Koran Sulindo – Bencana gempa 7.4 skala Richter, tsunami, dan likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah terjadi setahun lalu, namun masalah penyaluran bantuan masih terjadi.
Saya dan tim beranggotakan Muklas Aji Setiawan, Nur Safitri Lasibani dan R. Alam Surya Putra, bersama The Asia Foundation dan mitra melakukan penelitian di Palu dan Sigi, Sulawesi Tengah, pada Maret 2019. Kami menemukan bahwa birokrasi masih menghambat penyaluran bantuan pemerintah saat bencana.
Kami mengidentifikasi setidaknya ada dua masalah birokrasi yang menghambat penyaluran bantuan bencana.
Masalah pertama adalah proses birokrasi yang kaku yang harus dijalani para penyintas bencana sebelum bisa mendapatkan bantuan.
Masalah kedua adalah keberadaan proses identifikasi dan verifikasi data yang memerlukan waktu yang panjang.
Kedua masalah tersebut menyebabkan penyaluran bantuan bencana Palu terlambat hingga setidaknya hampir delapan bulan.
Masalah Utama
Studi kualitatif kami dilakukan dengan mewawancarai sekitar 78 informan dari berbagai kelompok untuk mengkaji tata kelola penyaluran bantuan pada periode tanggap darurat dan pemulihan.
Dari berbagai hal yang mengemuka, keterlambatan dan ketidakjelasan bantuan muncul berulang-ulang.
Seorang penyintas di Buluri, Palu, mengeluhkan, “..katanya kami akan dapat bantuan, infonya dari Oktober. Kami ini sudah tiga kali kasih fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Tapi sampai sekarang tidak ada berita”.
Padahal, dua minggu setelah bencana, berbagai media memberitakan bahwa penyintas akan segera mendapatkan kedua bantuan.
Kenyataannya bantuan santunan kematian baru disalurkan pada Mei 2019, dan Jaminan Hidup (Jadup) pada Agustus 2019, atau hampir delapan bulan sejak pertama kali diproses. Itu pun baru tahap pertama.
Hambatan penyaluran bantuan bersumber dari dua hal utama.
Masalah pertama adalah persyaratan yang kaku karena kelengkapan dokumen yang harus disediakan oleh penerima bantuan tanpa mempertimbangkan kondisi bencana. Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengharuskan ahli waris menyerahkan empat dokumen untuk mendapatkan santunan kematian, yaitu surat keterangan kematian, surat keterangan ahli waris dari desa, KTP, dan KK ahli waris.
Padahal ahli waris kesulitan menyediakan KTP dan KK. Dokumen tersebut biasanya terkubur atau hilang saat bencana.
Tidak semua penyintas yang berhak mendapatkan santunan juga memiliki dokumen tersebut. Contohnya, ada kasus anak dan istri yang baru pindah ke Palu dan kehilangan kepala keluarga tetapi belum sempat mengurus KK.
Kelengkapan administrasi juga berlaku untuk persyaratan penerima bantuan Jadup. Untuk korban bencana di Sulawesi Tengah, Kementerian Sosial menjanjikan memberikan jaminan hidup bagi penyintas sebesar Rp 10.000 per hari selama dua bulan.
Peraturan Menteri Sosial No. 4 tahun 2015 mendefinisikan penerima Jadup sebagai mereka yang tinggal di hunian sementara (huntara) dan atau hunian tetap (huntap). Untuk masuk ke huntara, penyintas haruslah pemilik rumah dengan kondisi rumah terdampak gempa, dengan menyertakan KTP dan KK.
Namun, kriteria penerima Jadup yang harus tinggal di huntara mengabaikan penyintas yang memilih tinggal di tenda pengungsian atau mendirikan tenda di pekarangan rumahnya.
Kriteria ini juga mengabaikan penyintas petani di Kabupaten Sigi yang kondisi rumahnya tidak terdampak gempa, tetapi mereka tidak bisa bertani karena rusaknya tanggul irigasi Gumbasa.
