Biaya Penanganan COVID-19 Lebih Sepertiga APBN 2020

Ilustrasi: Menkeu Sri Mulyani Indrawati/kemenkeu.go.id

Koran Sulindo – Kementerian Keuangan menyatakan total biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi pandemi COVID-19 mencapai Rp677,2 triliun. Besaran itu sekitar sepertiga penerimaan negara dalam revisi APBN 2020.

“Biaya penanganan COVID-19 yang akan tertuang dalam revisi Perpres adalah diidentifikasikan sebesar Rp677,2 triliun,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, usai mengikuti rapat terbatas dengan tema “Penetapan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Perubahan Postur APBN Tahun 2020” yang dipimpin Presiden Joko Widodo melalui “video conference”, di Jakarta, Rabu (3/6/2020).

Menkeu Sri Mulyani juga mengatakan pendapatan negara dikoreksi turun ke angka Rp1.699,1 triliun dalam postur APBN 2020.

“Pendapatan negara dikoreksi tadinya Perpres menyebutkan Rp1.769 triliun akan mengalami penurunan ke Rp1.699,1 triliun,” kata Menkeu.

Pada 7 April 2020 lalu, Kemenkeu menyatakan penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBBN) 2020 sebesar Rp1.760,9 triliun. Nilai ini turun dari perkiraan APBN sebelumnya yang sebesar Rp2.233,2 triliun.

Presiden Jokowi menandatangani Perpres No. 50 Tahun 2020, yang menjadi aturan turunan yang memuat perubahan postur dan rincian APBN 2020, sebagai turunan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang terbit sebagai antisipasi pandemi Corona atau Covid-19. Dalam perpres itu, pemerintah resmi mengubah postur APBN 2020.

“Outlook penerimaan negara bukannya tumbuh melainkan kontraksi. Pendapatan negara hanya mencapai Rp1.760,9 triliun, turun 10 persen,” kata Sri Mulyani, dalam rapat virtual bersama Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Senin (7/4/2020).

Detil Biaya

Detil biaya penanganan Covid-19 itu adalah dari bidang kesehatan sebesar Rp87,55 triliun termasuk di dalamnya untuk belanja penanganan COVID-19, tenaga medis, santunan kematian, bantuan iuran untuk jaminan kesehatan nasional, pembiayaan gugus tugas, dan insentif perpajakan di bidang kesehatan.

Kedua, untuk perlindungan sosial yang menyangkut Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, bantuan sosial (bansos) untuk Jabodetabek, bansos non-Jabodetabek, Kartu Pra Kerja, diskon listrik yang diperpanjang menjadi enam bulan, dan logistik untuk sembako serta Bantuan Langsung Tunai (BLT) dana desa senilai total Rp203,9 triliun.

Ketiga, dukungan kepada UMKM dalam bentuk subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi dan mendukung modal kerja bagi UMKM yang pinjamannya sampai Rp10 miliar serta belanja untuk penjaminan terhadap kredit modal kerja darurat.

“Kalau pakai kata-kata Presiden, kredit modal kerja yang diberikan untuk UMKM di bawah Rp10 miliar pinjamannya. Itu dukungan di dalam APBN mencakup Rp123,46 triliun,” kata Sri Mulyani.

Keempat, untuk insentif dunia usaha agar mereka mampu bertahan dengan melakukan relaksasi di bidang perpajakan dan stimulus lainnya mencapai Rp120,61 triliun.

“Kelima bidang pembiayaan dan korporasi termasuk di dalamnya adalah PMN, penalangan untuk kredit modal kerja darurat untuk non-UMKM padat karya, serta belanja untuk premi risiko bagi kredit modal kerja bagi industri padat karya yang pinjamannya Rp10 miliar-Rp1 triliun,” katanya.

Pembiayaan itu termasuk penjaminan untuk beberapa BUMN, dana talangan sebesar Rp44,57 triliun. Instansi yangmasuk kategori pembiayaan korporasi termasuk BUMN, korporasi padat karya di atas Rp10 miliar-Rp1 triliun dan untuk non padat karya.

Keenam, dukungan untuk sektoral maupun kementerian/lembaga serta pemerintah daerah yang mencapai Rp97,11 triliun.

“Jadi total penanganan COVID-19 adalah Rp 677,2 triliun,” kata Menkeu.

Pertumbuhan Ekonomi juga Turun

Pemerintah juga memperlebar defisit anggaran menjadi 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp1.039,2 triliun pada Rancangan APBN-Perubahan 2020, dari asumsi sebelumnya sebesar 5,07 persen PDB atau Rp852,9 triliun. Alasannya emerintah membutuhkan belanja yang lebih besar untuk menangani COVID-19 dan untuk mempercepat pemulihan ekonomi.

Sementara itu walau pendapatan terus turun, pemerintah harus meningkatkan belanja negara menjadi Rp2.738,4 triliun dari Rp2.613,8 triliun.

“Untuk menampung berbagai belanja pemulihan ekonomi dan penanganan COVID-19 termasuk untuk daerah dan sektoral,” kata Menkeu Sri.

Dengan perubahan postur instrumen fiskal tersebut, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2020 masih mampu mencapai 2,3 persen. Namun terdapat skenario jika tekanan ekonomi terus terjadi, pertumbuhan ekonomi domestik bisa terkontraksi jaug lebih dalam dibanding kuartal I 2020 yang hanya tumbuh 2,97 persen (yoy).

“Untuk prediksi pertumbuhan 2020, seperti saya sampaikan, pemerintah menggunakan tetap ‘baseline’ antara 2,3 persen hingga -0,4 persen, namun dari sisi kuartal, kemungkinan kuartal II akan lebih berat,” kata Sri Mulyani. [RED]