Benarkah Kapur Barus Nusantara yang Mengawetkan Mumi-mumi Mesir?

[Sumber: Internet]

Kamper atau kapur barus yang sekarang ini banyak beredar di pasaran, merupakan kamper yang terbuat dari bahan terpentin. Padahal, di masa dahulu, manusia biasa memakai kapur barus yang terbuat dari kristal hasil ekstrasi pohon laurel kamper (Cinnamomum camphora), yang biasanya disebut singkat sebagai pohon kamper.

Pohon ini adalah pohon yang berbatang tinggi, yang bisa tumbuh dengan ketinggian samai 20-30 meter atau lebih. Kulit kayunya pucat, sangat kasar, dan dipenuhi retakan vertikal. Daunnya mengkilat dan mengandung lilin, bila dilumat akan menghasilkan bau yang sama dengan bau kapur barus.

Pohon kamper dulu banyak ditemukan di hutan-hutan di daerah Barus, Tapanuli Selatan. Sekarang sudah nyaris punah, akibat dari eksploitasi tak terperi. Dari nama Barus inilah kamper juga disebut sebagai kapur barus. Getahnya yang seperti kapur, sudah dimanfaatkan manusia sejak ribuan tahun lalu. Di daerah asalnya, benda yang sifatnya menyublim ini juga disebut sebagai haburuan atau kaberun.

Manfaat dari kapur barus yang berasal dari pohon kamper ini terbilang banyak. Dilansir dari laman Dekoruma, kapur barus mempunyai banyak manfaat bagi tubuh manusia. Antropolog kesehatan Rusmini Tumanggor, mengungkapkan di laman CNN Indonesia bahwa kapur barus yang bersifat alami akan dapat menghangatkan tubuh ketika seseorang berada di tempat yang dingin. Sakit perut juga dapat diobati oleh kapur barus. Dan, masih banyak lagi.

Manfaat kamper untuk kesejahteraan umat manusia telah membawa kemasyhurannya sampai ke jazirah Arab dan Persia sejak dahulu kala. Benda yang berbentuk kapur ini bukanlah barang murah. Harga satu kilogramnya memiliki nilai yang setara dengan satu kilogram emas.

Berkat getah kamper yang banyak dicari penduduk dunia tersebut, pada abad ke-6 Masehi kota Barus sangat dikenal. Bukan hanya sebagai pengekspor kapur barus terbesar di dunia. Tapi, juga sebagai kota bandar pelabuhan perdagangan internasional. Posisinya yang terletak di pantai barat Sumatra bagian utara, sangat ideal. Membuatnya mudah dikunjungi saudagar-saudagar dari luar Nusantara.

Marco Polo, pedagang yang juga penjelajah dan petualang asal Italia, yang pada 1281-1295 menyusuri Jalur Sutra, mencatat dalam literatur sejarahnya tentang Barus sebagai tempat asal kamper. Ia menyebutkan bahwa Barus adalah penghasil kapur barus terbaik di dunia. Marco Polo menyebut Barus sebagai Farus atau Fansur. Dalam catatan-catatan atau literatur-literatur dunia, sebutan nama Barus memang bervariasi. Barrousai adalah salah satu sebutan lainnya.

Pohon kamper [Image by Hans Braxmeier from Pixabay ]
Barus sebagai kota bandar sudah tercantum dalam peta dunia sejak lama, bahkan sebelum Marco Polo bertandang. Namanya sudah tercantum dalam kitab ilmu bumi Geographike Hyphegesis yang terbit pada 160 Masehi. Kitab tersebut disusun oleh ilmuwan Claudius Ptolemy, seorang ilmuwan yang tinggal di kota kuna Aleksandria (Alexandria) dan yang tak pernah datang ke Barus. Geographike Hyphegesis menjadi keterangan paling tua tentang Barus. Menjadi petunjuk bahwa pedagang-pedagang Tiongkok, India, dan Arab telah memiliki hubungan dagang dengan pelabuhan Barus sejak sebelum bangsa Eropa tiba di Nusantara.

Keterangan-keterangan di atas, menunjukkan bahwa kamper memang zat kaya manfaat sehingga dicari orang dari berbagai belahan dunia. Disebutkan juga bahwa salah satu fungsi kamper adalah untuk mengawetkan jenazah. Barangkali, ia bukan satu-satunya rempah untuk keperluan itu, tapi ada cerita yang menyebutkan begini. Bahwa, pada 5000 Sebelum Masehi, Mesir mengimpor kapur barus dari Nusantara. Untuk dijadikan bahan pengawet jenazah di zaman Firaun.

Catatan lain menyebutkan bahwa di Barus pernah berdiri sebuah kerajaan kuno. Namanya, Lobu Tua. Diperkirakan kerajaan ini sudah ada sejak 3000-5000 Sebelum Masehi. Perkiraan tahun yang disebutkan itu muncul setelah kandungan kapur barus ditemukan pada mumi-mumi Mesir kuno dari masa yang sejaman.

J. Fachruddin Daulay, staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara, dalam artikelnya yang berjudul “Bandar Barus dalam Catatan Sejarah”, juga menyatakan bahwa terdapat keterangan yang menyebut bahwa kapur barus dari Indonesia, pernah digunakan sebagai bahan pengawet mumi raja-raja Mesir.

Sementara itu, Dr. Stephen Buckley, arkeolog dari Universitas York, Inggris, bersama timnya mengadakan sejumlah tes kimiawi forensik pada kain linen pembungkus mumi Mesir. Dengan maksud untuk mengungkapkan resep pembalseman mumi di Mesir, yang diperkirakan berasal dari 4000 Sebelum Masehi. Mereka menemukan jejak beberapa jenis tanaman, yang dipakai untuk proses pembalseman mumi.

Yaitu, minyak tanaman yang kemungkinan adalah minyak wijen. Lalu, sari akar yang bisa saja berasal dari rumput gajah; kemudian karet dari tanaman dan gula alamiah yang mungkin diambil dari sari akasia. Dan, yang penting, adalah getah pohon kayu jarum yang kemungkinan adalah getah pinus.

Ekstrak getah lauren kamper tak disebutkan dalam laporan Dr. Buckley, berarti jejaknya tak ditemukan pada mumi tersebut. Tapi, bukan berarti bahwa kamper sama sekali tidak pernah dipakai untuk pembalseman mumi di Mesir. Di dunia penelitian arkeologis yang bergerak dinamis ini, segala kemungkinan selalu terbuka. Kita tunggu saja. [NiM]

Baca juga: