Koran Sulindo – Polemik mengenai sertifikasi tanah pada masa pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang dituduh menipu rakyat terus berlanjut. Setelah mantan Ketua MPR Amien Rais dan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan saling menghujat di media massa, kini mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut-ikutan berwacana.
Kepada Amien, Yudhoyono mengingatkan agar mengkritik tidak berdasarkan fitnah. Sementara kepada Luhut yang mewakili pemerintah mengingatkan agar tidak anti-kritik. Jangan mengatakan hal-hal yang bersifat mengancam. Polemik demikian disebutnya tidak baik bagi demokrasi.
Akan tetapi, Aliansi Gerakan Reforma Agaria (AGRA) punya pendapat sendiri mengenai persoalan tanah selama kepemimpinan Jokowi yang sudah memasuki tahun keempat. Organisasi kaum tani ini menyebutkan pemerintahan Jokowi – Kalla sama sekali tidak mampu mengurangi monopoli tanah yang dikuasai segelintir pemodal.
“Justru program reforma agraria Jokowi meningkatkan monopoli tanah yang dikuasai segelintir ‘tuan tanah besar’ baik swasta maupun negara,” kata Ketua Umum AGRA Rahmat dalam keterangan resminya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Rahmat bercerita, pihaknya menyimpulkan hal tersebut melalui rapat pleno pimpinan pusat AGRA pada 17 Maret hingga 20 Maret lalu. Pemerintah Jokowi membanggakan program reforma agrarianya berupa sertifikasi tanah dengan jumlah sekitar 6,3 juta sertifikat meliputi 1,95 juta hektare serta mendistribusikan bekas aset hak guna usaha (HGU) dan tanah telantar seluas sekitar 262 ribu hektare dan pelepasan kawasan hutan sekitar 750 ribu hektare sebagai tanah objek Reforma Agraria (TORA).
AGRA, kata Rahmat, menilai laporan capaian program pelaksanaan reforma agraria pemerintah Jokowi hanya soal sertifikasi. Pemerintah tidak sejengkal pun membagikan tanah kepada kaum tani yang tidak bertanah dan sama sekali tidak mengurangi monopoli tanah melalui program tersebut. Karena itu, apa yang dilakukan pemerintah saat ini hanya melanjutkan Land Administration Projek (LAP), agenda Bank Dunia sejak Orde Baru.
“Itu bukan reforma agraria,” kata Rahmat menegaskan.
Reforma agraria, lanjut Rahmat, semestinya mampu mengatasi masalah ketimpangan dan mengurangi monopoli tanah. Reforma agraria seharusnya mampu memberikan tanah kepada kaum tani yang tidak bertanah dan petani yang memiliki lahan sempit; reforma agraria sudah seharusnya mampu menghapuskan secara drastis monopoli tanah yang dimiliki segelintir orang baik swasta dan negara dalam bentuk perkebunan skala besar, pertambangan, taman nasional serta berbagai proyek Infrastruktur yang melayani kepentingan modal asing di Indonesia.
Sertifikasi dan Masalahnya
Faktanya, sertifikasi yang terus digenjot pemerintah saat ini justru menciptakan berbagai masalah. Terbaru adalah sertifikasi tanah yang dijalankan melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Dari program ini, kata Rahmat, setidaknya menimbulkan lima masalah yaitu pertama, tidak ada sertifikasi gratis sebagaimana yang dijanjikan Jokowi selama ini. Petani di beberapa tempat dibebani biaya Rp 300 ribu hingga Rp 700 ribu untuk biaya administrasi.
Selanjutnya, kendati Jokowi acap membagikan sertifikat tanah secara seremonial, namun setelah itu banyak sertifikat yang tertahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kemudian, terdapat sertifikat yang sudah dibagikan rupanya “bodong” sehingga ketika ingin meminjam modal ke bank ditolak karena belum melunasi Biaya Tunggakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Terakhir, sertifikasi sama sekali tidak benar untuk mengatasi konflik, sebab tidak ada tanah rakyat yang sedang berkonflik disertifikasi.
Sertifikasi justru banyak dilakukan di sekitar area rencana pembangunan proyek infrastruktur. Karena itu, program sertifikasi tanpa merombak monopoli kepemilikan tanah adalah petaka bagi kaum tani karena akan mempercepat dan memperdalam kaum tani terjerat dalam peribaan yang mencekik. Soalnya sertifikat akan menjadi jaminan untuk mengutang ke bank yang pada akhirnya tanah-tanah petani akan hilang disita atau terjual karena tidak mampu melunasi utangnya.
“Ketidakmampuan itu tentu saja disebabkan tingginya biaya produksi pertanian akibat mahalnya biaya produksi pertanian, rendahnya harga produksi petani dan mahalnya biaya hidup,” tutur Rahmat.
Mengenai program redistribusi aset, menurut Rahmat, AGRA juga masih tetap pada pandangannya bahwa itu menjadi bagian dari program “sertifikasi”. Pasalnya, tanah-tanah yang disertifikat sesungguhnya sudah lama dikuasai petani. AGRA juga masih mempersoalkan istilah tanah telantar dan tanah bekas HGU yang menjadi objek reforma agraria. Mengapa? Pasalnya, itu merupakan ilusi bagi kaum tani karena menunggu masa HGU-nya habis yang secara aturan membolehkan penguasaan hingga 90 tahun.
AGRA juga beranggapan tanah telantar itu seharusnya meliputi tanah HGU perkebunan besar karena produktivitasnya sangat rendah; investasi rendah; penggunaan tenaga kerja yang berketerampilan rendah; pengetahuan dan teknologi yang terbelakang sehingga tepat jika HGU perkebunan besar dianggap sebagai tanah telantar.
Perhutanan Sosial
Soal perhutanan sosial yang begitu gencar dipromosikan pemerintah juga menjadi sorotan AGRA. Menurut Rahmat, program tersebut sama sekali bukan membuka akses bagi petani tak bertanah untuk bisa mengelola tanah. Perhutanan sosial kenyataannya digunakan pemerintah Jokowi untuk merampas kembali tanah-tanah yang saat ini sudah digarap dan dikelola kaum tani.
Program perhutanan sosial, kata Rahmat, digunakan untuk mengikat petani tak bertanah sebagai tenaga kerja untuk menggarap lahan-lahan milik tuan tanah dengan dikenakan sewa tanah melalui skema bagi hasil yang menguntungkan tuan tanah dan mencekik petani tak bertanah. Pelaksanaan perhutanan sosial di beberapa tempat justru melahirkan konflik horisontal antara rakyat seperti di Sigi, Sulawesi Tengah.
Atas dasar analisis dan fakta tersebut, Rahmat melalui AGRA, menyerukan agar “menentang” dan menolak program reforma agraria pemerintah Jokowi-Kalla. Dan kaum tani harus terus memperbesar dan meluaskan gerakan rakyat untuk perjuangan reforma agraria sejati serta industrialisasi nasional. Demikian Rahmat. [KRG]