Koran Sulindo – Menurunnya kualitas lingkungan hidup akibat alih fungsi hutan dan gambut menjadi industri ekstraktif menjadikan wilayah Kalimantan dan Sumatera rawan dengan kebakaran hutan serta lahan. Kedua wilayah ini acap menjadi langganan pembakaran lahan dan hutan akibat alih fungsi hutan menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan sawit skala besar.

Lembaga pemantau munculnya titik api Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyebutkan, itu pernah terjadi pada 2015 yang menyebabkan bencana asap sehingga masyarakat mengalami kerugian ekonomi yang sangat besar, rusaknya ekosistem atau keanekaragaman hayati, penghilangan hutan alam (deforestasi) serta mengancam kesehatan sekitar 100 ribu orang yang berpotensi mengakibatkan kematian dini.

Emisi yang dihasilkan akibat pembakaran hutan dan lahan itu menghasilkan emisi harian yang lebih besar ketimbang emisi perekonomian negara Amerika Serikat (AS) secara keseluruhan. “Kondisi Riau sebetulnya tidak jauh berbeda dari Jambi dan Kalimantan Tengah. Itu kebakaran yang paling parah di Riau. Sampai hari ini, negara sama sekali tidak berbuat apapun atas kerugian yang dialami masyarakat. Juga tak berbuat apa-apa kepada korban tewas akibat terpapar asap,” kata Koordinator Jikalahari, Made Ali di Jakarta.

Kendati telah berlalu tiga tahun, upaya untuk menekan pembakaran hutan dan lahan tersebut masih belum sesuai dengan harapan masyarakat. Terlebuh ancaman pembakaran hutan dan lahan masih menjadi ancaman nyata. Namun, Made Ali berpendapat, setelah adanya upaya penegakan hukum terhadap pelaku yang umumnya dilakukan korporasi besar berbanding lurus dengan penurunan titik kebakaran hutan dan lahan.

Jikalahari mencatat titik api di Provinsi Riau sebelum adanya penegakan hukum mencapai ratusan. Pada 2014, Jikalahari mencatat ada sekitar 807 titik api dan umumnya berada di areal lahan perusahaan skala besar. Ketika dilakukan penegakan pada 2015, jumlah titik api menurun drasti tinggal 226; dan 14 titik api 2016; 3 titik api 2017; meningkat lagi menjadi 40 titik api 2018.

Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) seperti Bambang Hero dan Basuki Wasis memiliki kontribusi kecil dalam hal itu. Keahlian kedua akademisi yang dipakai negara melawan korporasi setidaknya berkontribusi kecil memberi efek jera kepada korporasi. Akan tetapi, kriminalisasi terhadap mereka kini justru menjadi ancaman baru terhadap penegakan hukum lingkungan hidup.

“Memang ini bukan satu-satunya faktor, tapi dalam persidangan ahli dari negara itu juga beradu argumentasi dengan ahli yang dihadirkan korporasi,” kata Made Ali.

Menanggapi upaya kriminalisasi terhadap ahli itu, Sekjen Aliansi Gerakan Reforma Agraria, M. Ali mengatakan, pihaknya sejak dari awal memang sudah menduga korporasi adalah pelaku pembakaran hutan dan lahan selama ini. Fakta ini menunjukkan, negara belum tegas kepada korporasi yang melakukan praktik pembakaran hutan dan bahkan mengabaikan putusan pengadilan.

“Pemerintah harus memastikan upaya penegakan hukum dilakukan dengan meyasar korporasi bukan masyarakat adat dan petani peladang yang justru adalah korban. Masyarakat adat dan petani acap disalahkan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Demi rasa keadilan, pemerintah sudah sepantasnya mencabut izin-izin perusahaan yang terbukti membakar hutan dan lahan,” kata Ali.

Setelah sering menjadi ahli melawan korporasi di pengadilan, Bambang Hero Saharjo digugat PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) ke Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat pada pertengahan September lalu. Bambang Hero digugat dan diminta dinyatakan perbuatan melawan hukum karena keterangannya sebagai ahli kebakaran hutan dan lahan dinilai cacat hukum, tidak memiliki pembuktian dan dinyatakan batal demi hukum.

Korporasi itu juga meminta agar Bambang Hero dihukum untuk membayar kerugian materil berupa biaya operasional pengurusan permasalahan lingkungan hidup, biaya akomodasi dan biaya lainnya senilai Rp 10 miliar serta kerugian moril PT JJP senilai Rp 500 miliar. [KRG]