Ilustrasi/istimewa

Jumlah generasi milenial hampir separuh penduduk Indonesia. Sumber daya yang luar biasa.

Koran Sulindo – Juni 1948 itu adalah kali pertama Presiden pertama Republik Indonesia itu berkunjung ke Aceh. Negeri baru yang dipimpinnya belum juga genap 3 tahun merdeka dan bekas penjajah sudah berada di gerbang untuk kembali menginjakkan kakinya.

Di sela-sela kunjungan itu Presiden Soekarno menyempatkan diri memberi kursus politik (kurpol) kepada para pemuda-pemudi di Atjeh Bioskop (lalu berganti nama menjadi Bioskop Garuda), Kutaraja (kini Banda Aceh), pada 16 Juni 1948, pukul 21.00 WIB.

Malam itu ribuan pemuda memadati gedung pemutaran film itu, konon hingga 800 orang di dalam bioskop. Para pemuda yang hadir meluap hingga ke lapangan Blang Padang dan hanya bisa berpuas diri mendengarkan lewat pengeras suara.

Kurpol itu hanya berlangsung singkat. Hari itu, sebelumnya, Bung Karno yang mendarat pukul 12.45 WIB itu sudah berpidato di 2 tempat lain dengan audiens yang lebih beragam. Tapi kini berjibun ratusan orang anak muda yang bersemangat duduk dan berdiri di hadapannya. Ia membuka pidatonya dengan memanggil para pemuda itu sebagai “anak-anakku sekalian”, lalu mengutip penyair Amerika Serikat, Ralph Waldo Emerson, “Pasanglah engkau punya cita-cita setinggi bintang di langit.”

“Pemuda yang tidak bercita-cita bukan pemuda, tetapi pemuda yang sudah mati sebelum mati.” Bung Karno meneruskan.

Setelah itu Presiden yang 10 hari sebelumnya memasuki usia 47 tahun tersebut membentangkan mimpinya untuk Indonesia di hadapan anak-anak muda Aceh yang bergelora itu.

“Kalau negara nasional ini selamat terpelihara oleh ketabahan kita, 25 tahun lagi, Insya Allah, jika kalender menyatakan tahun 1975, aku bercita-cita…di dalam tahun 1975 di dalam tiap-tiap rumah Indonesia, walaupun rumah di puncak gunung, akan menyala lampu listrik.”

Bung Karno juga bercita-cita tentang kereta api yang bersimpang siur memenuhi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Tiap-tiap rumah tangga di Indonesia punya radio, sehingga tiap manusia Indonesia bisa menyimak kabar tanah air dan dunia.
Cita-cita besar bak gelombang laut yang dahsyat. Tidak seorang pun bisa menghentikannya.

Bung Karno menutup pidatonya dengan kalimat yang kelak akan sering dikutip ini: “Berikan padaku 1.000 orang tua, 10.000 orang tua, 100.000 orang tua, 1 milyun orang tua, Aku bisa memindahkan Pulau Weh ke daerah Tanah Jawa. Tetapi berikan padaku 1.000 pemuda, 10 pemuda, tetapi yang hatinya betul-betul berkobar dengan api kemerdekaan, dengan 10 pemuda itu aku menggemparkan seluruh dunia.”

Negeri Pemuda
Setelah 72 tahun Bung Karno ke Kutaraja itu, Aceh berubah banyak, demikian pula Indonesia. Perubahan yang paling penting, terutama, adalah negeri ini kini hampir separuh penduduknya berusia muda, golongan yang diseru Bung Karno akan menggemparkan seluruh dunia.

Kini penduduk Indonesia sekitar 40 persennya tersusun dari anak muda yang lahir di antara 1980-an hingga 2000-an itu. Merujuk data 2015, jumlah penduduk Indonesia yang saat itu mencapai 255 juta jiwa, sebanyak 81 juta di antaranya masuk kategori generasi ini.

Peneliti sosial sering mengelompokkan generasi ini sebagai generasi millennial, yaitu mereka yang saat ini berusia di kisaran 15 hingga 34 tahun. Pembagiannya seperti ini: generasi X (1965-1976), generasi Y (1977-1997), dan generasi Z (1998-sekarang).

Mereka lebih akrab dengan dunia maya, khususnya penggunaan media sosial. Mereka terlahir di masa ketika televisi sudah berwarna, telepon seluler sudah hal yang biasa, dan internet sudah hadir ketika mereka mulai bisa berbicara.

