Ilustrasi/Wahyu Putro /ANTARA FOTO

Koran Sulindo – Gaduh soal “penyadapan” menyeruak setelah persidangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Selasa (31/1). Dalam sidang dugaan kasus penistaan agama itu Ahok dan penasihat hukumnya, seperti terdengar mengatakan itu ketika menanyai saksi KH Maruf Amin, dalam kapasitas sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Tanya-jawab di persidangan yang bantah-bantahannya terdengar keras itu digemakan lagi oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam konferensi pers di Wisma Proklamasi, sehari setelahnya.

SBY, tak seperti biasanya, suaranya menjadi serak dan berat, mengatakan percakapannya dengan Maruf itu, atau percakapan dengan pihak mana pun disadap tanpa alasan sah, tanpa perintah pengadilan dan hal-hal yang dibenarkan undang-undang, berarti ilegal.

“Saya berharap kepolisian, kejaksaan, pengadilan untuk menegakkan hukum sesuai Undang-Undang ITE,” kata SBY, sambil meminta pengusutan atas “penyadapan” itu.

Namun secara pribadi SBY tidak meyakini dirinya disadap karena sebagai mantan presiden dirinya mendapatkan pengamanan oleh Paspampres. Pengawalan yang diperoleh meliputi pengawalan terhadap dirinya sebagai individu, kegiatan, hingga kerahasiaan pembicaraannya.

Kalau begitu, benarkah ada penyadapan?

Presiden Joko Widodo yang dicegat wartawan seusai membuka Konferensi Forum Rektor Indonesia, di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (2/2) mengatakan tak ada hubungan apa-apa dengan kegaduhan itu.

“Isunya di pengadilan loh ya, dan yang berbicara itu kan pengacaranya Pak Ahok dan Pak Ahok. Ya enggak. Lah kok barangnya dikirim ke saya. Tidak ada hubungannya,” kata Presiden Jokowi, seperti dikutip situs setkab.go.id.

BIN

Badan Intelijen Negara (BIN) akhirnya ikut bicara. Melalui keterangan tertulis, Deputi VI BIN, Sundawan Salya, mengatakan dalam persidangan itu tidak disebutkan secara tegas apakah dalam komunikasi verbal secara langsung ataukah percakapan telepon yang diperoleh melalui penyadapan.

BIN menegaskan informasi tentang adanya komunikasi antara KH Maruf Amin dan SBY bukan berasal BIN.

“Informasi yang disampaikan oleh Ahok dan pengacaranya kepada Majelis Hakim merupakan tanggung jawab yang membuat pernyataan,” tulis Sundawan.

BIN juga menyebutkan Ahok telah memohon maaf kepada Maruf, dan mengklarifikasi bahwa informasi yang dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan adalah berita yang bersumber dari media daring liputan6.com edisi 7 Oktober 2016.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, BIN adalah elemen utama dalam sistem keamanan nasional untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan NKRI. Dalam menjalankan tugas, BIN yang kini dkepalai Jendral Budi Gunawan itu mempunyai kewenangan menyadap berdasarkan UU.

“Namun penyadapan hanya dilakukan untuk kepentingan penyelenggaraan fungsi intelijen dalam rangka menjaga keselamatan, keutuhan dan kedaulatan NKRI, di mana hasilnya tidak dipublikasikan dan diberikan kepada pihak tertentu,” tulis Sundawan. [DAS]