Suharso Monoarfa
Ilustrasi: Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Kepala Bappenas), Suharso Monoarfa/setkab.go.id

Koran Sulindo – Belanja mandatory seperti pendidikan dan kesehatan pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 akan didesain ulang sesuai kondisi masa Pandemi Covid-19. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa Rabu kemarin (29/07) di Jakarta.

”Terkait misalnya dengan reformasi kesehatan, apa saja yang kita akan dorong, yang kita akan anggarkan sedemikian rupa dalam rangka pemulihan ekonomi dan sekaligus memperbaiki sistem kesehatan nasional kita. Jadi punya efek ganda,” kata Suharso, seperti dikutip setkab.go.id.

Saat ini belanja mandatory tercatat sebesar Rp179 triliun, dengan anggaran pendidikan sebesar Rp38,6 triliun juga anggaran kesehatan sebesar Rp9,5 triliun.

Menurut Menteri PPN, untuk pendidikan yang dirasakan di tingkat bawah adalah bagaimana masyarakat bisa mendapatkan sinyal internet, dan ternyata dengan belajar dari rumah ada biaya tambahan yang tak sedikit.

”Bagi mereka yang daya belinya rendah tentu itu juga sangat terpukul. Misal pulsa Rp300.000 enggak cukup dalam waktu satu minggu,” kata Suharso.

Belanja Mandatory

Belanja Mandatory (Mandatory spending) adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending ini adalah untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.

Seperti dikutip Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (DJA Kemenkeu), djpk.kemenkeu.go.id, belanja mandatory dalam tata kelola keuangan pemerintah daerah antara lain alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBD sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1).

Selain itu juga besaran anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji (UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan).

Adapun Dana Transfer Umum (DTU) diarahkan penggunaannya, yaitu paling sedikit 25 persen untuk belanja infrastruktur daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi. Anngaran ini untuk meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antardaerah, dan diatur dalam Undang-undang APBN.

Sementara alokasi dana Desa (ADD) paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus, sesuai UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Perpres

Pemerintah setiap tahun selalu menganggarkan sejumlah belanja yang wajib dialokasikan dengan persentase tertentu. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 tahun 2020 dinyatakan bahwa belanja mandatory tahun ini terbagi menjadi lima pos anggaran.

Pertama, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN atau APBD. Alokasi anggaran ini dianggarkan sebesar Rp 547,8 triliun sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4).

Kedua, alokasi anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) minimal sebesar 26% dari penerimaan dalam negeri neto atau setara dengan Rp 384,4 triliun. Ketentuan ini sesuai dengan aturan dalam UU Nomor 33 tahun 2004.

Ketiga, alokasi anggaran Dana Bagi Hasil (DBH) perhitungan alokasi anggaran ini di dalam APBN-Perpres 72/2020 sebesar Rp 86,4 triliun.

Keempat, alokasi anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN atau setara dengan Rp 212,3 triliun yang mana ketentuannya sesuai dengan ketentuan UU Nomor 36 tahun 2009.

Kelima, alokasi anggaran untuk otonomi khusus masing-masing sebesar 2% untuk Provinsi Aceh dan Papua dari DAU sesuai dengan UU Otonomi Khusus. Alokasi anggaran yang ada di dalam Perpres 72/2020 adalah sebesar Rp 20 triliun. [RED]