Bila Pasal TPPU Diterapkan, Pengembalian Aset Hasil Korupsi Bisa Maksimal

Ilustrasi: Cover buku Peter Carey/Komunitas Bambu

Koran Sulindo – Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Dian Ediana Rae menegaskan, pengembalian aset dari hasil tindak pidana kejahatan ekonomi kepada negara itu bisa maksimal, asalkan dalam penanganan hukumnya menggunakan pasal dalam Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang.

“Kalau TPPU ini diterapkan atau dilekatkan dalam setiap tindak kejahatan ekonomi semisal korupsi, narkoba, penipuan dan lainnya, maka dipastikan recovery aset kepada negara lebih tinggi atau kerugian negara yang bisa diselamatkan lebih tinggi nilainya,” kata Dian, Kamis (17/12).

PPATK, kata Dian, mendukung dan terus mendorong agar recovery aset hasil tindak kejahatan ekonomi nilainya lebih tinggi sesuai dengan harapan Presiden Jokowi. Karena itu dalam beberapa bulan ini PPATK sangat intensif agar tindak pidana ekonomi harus disertai dengan TPPU.

“Kalau penjahat ekonomi ini hanya dihukum badan dan disertai penyitaan sebagian asetnya, maka ini tidak cukup,” ujar Dian.

Sebaiknya ada faktor yang bisa membuat mereka jera, misalnya ada yang korupsi Rp10 triliun, maka penyitaan asetnya paling tidak mendekati nilai yang dikorupsi, jangan sampai malah mendapat hasil yang minimal.

Dian yang pernah menjabat Kepala Perwakilan Bank Indonesia di London menambahkan, di beberapa negara termasuk negara maju seperti AS, nyaris sulit mengatasi tindak pidana ekonomi tanpa disertai TPPU.

“Tidak bisa hanya mengejar-ngejar koruptor, bandar narkoba, dan para penipu tanpa memiskinkan mereka dengan menyita aset hasil kejahatannya,” ucap Dian.

Selain mendorong diterapkannya pasal TPPU dalam setiap tindak pidana ekonomi, kata Dian, lembaga ini juga melakukan upaya pencegahan. Ini dimaksudkan agar pihak atau orang yang akan berniat melakukan tindak pidana ekonomi bisa berkurang.

Menanggapi apakah ada batasan seberapa besar nilai nominal dari hasil kejahatan ekonomi itu yang harus diterapkan pasal pencucian uang, Dian melanjutkan, tidak ada batasan untuk menentukan apakah kejahatan ekonomi itu bisa dilekatkan dengan TPPU atau tidaknya.

“Kalau pun jumlahnya (korupsi) kecil namun dilakukan pejabat negara, maka ini sensitif dan tetap penting harus kami ungkap,” tegas Dian.

Bila PPATK sudah mengeluarkan hasil analisis dan pemeriksaan, kata Dian, maka itu sudah pasti ada kejahatan pencucian uang.

“Apa yang kami lakukan (analisis dan pemeriksaan) itu sudah mendekati kebenaran,” ungkap Dian.

Dian mengakui, sampai saat ini masih terjadi gap yang cukup lebar antara hasil analisis dan pemeriksaan PPATK dengan penindakan hukum dari aparat penegak hukum.

Menurut Dian, ada beberapa alasan yang mungkin masih terjadinya gap tersebut lantaran kendala anggaran yang tidak cukup dan tidak ditemukannya barang bukti yang cukup kuat.

Sepanjang 2020, PPATK menghasilkan 442 hasil analisis, 336 informasi dan 20 hasil pemeriksaan. Keseluruhan produk PPATK tersebut telah disampaikan kepada penegak hukum terkait untuk ditindaklanjuti. Mayoritas terkait dengan tindak pidana korupsi, pajak, pendanaan teroris, penipuan, narkotika, dan penggelapan.

Kontribusi data PPATK terhadap penerimaan negara dalam rangka pengampunan pajak sebesar Rp2,205 triliun. Sedangkan kontribusi hasil analisis dan pemeriksaan PPATK dalam peningkatan penerimaan pajak negara sebesar Rp180,9 miliar. [WIS]