Koran Sulindo – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dilaporkan Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa, (2/5). “Para pihak yang menghalangi, mencegah, baik dalam penyelidikan maupun penyidikan, mereka diancam dengan pidana. Mereka dianggap melakukan obstruction of justice,” kata Peneliti Pukat UGM Oce Madril di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (3/5).
Tindakan Fahri yang memimpin sidang Paripurna DPR untuk pengajuan hak angket terhadap KPK secara langsung atau tidak, menurut Oce, justru menghambat pengusutan kasus besar yang kini tengah ditangani KPK. Salah satunya kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). “Cara ketok palu tiba-tiba itu jelas bertentangan dengan Undang-Undang MD3. Jadi, ini intinya yang kami laporkan ke KPK. Kami meminta KPK menindaklanjuti laporan yang kami sampaikan kemarin,” tuturnya.
Dalam pandangan Oce, tindakan Fahri Hamzah diduga juga sebagai langkah melindungi Ketua DPR Setya Novanto, yang namanya ikut masuk dalam pusaran kasus korupsi e-KTP. “Jadi, tidak bisa kemudian konteks ini dilepaskan oleh Fahri Hamzah, ketika dia buru-buru melanggar prosedur, memutuskan pengajuan hak angket kepada KPK,” tandasnya. Selain Pukat UGM, yang ikut melaporkan Fahri adalah Pusako Universitas Andalas, Koalisi Pemantau Legislatif, Perludem, ICW, dan Formappi.
DPR pada 28 April 2017 lalu menggelar sidang paripurna untuk menyetujui penggunaan hak angket terkait pelaksanaan tugas KPK yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Sidang itu dipimpin oleh Fahri Hamzah. “Apakah usul hak angket tentang pelaksanaan tugas KPK yang diatur dalam Undang-Undang KPK dapat disetujui menjadi hak angket DPR?” kata Fahri Hamzah dalam sesi terakhir sidang.
Begitu banyak anggota DPR yang menyatakan persetujuan, Fahri kemudian langsung mengetuk palu sebagai tanda keputusan telah diambil. Namun, setelah itu, beberapa anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra maju ke depan meja pemimpin sidang DPR untuk memprotes pengambilan keputusan yang mereka nilai terlalu cepat itu.
Terkait pengaduan Pukat UGM dan beberapa lembaga swadaya masyarakat lain ke KPK itu, Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, mengungkapkan pandangannya lewat akun resmi Twitter-nya. Menurut dia, hak angket adalah hak konstitusional anggota DPR RI dan itu merupakan pelaksanaan perintah undang-undang. Menurut Romli, amat berbahaya jika pengusul hak angket dilaporkan ke pihak berwewenang. Laporan itu juga ia nilai tidak tepat.
“Karena, pengusul itu anggota DPR RI yang sah dan dilindungi konstitusi. Mereka melaksanakan perintah undang-undang,” tulis Romli pada Rabu pagi.
Sebelumnya, pada 29 April 2017 lalu, Romli juga menyatakan, yang diangket oleh DPR itu bukan tindakan pro-justitia, tapi soal tanggung jawab anggaran dan kepatuhan kepada undang-undang. “KPK pasti aman jika jujur. Kenapa takut dan risi? Seharusnya begitu pimpinan dan pegawai KPK manusia pilihan dan langka,” kata perumus Undang-Undang KPK itu.