Koran Sulindo – Ada 5.000 buah durian akan dibagikan gratis pada Festival Murakadu, yang untuk pertama kalinya akan digelar di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pada 15 Januari 2019. Semua duriannya dari jenis durian lokal. Siapa saja boleh datang, bukan hanya warga Banten.
“Kami sediakan lima ribu durian gratis yang didatangkan dari delapan kecamatan penghasil durian di Kabupaten Lebak. Ini juga sebagai momen untuk menggairahkan wisata pada awal tahun 2019,” ungkap Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kabupaten Lebak, Imam Rismahayadin, Jumat lalu (11/1), seperti dikutip banyak media lokal.
Festival ini juga digelar sebagai ungkapan syukur atas pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak periode 2019-2024. Juga sebagai perayaan keberhasilan Kabupaten Lebak meraih Piala Adipura.
Rencananya, festival itu akan digelar di Pendopo Kabupaten Lebak mulai pukul 15.00 WIB. Selain durian gratis, juga akan digelar pameran durian lokal unggulan Kabupaten Lebak. “Festival ini kami manfaatkan sebagai ajang unjuk gigi durian lokal. Kami akan tunjukkan pada pengunjung, Kabupaten Lebak punya banyak jenis durian unggul,” tutur Imam lagi.
Di Lebak setidaknya ada 10 varietas durian unggul. Salah satunya adalah durian jenis bungbulang, yang beratnya bisa mencapai 12 kilogram. Juga ada jenis durian yang diberi nama durian aseupan.
Di Lebak, tepatnya di Rangkasbitung, juga ada Museum Multatuli, yang baru diresmikan oleh Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid pada 11 Februari 2018 lalu. Museum ini menempati gedung kuno yang dibangun pada 1923.
Awalnya, gedung itu merupakan kantor sekaligus kediaman Wedana Lebak. Di gedung yang berbentuk huruf “T” ini ada pendopo yang digunakan sebagai tempat pertemuan.
Ada tujuh ruang pamer di museum ini, yang setiap ruangnya mewakili periode di dalam sejarah kolonialisme. Inilah museum anti-kolonial pertama di Indonesia.
Tema museum ini, menurut Hilmar Farid, berperan mengisi kekosongan yang selama ini belum ada di museum-museum lain. Museum ini juga tempat belajar sejarah yang mengasyikan buat anak-anak. Jadi, Museum Multatuli bukan hanya mengabadikan kisah pribadi Eduard Douwes Dekker atau Multatulis, penulis Max Havelaar.
Pada ruang pertama museum ini, yang juga menjadi lobi, pengunjung bisa menyaksikan hiasan wajah Multatuli yang terbuat dari kepingan kaca serta kalimat kutipan Multatuli yang tenar: “Tugas Seorang Manusia Adalah Menjadi Manusia”. Sementara itu, di ruang kedua ditampilkan kisah masa awal kedatangan penjelajah Eropa ke Nusantara.
Ruang ketiga berisi periode tanam paksa, dengan fokus pada budidaya kopi. Ruang keempat bertema Ruang Multatuli dan pengaruhnya kepada para tokoh gerakan kemerdekaan. Ruang kelima memaparkan gerakan perlawanan rakyat Banten dan kemudian gerakan pembebasan Indonesia dari penjajah Belanda. Ruang Keenam: kronologi peristiwa penting di Lebak dan era purbakala. Ruang ketujuh berisi foto mereka yang pernah lahir, menetap, serta terinspirasi dari Lebak.
Museum Multatuli juga sudah menggunakan multimedia untuk penyampaian informasinya, baik dalam bentuk podcast maupun video, yang diputar pada layar monitor. Di ruang empat terdapat video singkat mengenai Multatuli, yang antara lain berisi wawancara dengan sastrawan terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Juga ada layar monitor di ruang enam dan tujuh, yang masing-masing mengisahkan tentang sejarah Lebak serta klip singkat tentang tokoh-tokoh yang lahir dan pernah singgah di Rangkasbitung. Di ruangan tujuh juga bisa didengar rekaman suara penyair Rendra yang membacakan sajak “Demi Orang-Orang Rangkasbitung”.
Di museum ini juga ada artifak asli, seperti ubin rumah Asisten Residen Lebak yang juga pernah ditempati Multatuli, yang bertugas sejak 22 Januari sampai dengan April 1856. Ubin ini, bersama dengan satu ubin lain yang berwarna hitam, sempat berada di Belanda.
Pada tahun 1987, seorang jurufoto dan wartawan Belanda, Arjan Onderdenwijngard, datang ke Rangkasbitung untuk perjalanan jurnalistik menelusuri jejak Multatuli. Dia menemukan dua ubin itu tak jauh dari reruntuhan rumah Multatuli dan menyelamatkannya ke Belanda. Lalu, tahun 2016 lalu, Multatuli Genootschap menyerahkan ubin tersebut kepada Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dalam sebuah perhelatan di Amsterdam, Belanda. Akan halnya satu ubin berwarna hitam kini tersimpan di Multatuli Huis, Amsterdam. Ada juga koin kuno dari tahun 1857 dan alat giling kopi kuno.
Yang juga dipamerkan di Museum Multatuli adalah dua surat penting, yakni surat Eduard Douwes Dekker untuk Raja Willem III dan surat Soekarno kepada sahabatnya Samuel Koperberg. Surat Eduard Douwes Dekker kepada Raja Belanda Willem III berisi atas situasi di tanah jajahan yang pernah ia alami dan pemberitahuan perihal naskah buku Max Havelaar yang akan terbit. Douwes Dekker juga memohon Raja Willem III memberikan perhatian lebih kepada Hindia Belanda, yang dikelola seenak-enaknya dan merugikan rakyatnya.
Akan halnya surat Bung Karno kepada Samuel Koperberg, Sekretaris Java Instituut, dikirim dari pembuangannya di Ende, Nusa Tenggara Timur. Kepada Samuel Koperberg, yang juga salah satu tokoh dalam kepengurusan Indische Sociaal-Democratishe Partij (ISDP, pecahan ISDV), Bung Karno menceritakan kondisi di Ende yang sepi, dengan jalan yang berdebu dan hawa yang panas. Surat ini bertanggal 27 September 1935. [PUR]