Berjuang menjadi Bangsa Samudra

Ilustrasi

Koran Sulindo – Malam itu sangat panas. Gerah. Namun suasana di sekitar Jalan Prapatan, tak jauh dari Tugu Tani, Jakarta, riuh. Pada 23 September 1963 itu ada perhelatan pertama dan satunya-satunya yang pernah diadakan di tanah air: Musyawarah Nasional Maritim.

Semula perhelatan itu akan digelar di Istana Negara, namun karena sedang direnovasi maka dipindahkan ke sepotong jalan pendek tak jauh dari Pasar Senen itu.

“Wah lebih meriah, lebih segar daripada kita resepsi di Istana Negara. Megap-megap karena kepanasan,” kata Presiden Soekarno, seperti dikutip dari buku “Kembalilah Mendjadi Bangsa Samudera!” (Amanat Presiden Sukarno pada Munas Maritim ke-I; Departemen Penerangan RI, 1963).

Malam itu Bung Karno didaulat menjadi Nakhoda Agung.

Barulah kemudian ia berpidato.

“Dan memang saudara-saudara, kita ini dahulu benar-benar bangsa pelaut. Bahkan bangsa kita ini sebenarnya tersebar melintasi lautan dari satu pokok asal, tersebar melintasi lautan, mendiami pulau-pulau antara Pulau Madagaskar dan Pulau Paskah dekat Amerika Selatan. Dari Madagaskar sampai ke Pulau Paskah melewati beribu-ribu mil, melewati samudera, bahari, yang amat luas sekali, di situlah bersemayam sebenarnya bangsa Indonesia.”

Bung Karno lalu mengisahkan pelayaran nenek moyang, jenis kapal, hingga adat istiadatnya yang tak bisa dilepaskan dari laut.

Kemudian Bung Karno terdengar gundah. “Kita terdesak dari pantai-pantai oleh bangsa asing yang mendiami pantai-pantai kita, kita menjadi bangsa yang hidup adem tentrem di lereng-lereng gunung, adem tentrem kadiya siniram banyu ayu sewindu lawas. Sejarah berjalan, lama-lama kita seperti kehilangan kita punya jiwa pelaut.”

Lalu seperti biasa dalam pidato-pidatonya, Bung Karno menjanjikan masa depan yang gilang-gemilang.

“Kita satu persatu, seorang demi seorang harus mengetahui bahwa indonesia, Ia tidak bisa menjadi kuat, sentausa sejahtera, jikalau kita tidak menguasai samudera, jikalau kita tidak kembali menjadi bangsa samudera, jikalau kita tidak kembali menjadi bangsa bahari, bangsa pelaut sebagaimana kita kenal pada zaman bahari.”

Sebelum Munas itu, pada 1960 Bung Karno membentuk Operasi Tertib yang ditugasi mengelilingi kawasan Indonesia dan meneliti seberapa luas lautan Republik Indonesia.

Setahun kemudian, tanggal 23 September ditetapkan menjadi Hari Maritim.

Cerita itu dikisahkan kembali oleh Wenri Wanhar, wartawan Jawa Pos yang lama ngepos di desk kelautan.

Namun sejak pemerintahan berganti ke Orde Baru. Hari Maritim diubah menjadi Hari Bahari, dan Indonesia kembali memunggungi laut.

Arus Balik

Gagasan bangsa samudera Bung Karno itu sebenarnya pernah digaungkan lagi oleh Pramudya Ananto Toer. Dalam romannya yang setebal lebih 1.000 halaman, Arus Balik, Pramudya menceritakan riwayat Kabupaten Tuban yang pernah berjaya dan menjadi pelabuhan transit dari Eropa ke India dan Cina.

Roman itu sebenarnya bagian dari proyek besar studi sejarah Nusantara yang dilakukannya sebelum ditahan pada 1965. Pram terpaksa menulis hasil risetnya semasa mendekam di Pulau Buru (1969–1979) tanpa membawa catatan apapun, hanya berdasar ingatan.

Sama seperti pidato Bung Karno, Arus Balik mengisahkan Nusantara dalam segala kemegahannya sebagai kesatuan maritim, sebagai kekuatan bahari yang jaya. Sampai akhirnya Portugis datang menjajah Malaka dan menyabotase lalu lintas perdagangan antar bangsa.

“Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal besar dibuat hanya oleh kerajaan besar, kapal kecil oleh kera­jaan kecil, menyebabkan arus tidak berge­rak lagi dari selatan ke u­tara. ‘Atas Angin’ sekarang unggul, membawa segalanya ke Jawa, termasuk kehancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita makin kecil untuk kemudian tidak mempu­nyai lagi. Semasa jaya Gajah Mada, arus ber­gerak dari selatan ke utara; segala­-galanya : kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-cita­ dan citranya – berge­rak dari Nus­an­tara di selatan ke ‘Atas ­Angin’ di utara, sebab Nus­antara bukan saja kekuatan darat tetapi juga ­ke­rajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi.”

