Merebaknya kasus penganiayaan yang dilakukan pemuda pengendara Jeep Rubicon bernama Mario Dandy terhadap pemuda usia 17 tahun berbuntut sorotan publik pada para pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Terkuak kemudian bahwa ayah pelaku penganiayaan itu adalah Rafael Alun Trisambodo salah seorang pejabat dirjen pajak berpangkat Eselon III dengan kekayaan berlimpah. Bahkan diduga memiliki banyak asset yang tidak terdaftar dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) termasuk mobil Rubicon yang sering dipamerkan anaknya.
Kecurigaan publik terhadap pejabat pajak itu semakin kuat setelah tersingkap gaya hidup mewah keluarganya dan besarnya aset yang dimiliki Rafael Alun mulai dari belasan properti yang tersebar hingga koleksi kendaraan mewah.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyebut profil Rafael yang merupakan eselon III tak cocok dengan harta yang tercatat di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebesar Rp56,1 miliar.
“Dalam kasus pejabat pajak ini, kita bilang profilnya enggak match (cocok). Dia eselon III, kalau di-announcement dilihat detail isinya gitu banyak aset ya, aset diam,” kata Pahala, Kamis (23/2).
Pahala mengatakan pihaknya masih menelusuri harta yang dimiliki Rafael terkait aset-aset lain yang belum dilaporkan kepada KPK. Menurutnya, orang yang memiliki hobi mengumpulkan aset berpotensi menyimpan hartanya dengan mengatasnamakan keluarga.
“Kalau orang yang hobby aset biasanya ada aset lain. Kita mau cek ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) baik nama dia, anak istri, atau mungkin mengatasnamakan orang lain di kartu keluarganya,” ujarnya.
Kekayaan mencurigakan
Petugas pajak dengan kekayaan berlimpah sudah menjadi rahasia umum baik itu didapat dari gaji, tunjangan bahkan dari tindakan kriminal seperti suap, gratifikasi ataupun pemerasan kepada wajib pajak.
Masih kental dalam ingatan masyarakat bagaimana pegawai pajak Gayus Tambunan Pegawai Ditjen pajak golongan III A itu terlibat dengan sejumlah kasus mafia pajak dan memiliki harta hingga puluhan miliar. Padahal Gayus ketika itu baru berusia 31 tahun, dan sebagai pegawai ditjen pajak yang belum genap 10 tahun bekerja.
Total uang yang disita negara dari Gayus mencapai Rp 74 miliar yang terdiri atas berbagai rekening dan deposito. Ia juga memiliki sejumlah aset berupa mobil Honda Jazz, Ford Everest, rumah di Gading Park View, Kelapa Gading, Jakarta Utara, dan 31 batang emas masing-masing 100 gram yang juga diperintahkan hakim untuk disita negara. Kasus itu berujung vonis kumulatif 29 tahun penjara bagi Gayus Tambunan.
Dapat dibayangkan, jika pegawai pajak level rendah sepeti Gayus memiliki kemampuan meraup harta ratusan miliar rupiah dengan memanfaatkan kedudukannya di kantor pajak, lalu sedashyat apa pula kemampuan pejabat Eselon III seperti Rafael Alun yang memiliki kewenangan jauh lebih besar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan harta Rp56 miliar milik pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Rafael Alun Trisambodo “sudah dicurigai sejak lama”.
Tapi ia menyesalkan “tidak ada tindakan konkret yang dilakukan sejumlah pihak yang dilapori harta itu”.
Sementara itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengeklaim sudah lama mendeteksi adanya transaksi mencurigakan pejabat pajak Rafael dan telah menyampaikan hasil analisa itu kepada KPK, Kejaksaan Agung, dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
Sedangkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD meminta KPK membuka pemeriksaan mereka atas temuan PPATK terkait harta Rafael.
“Bila itu terjadi, kalau benar, sekali lagi kalau benar LHKPN, itu tidak masuk akal, supaya diselidiki. Kalau ada tindak pidana, jangan pandang bulu karena kalau sudah mundur, itu ditutup tidak bisa,” ujar Mahfud.
Tidak patut
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan bahwa proses pemeriksaan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo terkait kepemilikan harta yang tergolong jumbo masih terus dilakukan oleh Inspektorat Jenderal (Itjen).
Menurut dia, hal itu sesuai dengan instruksinya beberapa waktu lalu soal pencopotan jabatan Rafael Alun sekaligus perintah untuk menelisik kekayaan yang didapatkan.
Selain itu Menkeu juga menyebut gaya hidup mewaah pegawai pajak melanggar azas kepatutan dan kepantasan publik. Sri Mulyani mengaku terus memantau situasi pasca-terkuaknya fenomena gaya hidup mewah pegawai pajak. Jika terus dibiarkan, maka bisa menggerus kepercayaan publik pada institusi DJP.
Salah satu contohnya adalah klub motor bernama Belasting Rijder yang menjadi wadah perkumpulan penyuka motor para pegawai DJP. Sri Mulyani Indrawati bahkan memerintahkan langsung pembubaran klub motor Belasting Rijder.
“Beberapa hari ini beredar di berbagai media cetak dan online foto dan berita Dirjen Pajak Suryo Utomo mengendarai motor gede (moge) bersama klub Belasting Rijder DJP yaitu komunitas pegawai pajak yang menyukai naik motor besar,” tulis Sri Mulyani di akun Instagramnya, Minggu (26/2).
Melihat fenomena klub motor dengan unggahan tunggangan mewah sebagaimana diperlihatkan Dirjen Pajak Suryo Utomo, Sri Mulyani meminta anak buahnya menjelaskan soal asal muasal kekayaannya kepada publik.
“Menyikapi pemberitaan tersebut, saya menyampaikan instruksi kepada Dirjen Pajak sebagai berikut. Jelaskan dan sampaikan kepada masyarakat/publik mengenai jumlah harta kekayaan Dirjen Pajak dan dari mana sumbernya seperti yang dilaporkan pada LHKPN,” ucap Sri Mulyani.
Menurut Menkeu meski aset didapatkan dengan cara yang halal sekalipun, sebagai PNS DJP, sebaiknya hal-hal berbau mewah tersebut tak dipertontonkan ke masyarakat yang jadi pembayar pajak.
“Bahkan apabila moge tersebut diperoleh dan dibeli dengan uang halal dan gaji resmi, mengendarai dan memamerkan moge bagi pejabat/pegawai Pajak dan Kemenkeu telah melanggar azas kepatutan dan kepantasan publik,” ujar Sri Mulyani.
Dirinya mengaku berkali-kali menegaskan, pegawai DJP maupun keluarganya dilarang mempertontonkan gaya hidup mewah, karena bisa mencederai rakyat yang menggaji mereka dengan nominal sangat tinggi. [PTM]