Para pimpinan Partai Golkar/golkarsulsel.or.id

Koran Sulindo – Pekan lalu adalah hari-hari yang sibuk bagi Airlangga Hartarto. Ia harus mondar-mandir Jakarta-Bogor, bertemu seluruh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Golkar se-Indonesia, mengantarkan para pemimpin partai tingkat provinsi itu bertemu Presiden Joko Widodo, dilanjut menghadap Wapres Jusuf Kalla. Airlangga juga sibuk mendekati organisasi-organisasi sayap Golkar seperti SOKSI, MKGR, dan Kosgoro 1957.

Setelah Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka untuk kali kedua dalam kasus dugaan korupsi KTP elektronik (e-KTP) pada November lalu, suara-suara untuk mengadakan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) kencang terdengar. Alasannya kasus Setnov itu elektabilitas partai makin menurun.

Ketua Forum Silaturahmi DPD I Partai Golkar Ridwan Bae mengatakan sebelumnya DPD I Golkar menunggu inisiatif Setnov mundur, namun rapat pleno DPP Golkar akhir November lalu tetap memutuskan ia hanya non aktif. Sementara Ketua DPD I Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengatakan pencalonan Airlangga sebagai ketua umum mendapat dukungan penuh seluruh DPD I.

Namun 34 suara DPD I masih belum cukup membawa Airlangga melenggang ke pucuk pimpinan partai. Kubu Plt Ketua Umum Idrus Marham, yang memenangkan Munas Golkar di Bali 2016 lalu masih dominan di internal partai. Dalam Munas Bali yang dimenangkan Setnov itu, suara terbanyak kedua diraih Ade Komarudin dengan 173 suara, diikuti Aziz Syamsudin sebanyak 48 suara. Airlangga hanya juru kunci dan mendapat 14 suara.

Apalagi sejak Munas 2004, tata tertib pemilihan pimpinan di Golkar berubah. Di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung itu, suara DPD II diakomodasi menjadi peserta dan memiliki hak suara. Sejak itu jumlah suara di munas Golkar yang harus diperebutkan berubah. Sejak 2016 lalu terdapat 563 suara, terdiri atas 519 suara DPD II, 34 suara DPD I, 8 suara ormas kekaryaan Golkar, dan 2 ormas sayap Golkar.

Ormas yang memiliki hak suara adalah tiga ormas pendiri Golkar di zaman awal Orde Baru, yaitu Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong-Royong (Kosgoro), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), dan Sentral Oganisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI). Sisanya adalah Himpunan Wanita Karya (HWK), Satkar Ulama, Majelis Dakwah Indonesia, Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG), Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG), dan Al Hidayah. Sementara DPP hanya memiliki satu hak suara yang diwakili ketua umum.

Untuk memenangkan munas, seseorang harus meraih setengah lebih satu suara, yaitu 282 pemilik suara.

DPD II

Sementara itu Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham menerima rombongan DPD I yang membawa surat untuk mendesak dilangsungkannya Munaslub. Ia mengatakan kejelasan soal Munaslub akan diputuskan dalam rapat pleno pertengahan Desember. Ia juga akan menyampaikan agenda pleno dan Munaslub ini kepada ketua umum nonaktif Golkar Setya Novanto.

Rapat pleno merupakan bagian dari tahapan sebelum gelaran Munaslub, teruatama untuk menentukan waktu dan tempat perhelatan.

“DPP akan segera melakukan pertemuan untuk menindak lanjuti aspirasi ini, ditanya kapan (Munaslub)? akan disampaikan lagi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama,” kata Idrus. Setelah itu Idrus bergerak ke istana negara menghadap Presiden Jokowi.

Pertarungan antara kubu Airlangga dengan kubu Idrus nampaknya akan berlangsung keras, kecuali dua kubu itu bisa berbagi kuasa di internal partai.

Sejak berdiri 1964, Golkar memang penuh dengan pertarungan internal seperti ini. Sejak berdiri awal Orde baru itu Golkar sudah dipimpin 10 orang ketua umum yang rata-rata memiliki masa jabatan 5 tahun. Namun sejak reformasi 1998 dan seterusnya Golkar adalah partai yang terus dihantami seterunya, luka dan berdarah-darah, tapi tetap terus berdiri.

Dimulai sejak mundurnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, partai yang digunakan Orde Baru sebagai salah satu senjatanya itu, diserang wacana pembubaran karena bagian dari riwayat Orba yang berdarah. Berkat kelihaian dan pengalaman lebih 30 tahun sebagai partai penguasa, wacana itu pelan-pelan pudar dan dilupakan orang. Pada Pemilihan Umum 1999, partai berlambang pohon beringin itu justru keluar sebagai pemenang kedua, di belakang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Jotosan-jotosan dari luar itu berbarengan dengan pertempuran terus-menerus di internal partai, bahkan sejak partai itu mendeklarasikan diri sebagai “Partai Baru” di bawah kendali alumunus menteri Orba, Akbar Tandjung. Sejak itu, pergantian ketua umum tak lagi mulus dalam lima tahunan seperti normalnya partai di Indonesia.

Akbar yang memimpin sejak 1998, hanya mampu bertahan 6 tahun, ditendang Jusuf Kalla pada 2004. Politisi cum pedagang dari timur Indonesia itu mampu bertahan duduk manis normal 5 tahun. Ia digusur pedagang lain yang lagi dekat dengan kekuasaan, Aburizal Bakrie pada 2009. Pedagang yang moyangnya dari Lampung, Sumatera ini, bertahan hingga 7 tahun,  sebelum digantikan Setnov pada 2016.  Setnov langsung merapatkan diri ke Presiden Jokowi, yang merangkulnya untuk menyeimbangkan posisi politiknya.

Setelah Setnov masuk bui dan nampaknya sulit lolos dari serangan KPK, posisi Jokowi jelas tak seimbang lagi. Bukan hanya dalam konstelasi kekuasaan di parlemen ia menjadi lemah, tapi terutama kebutuhan untuk mengamankan posisinya maju ke Pilpres 2019 nanti.

Siapapun yang menjadi ketua umum baru Golkar setelah Munaslub nanti, sopir itu harus bisa dipakai mengantarkannya ke perhelatan memilih presiden sekitar 1,5 tahun lagi itu. Airlangga akan menang? Atau Idrus? Belum ada tanda-tanda jelas. Yang jelas ada 519 buah suara DPD II (tingkat kabupaten/kota) yang harus diperebutkan dalam munaslub nanti, yang kini belum jelas ke arah mana. Dalam Munas Bali 2016 lalu suara mereka direngkuh kubu Setnov dan Idrus. [Didit Sidarta]