Itulah gumaman Galeng, tokoh utama roman itu, yang akhirnya memilih kembali ke darat, menjadi agraris, dan kalah.

“Novel ini merupakan epos sejarah maritim. Sekalipun novel ini ditulis dalam bentuk novel sejarah, bukan karya sejarah, namun kita masih bisa mendapatkan data atau fakta-fakta sejarah yang masih bisa diinterpretasikan dengan cara pandang kita saat ini,” kata I.G Krisnadi, membacakan makalahnya ‘Membaca Pikiran Kemaritiman Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Arus Balik’ dalam diskusi “Laut dalam Historiografi Tradisional Sastra dan Seni.

Diskusi itu adalah bagian dari rangkaian Konferensi Nasional Sejarah (KNSS) X yang diselenggarakan di Hotel Sahid Jaya Jakarta, awal November lalu.

Acara bertema besar “Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Perspektif Sejarah”. Itu menghadirkan 100 makalah terpilih, dari 300 makalah yang masuk.

Begitu pentingnya laut dalam memajukan bangsa, Konferensi Nasional Sejarah X itu membahas laut dalam berbagai aspeknya mulai jaringan pelayaran nusantara, sistem pengetahuan dan tradisi bahari, laut dalam dinamika kekuasaan, laut dalam historiografi tradisional, sastra dan seni, berita asing tentang alam nusantara dalam peralihan zaman, dinamika antar daerah dan negara, dan pemikiran pendidikan dan pengajaran sejarah.

Hasilnya diharap menelurkan konsep maritim yang akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.

Konsep maritim ini benar-benar dilupakan pada masa pemerintahan Jenderal Soeharto, hingga Jokowi datang dua tahun lalu.

Setelah ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014, pasangan Jokowi-JK langsung menuju Pelabuhan Sunda Kelapa dan berpidato di atas kapal Phinisi Hati Buana Setia.

“Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya.”

Simbolisasi Phinisi dengan kesadaran untuk membawa kapal bangsa Indonesia yang selama ini sandar di darat kembali ke laut.

Tol Laut

Permukaan bumi yang ditempati Indonesia biasanya diberi nama negeri kepulauan, seolah memberikan gambaran ”pulau-pulau yang dikelilingi air”. Padahal sejatinya adalah ”perairan yang bertaburkan pulau-pulau”. Sebutan ”tanah air” yang dikukuhkan oleh Sumpah Pemuda 1928 tepat sekali mengingat luas lautan merupakan 75 persen dari keseluruhan wilayah nasional Indonesia. Daoed Joesoef dalam artikelnya di harian Kompas (26 November 2012), “Geopolitik Indonesia”, mengatakan kita perlu menyadari kondisi keberadaan Indonesia di bumi. Dan Indonesia setepatnya bukan ”negara kepulauan”, tetapi ”negara maritim”.

Nenek moyang Indonesia membuktikan sudah bersemangat dan berbudaya maritim. Menurut Daoed, Sriwijaya di abad VIII adalah kerajaan maritim yang, armadanya tangguh, mendominasi perniagaan laut dan menjamin jalur-jalur pelayaran yang melintas di wilayah kekuasaannya.

Majapahit di abad XIV, walaupun kehidupan utama rakyatnya berdasarkan pertanian di darat, membangun armada dagang dan armada perang demi menjamin keefektifan kekuasaannya.

Aceh abad XVI, semasa pemerintahan Sultan Alauddin Riayatsyah Saidil Muka- mal, telah membentuk armada perang sebanyak seratus kapal. Di bawah pimpinan Laksamana Malahayati, sebagian dari kapal-kapal itu berhasil menumpas armada Portugis, yang ketika itu menguasai Malaka.

“Kita juga mengenal tokoh-tokoh legendaris kepahlawanan di laut dari kerajaan maritim di Riau: Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Kesturi,” tulis Daoed Joesoef.

Ketika Belanda menguasai Indonesia di abad XVIII melalui politik divide et impera, upaya mematikan jati diri Indonesia sebagai bangsa maritim menjadi agenda kolonialnya yang utama. Penjajah ini membatasi akses penduduk pribumi berhubungan dengan laut. Belanda melarang anak bangsa berniaga dengan bangsa lain kecuali Belanda.

Bung Karno yang gemar mendalami sejarah menghayati natur kemaritiman Indonesia.

