Presiden Joko Widodo dan Presiden Donald Trump

Koran Sulindo – Perang Dagang antara Cina dan Amerika Serikat telah dimulai pada 6 Juli 2018 lalu. Amerika Serikat telah mengumpulkan tarif 818 produk impor asal Cina yang nilainya US$ 34 miliar. Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga mengancam akan ada putaran berikutnya yang menyasar produk impor dari Cina senilai lebih dari US$ 500 miliar.

Sementara itu, pihak Cina mengatakan akan melakukan pembalasan dengan memberlakukan tarif terhadap barang-barang Amerika Serikat. Juga mengambil langkah-langkah untuk membantu perusahaan-perusahaan yang terkena dampak.

Diungkapkan Perdana Menteri Cina Li Keqiang, perang dagang tidak pernah menjadi solusi. Cina tidak akan memulai perang dagang. “Tetapi jika ada pihak yang menaikkan tarif, Cina akan mengambil tindakan sebagai respons untuk melindungi kepentingan pembangunan,” katanya.

Menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, ketegangan perdagangan itu tidak hanya berdampak bagi dua negara, tapi juga terhadap perekonomian dunia. Karena, perang dagang tersebut akan menurunkan ekspor dan impor kedua negara itu.

“Kemudian merambat ke negara-negara lain,” kata Perry di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, 9 Juli 2018. Dampaknya yang akan terasa, lanjutnya, antara lain pada sektor keuangan.

Ketegangan itu diperkirakan akan menyebabkan respons kebijakan moneter di Amerika Serikat, yaitu suku bunganya lebih tinggi. Dampak lainnya: naiknya risiko di pasar keuangan.”Ini akan membuat penarikan modal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,” kata Perry lagi.

Respons yang bisa dilakukan, tambahnya, adalah memastikan keuangan dalam negeri berdaya saing. Caranya antara lain dengan menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia.

Diungkapkan Perry, pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan terus mencari cara untuk memperkuat permintaan industri dan mengendalikan defisit transaksi berjalan. Juga mengupayakan terdorongnya arus modal asing untuk masuk ke Indonesia. “Kami memastikan ekonomi Indonesia kuat stabilitasnya serta mencari terobosan baru, baik dari luar maupun dalam,” tuturnya. Yang juga dilakukan adalah mendorong pariwisata, ekspor produk berdaya saing, serta memberi relaksasi loan to value untuk mendorong permintaan dalam negeri.

Sebelumnya, Presiden Trump juga memberi peringatan kemungkinan perang dagang negaranya dengan Indonesia. Menurut dia, pemerintah Amerika Serikat tengah mengevaluasi produk asal Indonesia yang selama ini diberi perlakuan khusus.

Diinformasikan oleh Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi, Presiden Trump berencana mencabut perlakuan khusus terhadap Indonesia di bidang perdagangan. “Trump sudah memberi kita warning. Kita bicara sama dia mengenai beberapa aturan mengenai special treatment tariff yang dia kasih ke kita mau dicabut, terutama tekstil,” ungkap Sofjan di acara halalbihalal Apindo di Jakarta, 5 Juli 2018. Sofjan juga mengingatkan, Indonesia harus siap karena Amerika Serikat tidak main main dalam persoalan ini.

Indonesia memang memiliki neraca dagang yang surplus terhadap Amerika Serikat. Tapi, menurut Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, itu seharusnya tidak dijadikan alasan bagi sebuah negara untuk kemudian mendeklarasikan perang dagang dengan negara lain. Apalagi, selama ini, terdapat perbedaan penghitungan surplus-defisit di antara kedua negara.

“Untuk awal ini, kami sudah mengirimi surat. Kami sampaikan ada perbedaan angka. Hitungan kita, surplus Indonesia dari Amerika Serikat itu US$ 9 miliar, sementara mereka menghitung ada defisit sampai US$ 13 miliar. Ini harus dipastikan dulu,” kata Enggartiasto di Kementerian Perdagangan, 5 Juli juga.