Generasi ini dikenal cerdas, kreatif, multitasking, techno savvy, dan segudang kecakapan nonkonvensional lainnya. Berbagai kecakapan yang diperoleh dari zaman yang berlimpah ruah kini.

Dibanding generasi sebelumnya, millennial memang unik, yang mencolok adalah soal penggunaan teknologi dan budaya pop. Generasi ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi terutama internet, yang sudah menjadi kebutuhan pokoknya.

Mereka dielu-elukan menjadi juru selamat di masa mendatang di saat dunia masuk Revolusi Industri 4.0; dan yang jelas suara mereka sangat besar untuk menentukan siapa pemenang dalam pemilihan presiden 2019 nanti, misalnya.

Generasi Millennial adalah aktor utama Indonesia masa kini dan masa depan, secara jumlah mereka memiliki jumlah terbesar dan sudah melampaui jumlah generasi-generasi sebelumnya.

Anak milenial cenderung patuh pada pimpinan. Sebuah kajian terhadap 25.000 orang di 22 negara menunjukkan jumlah milenial yang beranggapan demikian ada 41%.

Apakah ada cara yang menunjukkan bahwa milenial berbeda dari generasi lain? Berbagai studi menunjukkan generasi ini telah menjadi lebih metropolitan, berpendidikan lebih baik dan lebih beragam secara etnik; mereka cenderung tidak berpartisipasi dalam agama yang terorganisir dan tidak menyukai politik.

Pilihan Politik
Karena lahir di era teknologi, generasi ini kurang peduli dengan keadaan sekitar termasuk politik. Mereka pada umumnya apatis bahkan menganggap politik adalah dunia nista.

Di tahun-tahun politik ini, bagaimanapun generasi milenial adalah topik yang terlalu sayang untuk ditinggalkan. Juga karena jumlahnya yang begitu besar, mereka sudah pasti akan sangat berpengaruh terhadap konstelasi politik masa depan, hingga ke para pemimpin yang akan mereka pilih.

Ilustrasi/referensidesainkeren blogspot com

Dalam perhelatan politik, terutama pilkada serentak 2018 lalu dan pemilu 2019 nanti, generasi milenial selalu dianggap pemilih potensial (voter) yang sangat berpotensi sebagai agen perubahan.

Menurut Paulus Mujiran dalam Membaca Pilihan Politik Generasi Milenial (id.beritasatu.com, 23 April 2018), mereka disebut lebih melek teknologi tetapi cenderung apolitis terhadap politik. Mereka tidak loyal kepada partai, sulit tunduk dan patuh instruksi.

Generasi milenial cenderung tidak mudah percaya pada elite politik, terutama yang terjerat korupsi dan mempermainkan isu negatif di media sosial.

Generasi milenial cenderung berubah-ubah dalam memberikan hak politiknya. Mereka cenderung lebih rasional, menyukai perubahan dan antikemapanan. Mereka cenderung menyalurkan hak politik kepada partai yang menyentuh kepentingan dan aspirasi mereka sebagai generasi muda.

Generasi milenial adalah satu-satunya generasi yang disebut “digital native”, lahir dan tumbuh berbarengan dengan berkembangnya teknologi. Generasi ini lebih berpendidikan, terbuka pada perubahan terutama pada perubahan iklim, hingga kebijakan pelayanan kesehatan. Mereka menggunakan media sosial dan internet untuk berkomunikasi yang selangkah lebih maju dari generasi sebelumnya.

Sebagai bagian dari perjalanan berbangsa dan bernegara, generasi milenial menjadi bagian dari anak bangsa yang penting. Selain mereka kelak akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ini, populasi mereka yang besar tidak dapat diabaikan dalam perhelatan pilkada dan pemilu.

Agar generasi milenial melek politik dan mau terlibat dalam kehidupan politik, mereka harus mendapatkan pendidikan politik. Yang menjadi persoalan apakah sudah ada yang konsisten memberikan pendidikan politik kepada pemuda-pemudi masa kini tersebut?

Literasi politik dapat diberikan baik melalui media sosial maupun internet yang bersinggungan langsung dengan kaum milenial.

Mereka adalah pengawal perubahan. Mencerdaskan mereka dalam berpolitik merupakan investasi yang berharga untuk perubahan di masa depan.

Mencuri sedikit gagasan Bung Karno, “Berikan padaku 1.000 generasi mileneal, 10 generasi mileneal, tetapi yang hatinya betul-betul berkobar dengan api kemerdekaan, dengan 10 generasi mileneal itu aku menggemparkan seluruh dunia.” [Didit Sidarta]