Bapak Bangsa itu memerintahkan Perdana Menteri Djuanda membuat Deklarasi Wawasan Nusantara pada 13 Desember 1957 dan mulai memperjuangkan di forum internasional asas ”archipelago Indonesia”, bersendikan Konvensi PBB 1958 tentang batas landas kontinen melalui the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Bung Karno juga menunjuk Ali Sadikin sebagai Menteri Koordinator Maritim dengan tugas membangun Laut Nusantara yang begitu luas sebagai pilar utama penggerak perekonomian nasional.

Baru pada 1982 UNCLOS mengakui kepemilikan laut Indonesia seluas 5,8 juta kilometer persegi—sekitar 75 persen dari luas total wilayah nasional—yang terdiri atas wilayah teritorial seluas 3,2 juta kilometer persegi dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 kilometer persegi.

Walaupun ketentuan internasional sudah diratifikasi dan mulai berlaku tahun 1994, sekitar 70 persen ZEE Indonesia belum disepakati negara-negara tetangga. Persepakatan di meja perundingan sulit dicapai berhubung pemerintah kita sendiri kurang serius dan lawan berunding tahu persis Indonesia tidak memiliki kekuatan laut riil sebagai pendukung perundingan.

Ketidakseriusan pemerintah tecermin pada insiden Gugus Tempur Kapal Induk USS Carl Vinson Juli 2003 di perairan Bawean, lepasnya pulau-pulau terluar Sipadan dan Ligitan, serta pembiaran pengerukan pulau perbatasan bagi keperluan Singapura memperluas daratannya.

Selain ini sejak rezim Orba, semua pemerintahan di era reformasi tetap bangga melaksanakan land based oriented development yang dipandu Bank Dunia dan IMF.

“Pemimpin kita ”dipangku” oleh ide ekonomi liberal hingga ”mati” kesadaran nasionalnya,” tulis Daod Joesoef.

Lalu bagaimana pemerintahan Jokowi setelah 2 tahun ini?

Ahli Hukum Laut Internasional Hasjim Djalal yang menjadi pembicara kunci pada konferensi itu mengatakan Indonesia harus melihat laut bukan hanya dari batas-batas luarnya saja.

“Kita harus memiliki visi kelautan dari berbagai arah, yaitu ke samping tentang batasan-batasan, ke bawah tentang dasar laut, dan ke atas tentang udara. Kita memiliki hak dan kewajiban mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di kawasan samudera kita,” kata Hasyim.

Di dalam laut, juga banyak kekayaan alam dan ragam mineral di dasar laut yang sampai sekarang belum dilihat dan dimanfaatkan.

Dalam soal itu Jokowi memang belum banyak berbuat. Namun soal pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan dan bandar udara, tukang mebel dari Solo ini sudah lumayan berbuat banyak.

Menurut situs sekertaris kabinet (setkab.go.id), hingga awal 2016 telah selesai dibangun 27 pelabuhan laut. Pemerintah juga telah selesai membangun 4 Pelabuhan Penyeberangan, 7 Bandara Baru, dan 12 Bandara Pemugaran. Selain itu juga 68 pelabuhan laut yang tersebar di Maluku, Papua, NTT, dan Sulawesi.

“Pelabuhan-pelabuhan itu dibangun, selain untuk angkutan penumpang juga untuk mempermudah angkutan barang,” kata Presiden Jokowi.

Program tol laut untuk transportasi disebutnya juga sudah memiliki jadwal yang tetap dengan armada yang terus ditambah.

Tol laut mempermudah perpindahan individu serta pengiriman logistik sehingga dapat menurunkan harga-harga sembako. Dan memang sudah terjadi penurunan harga beberapa sembako karena program tol laut tersebut.

Selain itu, pencurian ikan ilegal juga sudah jauh berkurang setelah program pemberantasan penangkapan ikan ilegal yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kini kapal asing pencuri ikan tak mudah lagi melenggang masuk Indonesia.

“Kita lihat dalam hampir dua tahun ini, seingat saya sudah 236 kapal yang ditenggelamkan oleh Menteri Susi dan sekarang memang orang mikir mau mencuri ikan di perairan Indonesia, mikir seribu kali,” kata presiden.

Kekuatan Angkatan Laut Indonesia memang pas-pasan, dan tak mampu keluar lebih jauh dari batas-batas laut terluar Indonesia, tapi untuk menyerang kapal negara lain yang masuk tanpa izin ke wilayah tanah air, selama ini terbukti berhasil.

Masih ada 3 tahun lagi buat Jokowi untuk membuktikan janjinya tidak memunggungi laut walau di daratan kini ia sedang menghadapi masalah tak kecil, yang seolah ingin mengganggu Jokowi menengok samudera. [Noor Yanto/Didit Sidarta]