BI Versus OJK

Ilustrasi wacana pengawasan perbankan ke BI atau OJK/Istimewa

Koran Sulindo – Akhir-akhir ini kita diributkan oleh ingar-bingar isu untuk mengembalikan fungsi pengawasan industri perbankan oleh OJK dikembalikan lagi ke BI. Begitu kuatnya isu ini hingga terkadang sampai kata-kata yang cenderung vulgar pun keluar di sini.

Untuk masyarakat yang baru mengikuti sekarang, kelihatannya wajar-wajar saja. Tapi, untuk saya yang sejak awal mengikuti bahkan membidani kelahiran OJK, saya melihatnya tidak sehat. Mengapa tidak sehat? Karena sejak awalnya sudah timbul kontroversi yang sangat besar, yang menolak pemindahan wewenang pengawasan perbankan itu.

Sepertinya dilupakan dasar pemikiran pemindahan pengawasan itu dari BI ke OJK. Ada banyak hal di sana. Pertama, adalah pemikiran internasional, baik IMF, Bank Dunia, maupun lembaga lain yang menyatakan sebaiknya bank sentral itu hanya mengurus makro ekonomi dalam hal ini adalah masalah nilai tukar, pertumbuhan, inflasi. Yang lain-lain diserahkan ke industri. Apalagi mengingat krisis terbesar yang pernah kita alami, krisis moneter (Krismon) 1997-1998 itu lebih disebabkan oleh ketidakmampuan BI, walau banyak pihak lain yang juga terlibat. Sehingga muncullah pemikiran ini dan pemerintah menyiapkan rancangan undang-undangnya.

Masyarakat kita cepat lupa bahwa pengawasan itu dicabut dari BI dan diberikan ke OJK karena kapabilitas BI yang inproper. Ingat, krisis terbesar yang dialami Indonesia pada 1997 hingga 1998, sumber atau hulunya berasal dari BI. Kok sekarang pengawasan akan diberikan ke BI lagi? Apakah BI suatu lembaga yang super?

Saat awalnya kelahiran OJK sudah banyak masalah. Saya muncul di tengah-tengah sebagai Ketua Komisi Keuangan DPR. Saya melihat beberapa kejanggalan dalam pembahasannya, di mana sudah hampir dipastikan akan ditolak pembentukannya. Anggota DPR mayoritas sudah menolak.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa pembahasan RUU ini di DPR luar biasa ketatnya. Akhirnya pembahasan RUU OJK ditunda hingga 6 tahun, dari 2004 dipindah ke tahun 2010. Selama masa penundaan it uterus muncul berbagai upaya untuk menggagalkan proses pembahasan OJK itu. Yang paling keras adalah Proyek Diseminasi yang dikerjakan BI dan beberapa anggota DPR saat itu. Proyek ini menjalar ke ranah hukum.

Saya sebagai Ketua Komisi Keuangan di DPR kala itu, yang turut membidani kelahiran OJK, tetap merasa nuansa-nuansa yang tidak bersimpati pada OJK. Saya mengerti cukup wajar kawan-kawan BI berkecil hati melihat pindahnya wewenang pengawasan perbankan ke instansi lain. Kita akui BI memiliki pegawai intelektual dan integritasnya tinggi, dan mereka terus-menerus mendapat tambahan pendidikan. Rata-rata pegawai BI memiliki nalar yang tinggi, walau tak mau dikatakan istimewa.

Akan tetapi, hal seperti itu itu juga akan melahirkan esprit de corps (jiwa korsa) yang tinggi, sehingga bisa menimbulkan arogansi lembaga. Ini penyakit dan masyarakat tidak boleh lupa itu.

Terlepas dari wacana tersebut, krisis keuangan ketika OJK sudah eksis, tidaklah separah zaman BI dulu. Kita masih ingat waktu masih di bawah BI: Krismon 1997-1998, krisis Bank Bali, Bank Century. Sejak ada OJK tak ada lagi bank yang perlu di-bailout.

Jadi kalau sekarang belum apa-apa, kewenangan OJK itu mau dikembalikan lagi ke BI, itu menunjukkan betapa kekanak-kanakannya kita. Belum lama, kok sudah lupa.

Kita lihat sekarang memang ada beberapa bank yang mengalami kesulitan, tapi belum ada bank yang gagal bayar seperti Bank Century, ini bank terakhir yang terjadi saat kewenangan pengawasan masih di tangan BI. Yang akhirnya menjalar juga ke ranah hukum. Saat ini tidak sampai sejauh itu. Yang penting sekarang adalah perbaiki terus sistemnya, tingkatkan terus standar operasi pengawasan, dan latih terus petugas-petugasnya.

Jangan sampai dipindahkan. Bukan apa-apa, orang-orang yang mengisi OJK notabene lebih separuhnya adalah orang-orang BI juga. Masak iya kita hanya main pindah-pindahkan begini. Belum lagi proses sosialisasinya, proses adaptasinya, pasti akan memakan waktu paling tidak 1 hingga 2 tahun.

Apalagi OJK dibentuk berdasarkan UU, apa kita harus memaksa Presiden menerbitkan Perppu untuk hal ini? Hasilnya pasti hanyalah kontroversi, debat, dan polemik di masyarakat. Dalam situasi pandemi Covid-19 seperti yang sekarang kita alami, rasanya juga tidak elok nasib perbankan nasional kalau dipindah-pindah terus pengawasannya.

Sudahlah, pengawasan industri keuangan dan perbankan biarkan tetap mutlak di tangan OJK. Entahlah kalau 10 atau 20 tahun lagi mau diubah lagi. Tapi, sepanjang OJK terus meningkatkan kapabilitasnya dan kinerjanya, saya yakin OJK akan makin baik, dan kita bisa mempercayakan pengawasan perbankan ini ke OJK, dan BI biarlah mengendalikan makro ekonomi secara penuh.

Saya melihat hingga hari ini OJK baik untuk bangsa ini. janganlah diubah-ubah dengan seenaknya. [Emir Moeis]