinan, kelahiran, kematian dan sebagainya, lebih merujuk ke ajaran Islam. Kepala bissu terakhir dari Segeri meninggal pada 2011, dan belum ada lagi pengangkatan untuk penerusnya.
Sejarah kelam Bissu
Keinginan kelompok Kahar Muzakkar untuk memisahkan dari Republik Indonesia untuk membentuk negara Islam DI/TII pada tahun 1950 memunculkan aksi yang mengorbankan para bissu. Seluruh praktik yang berseberangan dengan ajaran Islam mulai dimusnahkan, salah satunya dengan menghilangkan para bissu.
Masa tersebut disebut masa terkelam dalam kehidupan para komunitas bissu. Kahar Muzakkar melancarkan operasi penumpasan bissu yang disebut dengan Operasi Toba (operasi tobat).
Perlengkapan upacara ritual bissu dibakar dan ditenggelamkan ke laut dan tidak sedikit bissu maupun sanro (dukun) dibunuh. Kelompok Muzakkar menganggap bahwa kegiatan bissu menyembah berhala, dan dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam dan membangkitkan feodalisme, karena itu kegiatan serta pelakunya diberantas.
Tidak berhenti pada Operasi Toba, meletusnya Peristiwa 1965 yang berujung pembersihan elemen PKI juga mengganyang komunitas bissu. Dengan bahasa bengis, bissu dituduh sebagai bagian dari PKI karena melakukan perbuatan yang dianggap syirik.
Otoritas keagamaan di Bugis lama yang sebelumnya dipegang oleh bissu perlahan luntur karena dominasi Islam sebagai agama utama, peran bissu sudah tidak menonjol di kehidupan keseharian masyarakat.
Keberadaan Bissu perlahan tersingkir dan surut dari kebudayaan Bugis, Sulawesi Selatan. [KS-07]