Bisakah Pengemudi Grab dan Gojek Membangun Serikat yang Kuat?

Ilustrasi/Nikkei.com

Koran Sulindo – Pengemudi ojek online baru-baru ini berunjuk rasa di Jakarta menuntut pemerintah melindungi kepentingan pekerja di sektor transportasi online yang berkembang pesat beberapa tahun belakangan ini.

Protes tersebut digelar sehari setelah Grab, perusahaan taksi online asal Malaysia, mengumumkan mereka mengambil alih operasi Uber di Asia Tenggara. Akuisisi ini membuat Grab, dan pesaing mereka di Indonesia, Gojek, menjadi pemain utama di pasar taksi dan ojek online Indonesia.

Para pengemudi ojek online ingin pemerintah mengatur upah, asuransi, dan hal-hal lain terkait dengan pekerjaan mereka. Mereka juga menuntut perusahaan untuk menetapkan tarif dasar yang lebih tinggi dan meningkatkan penghasilan pengemudi.

Namun upaya mereka untuk membangun gerakan yang dapat memperjuangkan kepentingan mereka berpotensi menghadapi tantangan yang serius. Tenaga kerja di sektor sharing economy ini terfragmentasi. Pengemudi bekerja secara independen dan terpisah secara fisik satu sama lain. Lebih jauh lagi, protes pengemudi ini terjadi saat organisasi pekerja dan masyarakat sipil menghadapi warisan demobilisasi yang terjadi selama puluhan tahun di bawah rezim Orde Baru.

Saat ini, layanan taksi online diatur di bawah peraturan yang dikeluarkan pada 2017 oleh Kementerian Perhubungan. Melalui peraturan ini, pemerintah dapat menetapkan harga layanan. Aturan tersebut juga mensyaratkan kendaraan yang digunakan dalam layanan ini harus lolos uji kelayakan (uji kir) sebagai angkutan umum.

Namun, dalam UU No. 22/2009, sepeda motor tidak diklasifikasikan sebagai transportasi publik. Maka dari itu, hingga saat ini kegiatan ojek online dan perlindungan pengemudinya tidak memiliki perlindungan hukum.

Aksi Kolektif Pekerja Gig Economy

Meningkatnya layanan taksi online di kota-kota besar di Indonesia merupakan bagian dari tren global berkaitan dengan perkembangan sektor baru yang disebut sebagai ekonomi “gig”, “sharing”, dan “on-demand”. Perusahaan-perusahaan yang membuat aplikasi digital menghadirkan pelbagai layanan—dari transportasi dan bersih-bersih hingga belanja—untuk pelanggan, dan digerakkan oleh tenaga kerja sementara dan fleksibel.

Di kota-kota besar di seluruh dunia, pertumbuhan perusahaan-perusahaan seperti Uber telah mendorong para pengemudi untuk mengorganisasi aksi bersama.

Di Amerika Serikat, protes terhadap Uber biasanya kecil dan sporadis. Upaya ini belum berhasil menciptakan tekanan yang cukup kuat demi mendapatkan respons atas tuntutan pengemudi. Karenanya, dalam rangka memberikan tekanan yang lebih kuat, para pengemudi di negara itu diwakili oleh serikat buruh tradisional maupun alternatif di pengadilan, arena legislatif, dan dalam perundingan khusus dengan Uber.

Di Indonesia, pengemudi taksi dan ojek online juga membentuk asosiasi yang mewakili kepentingan mereka sebagai sebuah kolektif. Mereka turun ke jalan untuk memperjuangkan soal upah rendah dan kebijakan perusahaan yang tidak adil.

Tantangan dalam Membentuk Persatuan yang Kuat

Para pengemudi online bekerja sendiri-sendiri. Namun, ketidakpuasan atas perlakuan tak adil berkaitan dengan upah dan kondisi kerja mendorong mereka untuk melakukan pengorganisasian secara kolektif. Unjuk rasa pengemudi online belakangan ini bisa jadi indikasi adanya upaya perlawanan bersama melawan kondisi kerja yang eksploitatif dan upaya memperjuangkan posisi tawar kolektif untuk upah dan kondisi kerja.

Kita masih harus menunggu perkembangan ke depan untuk melihat apakah aksi bersama ini dapat bertransformasi menjadi serikat kerja yang solid, dengan strategi dan agenda yang dapat mendorong reformasi kebijakan kerja ke arah yang lebih baik.

Berikut adalah beberapa kondisi sosial yang dapat menghambat upaya para pengemudi taksi dan ojek online untuk membentuk serikat kerja yang solid.

  1. Kebanyakan pengemudi ojek online tidak merasa dieksploitasi

Di bawah sistem kerja fleksibel, pengemudi transportasi online bekerja dalam kontrak sekali jalan atau jangka pendek. Terlebih, penggunaan teknologi digital yang canggih memungkinkan kendali otomatis dalam proses kerja. Ini memaksimalkan produktivitas kerja para pengemudi.

Banyak pengemudi online menikmati fleksibilitas dan kebebasan yang ditawarkan usaha taksi online dan secara sukarela mengikuti logika modal. Meski ribuan pengemudi online ikut dalam unjuk rasa, riset mengenai pengemudi Gojek dan Grab menunjukkan sebagian besar puas dengan penghasilan dan kondisi kerja mereka.

Proses kerja dalam gig economy mendorong pengemudi agar mau memaksimalkan produktivitas mereka dan mendapatkan penghasilan lebih banyak. Bagi banyak pengemudi, membangun persatuan yang kuat dengan strategi dan agenda yang jelas, dapat menghabiskan terlalu banyak waktu dan energi—sesuatu yang bisa mereka gunakan untuk bekerja. Pengemudi bisa jadi bersatu untuk mengatasi masalah-masalah jangka pendek, tapi mungkin akan lebih sulit bagi mereka untuk membangun suatu serikat kerja yang solid.

  1. Mengemudi ojek untuk penghasilan tambahan

Riset mengenai pengemudi Gojek menunjukkan bahwa banyak di antara mereka tidak benar-benar bergantung pada pendapatan dari layanan ojek online. Luasnya sektor informal di Indonesia dan skema perlindungan sosial yang tidak selalu dapat diandalkan membuat banyak warga di Indonesia mencari penghasilan dari beberapa pekerjaan.

Salah satu syarat untuk menciptakan serikat kerja yang solid adalah perasaan solidaritas sosial yang kuat. Ini mungkin sulit dicapai karena pengemudi terfragmentasi berdasarkan kemampuan ekonomi yang berbeda-beda. Kebanyakan pengemudi Gojek, misalnya, memiliki pekerjaan lain dan bergabung dengan platform online tersebut untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

  1. Serikat buruh tradisional kurang efektif dalam mewakili pekerja online

Organisasi buruh dan gerakan sosial yang lebih luas bisa memperkuat dampak dari unjuk rasa pengemudi online dan mendukung pengemudi membangun serikat kerja yang solid. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia telah merekrut pengemudi online sebagai anggota. Namun infrastruktur serikat buruh yang ada memiliki keterbatasan dalam pengorganisasian di luar basis massa tradisional mereka, yaitu pekerja industri.

Ini sebagian disebabkan oleh puluhan tahun demobilisasi gerakan masyarakat sipil dan buruh di bawah rezim Orde Baru. Saat ini semakin sulit bagi pekerja untuk membangun serikat karena sistem kerja menjadi semakin fleksibel.

Bahkan di AS, di mana serikat kerja dan kelompok buruh alternatif telah mewakili pengemudi taksi online di arena legislatif dan yudikatif dan dalam negosiasi dengan perusahaan, tidak banyak hasil yang dicapai.

  1. Keterlibatan yang terbatas dari organisasi masyarakat sipil

Organisasi berbasis masyarakat tampak tidak banyak terlibat dengan unjuk rasa pengemudi online. Mereka seperti absen dari aksi kolektif para pengemudi online.

Di sisi lain, berbagai pihak termasuk kelompok radikal yang menyerukan agenda yang reaksioner menyasar kelompok pekerja di sektor informal untuk mobilisasi. Sebagian besar pengemudi ojek online direkrut dari kelompok ini. Hal ini dapat semakin menghambat konsolidasi dalam membentuk serikat yang kuat.

Selanjutnya Apa?

Unjuk rasa pengemudi taksi dan ojek online merepresentasikan benih pengorganisasian kolektif. Namun, dengan semakin terfragmentasinya dan teratomisasinya dunia kerja, serta serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil bertarung dengan warisan-warisan otoriterianisme, maka tidak mudah untuk mengubah protes-protes sporadis ini menjadi serikat kerja yang solid.

Kita perlu memikirkan cara agar organisasi buruh dan gerakan masyarakat sipil yang lebih luas terhubung secara strategis dengan unjuk rasa pengemudi online, dan pada saat yang sama mengakui tantangan-tantangan yang harus dihadapi. [Diatyka Widya Permata Yasih, pengajar di Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia/Andi Rahman Alamsyah, pengajar di Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia].

Tulisan ini disalin dari theconversation.com Indonesia, di bawah lisensi Creative Commons.