Prasasti Cangu menyebut terdapat 44 desa penyeberangan di Bengawan Solo dan 34 desa di Bengawan Brantas yang disebutkan berturut-turut dari hilir ke hulu. Penyebrangan paling hulu pada Bengawan Solo adalah Wulayu.

Ini menjelaskan mengapa dalam naskah Sunda Bhujangga Manik, Bengawan Solo disebut sebagai Ci Wulayu.

Bengawan Wulayu berganti nama menjadi Semanggi yang toponim nya masih dikenal untuk nama kelurahan di Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta.

Semanggi merupakan penyeberangan terbesar sekaligus menjadi bandar sungai utama bagi kapal-kapal dagang dari Solo ke Gresik yang menghubungkan dengan lautan lepas.

Nama Bengawan Semanggi masih digunakan hingga tahun 1726 seperti ditulis dalam laporan Valentyn (1726).

Namun, setelah nama Solo populer untuk menyebut Surakarta penamaan Bengawan Wulayu dan Bengawan Semanggi berganti menjadi Bengawan Solo.

Armada dagang menggunakan perahu dalam berbagai ukuran mengangkut hasil-hasil hutan dari bandar-bandar di tepi sungai ke laut kecuali sepanjang bulan Agustus, September, dan Oktober atau musim-musim kering lainnya.

Di musim ini hanya perahu-perahu kecil atau sedang yang sanggup mencapai Surakarta.

Umumnya, perahu-perahu yang melintas di Bengawan Solo berbentuk khusus yakni panjang, berdasar rata dan ringan.  Beberapa perahu bentuk lain memiliki atap dari papan dan beberapa ruang yang bisa ditutup. Jenis ini bisa mengangkut muatan antara 50-100 ton.

Perahu model ini umumnya milik perseorangan yang digunakan di Gresik atau Surabaya. Beberapa perahu yang dimiliki para pangeran dapat mengangkut muatan hingga seberat 200 ton.

Muatan yang dibawa kapal-kapal ini adalah produk-produk pertanian terutama lada, kopi, beras, kelapa, gula kelapa, bawang atau produk hutan seperti rotan, damar, lilin dan madu.

Sementara dalam pelayaran sebaliknya perahu kembali dengan muatan garam rempah, peralatan rumah tangga, tembikar, kain sutera dan garam.

Perahu model ini membutuhkan kedalaman tertentu dan hanya bisa lewat ketika air sungai meluap saat hujan lebat dan berangkat dari Surakarta pada bulan Januari. Jika berlayar dengan kecepatan penuh, kapal bakal tiba di Gresik dalam waktu 8 hari.

Sayangnya, kapal-kapal model ini hanya bisa berlayar sekali dalam satu musim dan butuh waktu hingga 4 bulan menunggu air pasang.

Ketika Surabaya diambil alih oleh VOC dari Mataram pada akhir abad ke-17, VOC membangun pelabuhan Surabaya dan memfungsikannya sebagai suatu pelabuhan niaga yang besar.

Letak Surabaya yang terlindung oleh pulau Madura di selatnya membuatnya aman bagi kapal-kapal untuk berlabuh dari ancaman terpaan langsung.

VOC yang juga memiliki kepentingan ekonomi di Bengawan Solo belakangan membangun gudang-gudang untuk mengakomodasi hasil-hasil perkebunannya di daerah pedalaman seperti di  Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Klaten hingga Boyolali. [TGU]

* Tulisan ini pernah dimuat pada 18 September 2018