Masalah kedua yang menghambat penyaluran bantuan adalah proses identifikasi dan verifikasi data panjang.
Pemerintah daerah tidak memiliki anggaran yang cukup sehingga yang digunakan adalah anggaran pemerintah pusat.
Dalam hal ini, pemerintah pusat ―- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Sosial -― adalah aktor yang menetapkan aturan dan mekanisme penyaluran dua bantuan tersebut. Sebaliknya, pemerintah daerah berperan melakukan pendataan dan mengusulkan daftar penerima bantuan kepada pemerintah pusat.
Contohnya proses identifikasi penerima santunan kematian. Di daerah, Dinas Sosial di tingkat kota dan kabupaten melakukan identifikasi dan mengusulkan daftar pemohon kepada Kementerian Sosial dengan melampirkan empat dokumen tersebut.
Dinas Sosial menugaskan aparat desa/kelurahan dan Kecamatan untuk mengidentifikasi dan melampirkan kelengkapan dokumen dari ahli waris. Dinas Sosial kemudian melakukan verifikasi data dari desa/lurah.
Kementerian Sosial sebagai pengambil keputusan kemudian mengecek data pemohon yang diterima dari Dinas Sosial. Bila belum lengkap, Kementerian Sosial akan mengembalikan dan meminta dinas melengkapi. Dinas Sosial lalu kembali melakukan pendataan bersama aparat desa untuk melengkapi dokumen.
Proses bolak-balik ini terjadi berulang kali.
Kewenangan yang tidak ada pada pemerintah daerah juga menyebabkan ketidakjelasan informasi penyaluran bantuan di tingkat aparat desa/kelurahan. Mereka tidak bisa memberikan informasi yang jelas kepada penyintas mengenai pencairan program.
Masalah yang Terus Berulang
Persoalan birokratisasi dalam penyaluran bantuan bencana di Indonesia sudah terjadi lama.
Penelitian tahun 2006 yang dilakukan oleh Margaret B. Takeda dan Marilyn M. Helms, peneliti birokrasi pengelolaan dampak gempa dan tsunami Samudra Hindia tahun 2004 dari University of Tennessee dan Dalton State College, Amerika Serikat, mengungkap persoalan birokratisasi bantuan telah terjadi pada kasus bantuan tsunami Aceh.
Masalahnya ketika itu dipicu oleh pengambilan keputusan yang sentralistik dan berjenjang mengakibatkan lambatnya pengambilan keputusan dan tidak responsifnya bantuan dengan situasi bencana.
Birokrasi penyaluran bantuan juga terjadi pada korban gempa Padang pada tahun 2009.
Penelitian yang dilakukan oleh Sri Prastyowati, peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS), menemukan bahwa kehati-hatian aparat untuk menyalurkan bantuan sesuai proses administrasi menyebabkan bantuan tidak tepat waktu dan tidak sesuai dengan kebutuhan korban.
Persoalan birokratisasi bantuan bencana yang terus berulang menegaskan perlunya terobosan kebijakan yang memangkas aturan dan memberi kewenangan daerah untuk mengelola bantuan bencana.
Aturan penerima bantuan tidak perlu secara kaku mensyaratkan dokumen legal formal. Untuk menjamin akuntabilitas, pemerintah daerah bisa melibatkan organisasi masyarakat sipil dan akademisi untuk melakukan verifikasi data.
Pemerintah pusat perlu melakukan terobosan skema bantuan keuangan pusat yang memberikan kewenangan daerah mengelola bantuan sehingga berbagai kriteria dan mekanisme pengelolaan bantuan dapat disesuaikan dengan kondisi penyintas di daerah.
Jangan sampai birokratisasi terus berulang di setiap kasus bencana. [Yulia Indrawati Sari, Dosen Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan] Tulisan ini disalin dari theconversation.com.