PADA hari Sabtu 1 Oktober 2022, tragedi berdarah dan menjadi sejarah hitam sepak bola Indonesia terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang Jawa Timur. Sampai saat ini jumlah korban meninggal dunia sebanyak 131 orang. Bahkan tragedi Kanjuruhan berada di posisi kedua terbanyak dalam hal jumlah korban meninggal dalam insiden sepak bola di Dunia. Pada peringkat pertama terjadi di Estadio Nacional Disaster, Lima, Peru yang terjadi pada 24 Mei 1964, saat itu korban meninggal mencapai 328 jiwa. Jelas ini bukan sesuatu yang perlu diapresiasi apalagi bukan bagian dari prestasi.
Sabtu berdarah tersebut dimulai dari kekalahan tim Arema FC melawan Persebaya dengan skor 2-3 di Liga 1 Indonesia. Tidak ada yang mengetahui kronologi jelasnya namun ribuan orang terjebak dan terhimpit menghindari tembakan gas air mata yang dilesatkan kepolisian.
Penonton yang sesak nafas dan terinjak berbondong-bondong untuk keluar dari stadion yang telah kacau balau. Keadaan tambah kacau oleh tindakan kekerasan aparat keamanan dengan alasan mencoba mengamankan situasi agar kondusif.
Namun dengan segala kekacauan tersebut, tidak ada kata ‘mundur’dari orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab atas insiden ini. Semua saling menyalahkan dan pasang tameng bela diri. Pada keterangan persnya ketua PSSI Mochamad Iriawan menyesalkan perilaku suporter (Aremania) bahkan tim Arema FC dilarang menjadi tuan rumah selama sisa kompetisi musim ini. Lalu apakah ada kata tanggung jawab serta mundur dalam rilisnya? Tidak. Apakah dengan menghakimi suporter dan melarang tim Arema FC akan menjadi satu-satunya jalan agar tragedi ini tidak akan terjadi lagi? Jelas tidak.
PSSI harus segera mengevaluasi terkait semua regulasi baik pertandingan maupun keamanan baik untuk suporter maupun para pemain dan ofisial. Kemenangan tidak akan menjadi berharga jika ada taruhan nyawa di dalamnya.
Bagaimana dengan mundur? Bahkan sampai hari ini ada sekitar 24 ribu orang menandatangani petisi mendesak ketua PSSI untuk mundur dari jabatannya. Namun rasanya di hari baik ini kata mundur sangat sulit untuk terjadi, kata maaf pun sangat sulit terucap. Bahkan ia mengatakan bahwa yang seharusnya bertanggung jawab atas tragedi ini bukan dirinya ataupun PSSI namun Panpel (panitia pelaksana) Arema FC.
Tembakan gas air mata
Salah satu penyebab banyaknya korban jiwa yang meninggal atas tragedi Kanjuruhan adalah tembakan gas air mata yang dilakukan oleh kepolisian dan hal tersebut menjadi sorotan keras publik. Dalam regulasi yang dikeluarkan oleh FIFA sebagai induk organisasi sepak bola seluruh dunia menyebutkan bahwa penggunaan gas air untuk mengendalikan masa adalah hal terlarang. Namun larangan tersebut rupanya tidak menghalangi polisi untuk menembakan gas air mata ke suporter. Netizen pun bereaksi keras sekaligus heran, seharusnya PSSI dan Polri mengetahui aturan tersebut.
Regulasi yang seharusnya ditaati oleh segala induk sepak bola di Dunia nyatanya PSSI tidak melakukannya. Polisi dengan kacamatanya melihat ada kerusuhan yang terjadi lantas mengambil keputusan untuk langsung menembakan gas air mata ke tribun yang berisi orang dewasa bahkan anak-anak. Niat untuk menghalangi suporter malah menambah masalah baru. Semua yang terkena tembakan gas air mata lalu panik dan kesakitan. Mata perih hingga sulit bernafas pun dialami oleh suporter. Akhirnya semua berebut untuk menuju pintu keluar hingga terinjak-injak.
Dikutip dari Antara, Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta menyebutkan bahwa pihak kepolisian menembakan gas air mata karena para pendukung Arema yang tidak puas turun dan ke lapangan telah melakukan tindakan anarkis dan membahayakan keselamatan para pemain dan ofisial. Ia juga mengatakan akibat gas air mata tersebut para penonton atau suporter pergi ke satu titik pintu keluar kemudian terjadi penumpukan dan banyak yang mengalami sesak nafas dan kekurangan oksigen.
Penetapan 6 Tersangka
Pada Kamis 6 Oktober 2022, Kepolisian menetapkan 6 tersangka atas atas Tragedi Kanjuruhan. Mereka ialah, Ahmad Hadian Lukita Direktur Utama PT LIB, Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, Suko Sutrisno selaku security steward. Dari kubu kepolisian ada nama Kompol Wahyu Setyo Pranoto Kepala bagian Ops Polres Malang, AKP Hasdarman Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur dan yang terakhir AKP Bambang Sidik Achmadi Kasat Samapta Polres Malang.
Para personil kepolisian itu menjadi tersangka karena dianggap mengetahui adanya larangan penggunaan gas air mata oleh FIFA namun tetap menembakkan ke para suporter. Mereka dikenakan Pasal 359 dan atau 360 KUHP.
Mahfud MD, Menko Polhukam sekaligus ketua dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan menyatakan ada kemungkinan tersangka akan bertambah dari jumlah yang diketahui sekarang. Namun pihaknya akan melakukan penyelidikan lebih mendalam terkait adakah penyebab utama tragedi Kanjuruhan.
Lalu di mana nama sang Ketua PSSI atau jajarannya? Tentu saja aman dan terlindungi. Mereka tidak akan bahkan tidak bisa dimintai tanggung jawab apapun atas tragedi berdarah ini. Hal tersebut telah diatur dalam Regulasi Keselamatan dan Keamanan PSSI 2021. Pada pasal 3 mengenai tanggung jawab, Panpel lah yang bertanggung jawab penuh atas segala kerugian yang timbul pada pertandingan yang berlangsung.
Pasal 3 huruf d berbunyi “Panpel menjamin, membebaskan, dan melepaskan PSSI (beserta para petugasnya) dari segala tuntutan oleh pihak manapun dan menyatakan bahwa Panpel bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kecelakaan, kerusakan dan kerugian lain yang mungkin timbul berkaitan dengan pelaksanaan peraturan ini.”
Jadi buanglah harapanmu jauh-jauh kawan! Regulasi yang dibuat sendiri oleh PSSI lah yang memastikan sang Ketua akan aman. Soal kata mundur, biarkan moralitas kemanusiaan yang menjawab (jika ada). [NS]