Bencana, Kemarahan Publik, dan Gagasan Membeli Hutan

Suasana pusat Kota Kuala Simpang yang luluh lantak akibat banjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Sabtu (6/12/2025). (ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso)

OPINI – Banjir bandang yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada penghujung November hingga awal Desember tahun ini kembali membuka luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Dikutip dari Antara Data BNPB menunjukkan lebih dari 900 orang meninggal dunia, sementara ribuan lainnya kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan. Di Aceh, sejumlah desa bahkan disebut “hilang” tersapu arus. Jalan terputus, jembatan runtuh, dan warga harus bertahan di tengah keterbatasan air bersih, obat-obatan, serta logistik.

BMKG menjelaskan bahwa hujan ekstrem yang memicu banjir dipengaruhi bibit siklon tropis 95B di perairan Aceh. Namun, para peneliti dari UGM melalui laman resminya menekankan bahwa cuaca bukan satu-satunya penjelasan. Kerusakan hulu daerah aliran sungai, pembukaan lahan yang masif, serta hilangnya penyangga ekologis membuat air hujan yang turun dalam jumlah besar tak lagi tertahan oleh hutan. Air mengalir deras tanpa hambatan dan berubah menjadi dinding lumpur yang melumat apa pun di hilir. Ketika perlindungan alam runtuh, manusia di bagian bawah hanya bisa menanggung akibatnya. Bencana tidak sepenuhnya disebabkan alam, melainkan manusia juga bisa menjadi sebab terjadinya bencana alam.

Di tengah kesedihan itu, muncul fenomena lain yang menarik perhatian publik. Pandawara Group, kelompok konten kreator yang dikenal dengan aksi bersih-bersihnya, mengunggah ajakan agar masyarakat Indonesia turut membeli hutan agar tidak dialihfungsikan. Unggahan ini muncul di saat pemberitaan tentang banjir dan longsor Sumatera memuncak, dan responsnya sangat mengejutkan.

Ribuan komentar mengalir, mulai dari warganet biasa, influencer besar, hingga artis yang menyatakan tertarik untuk berdonasi. Ajakan itu seolah menjadi percikan harapan di tengah keputusasaan, sebuah gagasan radikal bahwa publik bisa membeli hutan untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Namun di balik simpati, terdapat pertanyaan yang jauh lebih mendalam. Mengapa masyarakat harus sampai membeli hutan agar tetap menjadi hutan? Mengapa inisiatif seperti itu justru terasa logis bagi sebagian orang? Fenomena ini menunjukkan bahwa ada jurang kepercayaan yang makin melebar, sebuah rasa frustasi publik terhadap tata kelola lingkungan yang dianggap tidak mampu menghentikan kerusakan di hulu.

Ketika masyarakat merasa harus mengumpulkan donasi demi menyelamatkan hutan, itu bukan sekadar tindakan solidaritas, tetapi juga bentuk kritik terhadap sistem yang seharusnya melindungi ekosistem sejak awal.

Sementara itu, penderitaan di lapangan terus berlangsung. Bahkan sejumlah korban meninggal justru pada hari-hari setelah banjir akibat minimnya layanan medis, infeksi, dan sulitnya distribusi bantuan. Rumah sakit kehabisan obat, air bersih menjadi barang langka, dan sebagian tenaga kesehatan bekerja dengan peralatan seadanya.

Bencana ini mengingatkan bahwa yang paling mematikan bukan hanya arus deras saat banjir terjadi, melainkan ketidakmampuan kita memastikan keselamatan warga setelah bencana berlalu.

Tragedi Sumatera memaksa kita melihat kenyataan yang tak lagi bisa dihindari, bencana hidrometeorologi bukan lagi peristiwa musiman, tetapi konsekuensi dari pola pembangunan yang mengabaikan ruang hidup alami. Perubahan iklim meningkatkan intensitas hujan, sementara kerusakan hutan dan tata ruang yang kacau memperbesar risiko di daratan.

Ketika dua faktor ini bertemu, banjir bandang hanya tinggal menunggu waktu. Tak ada mitigasi yang benar-benar efektif tanpa memperbaiki keadaan hulu, memperkuat penegakan hukum, dan memastikan bahwa ruang hidup alam tidak dikorbankan demi kepentingan jangka pendek.

Pemerintah memang telah bergerak cepat dalam penanganan darurat. Bantuan mengalir, jalur logistik dibuka kembali, dan pendataan kerusakan dilakukan. Namun pekerjaan terbesar selalu berada di tempat yang jarang terlihat yautu pembenahan tata kelola lingkungan.

Hutan yang tersisa harus dilindungi, daerah aliran sungai direhabilitasi, dan izin-izin yang berpotensi merusak ekosistem harus ditinjau ulang. Semua langkah itu bukan lagi pilihan, tetapi keharusan yang menentukan masa depan generasi di Sumatera dan seluruh Indonesia.

Ketika masyarakat sampai berharap pada gerakan membeli hutan demi menyelamatkan alam, itu adalah sinyal yang tidak boleh diabaikan. Ia menunjukkan bahwa publik sebenarnya ingin terlibat, ingin menjaga, ingin merawat bumi tempat mereka hidup. Namun partisipasi warga tidak boleh berdiri sendiri tanpa kehadiran negara yang kuat dan konsisten dalam menjaga ruang ekologis.

Banjir bandang di Sumatera bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga pengingat bahwa hubungan kita dengan alam sedang berada di titik kritis. Alam telah mengirimkan tanda berulang kali, dengan cara yang semakin keras. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kita sanggup memahami peringatan itu, melainkan apakah kita benar-benar siap berubah sebelum gelombang berikutnya datang lagi dan mengambil lebih banyak dari yang bisa kita pulihkan. [UN]