Enggartiasto pun mengatakan, jika mendapat tekanan tersebut, Indonesia akan melakukan “serangan balik”. Dijelaskan Enggar, serangan balik pernah dilakukan saat sawit Indonesia diancam dilarang masuk Eropa. Ketika itu, Indonesia mengancam balik akan melarang produk Eropa masuk ke Indonesia.

Indonesia mengancam akan menghentikan impor ikan salmon dan sejumlah produk lain dari Eropa bila pemerintah di kawasan tersebut masih melarang minyak sawit Indonesia masuk. “Saya bilang, ‘Saya hentikan impor ikan Anda.’ Dia bilang, ‘Itu dari parlemen, saya pun ditekan parlemen saya.’ Kemudian menterinya datang. Katanya, pemerintah menolak. Saya bilang, bikin surat kalau itu menolak. Jadi GSP ini kita masih dalam pembicaraan untuk tidak masuk dalam watch list itu dan nanti kita akan bahas,” kata Enggar.

GSP adalah kependekan dari The Generalized System of Preferences (Sistem Preferensi Umum). GSP Indonesia kini sedang di-review pihak Amerika Serikat dan ada sekitar 124, di antaranya produk kayu lapis dan kain katun.Jika GSP dihilangkan, bea masuk ekspor produk Indonesia ke Amerika Serikat akan lebih mahal.

Enggar mengatakan, kalau Indonesia mendapat tekanan per sektor, seperti halnya sawit, Indonesia akan lakukan retaliasi. “Saya juga bisa menghentikan [impor dari Amerika Serikat],” ujarnya.

Kendati begitu, lanjut Enggar, Indonesia kini masih melakukan perundingan dengan pemerintah Amerika Serikat. “Kami juga lakukan pendekatan dan lobi. Duta besar kita di Amerika Serikat juga menyampaikan pendekatan dan saya sendiri melakukan komunikasi dengan Amerika Serikat untuk meyakinkan, sebab pada dasarnya kita tidak setuju dengan perang dagang. Semua pihak akan dirugikan. Kita lebih senang dengan kolaborasi,” tuturnya.

Kementerian Perdagangan Indonesia akan mengirim tim negosiasi pada bulan Juli ini ke Amerika Serikat. “Ya, kami akan kirim tim ke Amerika Serikat untuk negosiasi supaya fasilitas GSP kita tetap dipertahankan,” ungkap Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, 9 Juli.

Tim itu akan bernegosiasi agar fasilitas GSP untuk Indonesia tidak dicabut Amerika Serikat. Namun, Oke belum bisa menjelaskan lebih jauh soal tim negosiasi tersebut. “Kemungkinan akhir Juli berangkatnya. Tapi, yang lain, saya belum bisa sampaikan. Yang kaitannya yang di GSP, yang akan di-review itu, kita sudah memutuskan akan kirim tim,” katanya.

Terkait hal tersebut, Kabinet Kerja juga telah menggelar rapat koordinasi (rakor) pertama mengenai Perumusan Strategi dan Kebijakan Menghadapi Dampak Trade War dan Kenaikan Tingkat Bunga Amerika Serikat.Rakor tersebut dilaksanakan pada 8 Juli 2018, yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Pesertanya antara lain Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.

Hasil rakor itu telah dilaporkan ke Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jawa Barat, pada 9 Juli 2018. Laporan tersebut kemudian dibahas dalam rapat terbatas tingkat menteri, yang dipimpin oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Mampukah Indonesia menjadi kancil, yang dengan akalnya mampu menghindari diri untuk menjadi korban di tengah pertarungan dua gajah? Inilah saatnya untuk membuktikan bahwa jargon “kerja, kerja, kerja” itu juga berarti kerja cerdas, bukan sekadar kerja keras. [RAF, PUR]