Koran Sulindo – Sabtu, 17 Juni 1972, pukul 9 pagi. Telepon rumah Bob Woodward wartawan Washington Post berdering. Waktu yang masih pagi untuk menelepon orang. Asisten editor tempatnya bekerja yang meneleponnya. Ia diminta untuk meliput kasus pembobolan markas Partai Demokrat yang dilakukan oleh 5 orang dan saat ini sedang ditahan.
Mendengar permintaan tersebut, Woodward kurang semangat. Ia menginginkan penugasan yang lebih menantang. Dan penugasan kali ini bukan sesuatu yang ia harapkan. Pembobolan markas Partai Demokrat lokal dinilai sama dengan kasus-kasus pembobolan pada umumnya. Apalagi Woodward sudah sering sekali meliput kejadian seperti itu.
Ia berharap penugasan demikian tidak lagi dibebankan kepadanya. Terlebih ia baru saja menyelesaikan liputan tentang percobaan pembunuhan Gubernur Alabama George Wallace. Dengan agak malas, Woodward kemudian bergegas mandi dan setelah itu meninggalkan apartemennya yang berada di pusat kota Washington.
Bagi wartawan Washington Post, Sabtu merupakan hari yang agak santai. Hari untuk berlama-lama makan siang sambil merampungkan tulisan. Ketika Woodward berhenti untuk mengambil surat-surat dan pesan telepon di bagian depan ruang redaksi kantor Washington Post, ia memperhatikan ada kesibukan yang tidak biasa di bagian redaksi kota.
Ia lalu mengobrol dengan redaktur kota dan kaget mendengar bahwa markas Partai Demokrat yang dibobol itu merupakan Komite Nasional Demokrat yang terletak di kompleks hotel-apartemen Watergate yang juga digunakan sebagai perkantoran. Jadi, bukan pembobolan markas lokal Partai Demokrat.
Lalu mengapa itu penting? Dalam buku terjemahan All the President’s Men: Kisah Nyata Kejatuhan sang Presiden, menurut Woodward, janggal jika mencari orang-orang Demokrat di lokasi itu. Pasalnya, gedung Watergate yang mewah, di pinggir Sungai Potomac di tengah kota Washington, merupakan pendukung setia Partai Republik seperti halnya Klub Liga Union.
Para penyewanya termasuk mantan Jaksa Agung Amerika Serikat (AS) John N. Mitchell, kini Direktur Komite Pemilihan Kembali Presiden; mantan Menteri Perdagangan Maurice H. Stans, kepala keuangan tim sukses kampanye Presiden; ketua nasional Republik, Senator Robert Dole dari Kansas; sekretaris Presiden Nixon, Rose Mary Woods; dan Anna Chennault, janda pendiri Flying Tigers Claire Chennault dan pramutamu ulung Partai Republik; serta banyak lagi petinggi pemerintahan Nixon.
Karena lokasi itu yang dibobol, justru memicu rasa penasaran Woodward dan bersemangat untuk menelusuri serta menyelidikinya. Ia pun mulai menelepon ke sana kemari. Ketika sedang sibuk menelepon berbagai narasumber, ia melihat seorang wartawan bagian redaksi kota Washington Post, Carl Bernstein juga melakukan hal serupa. Ia berharap Bernstein tidak dilibatkan dalam liputan ini karena mengetahui kemampuannya yang mumpuni dalam liputan investigasi.
Woodward mendapatkan informasi awal tentang pembobolan itu dari Alfred E. Lewis, seorang veteran polisi yang disebut sudah 35 tahun menjadi informan Washington Post. Secara detail ia menyebut ada 5 tersangka yang membobol kantor Komite Nasional Demokrat pada pukul 2.30 dini hari. Adapun bukti yang disita kepolisian dari kelima orang itu antara lain pistol gas airmata, piranti penyadap dan uang senilai sekitar US$ 2.500. Dan dari Alfred pula Woodward mengetahui bahwa 5 tersangka itu akan dihadirkan ke pengadilan pada sore harinya.
Setelah mendapatkan informasi secukupnya dari Alfred, Woodward bergegas ke pengadilan. Di sana ia bertemu antara lain dengan pengacara tersangka bernama Dauglas Caddy dan Joseph Rafferty. Dari Rafferty, ia mendapatkan nama serta alamat kelima tersangka. Empat tersangka dari Miami, 3 dari mereka orang Amerika keturunan Kuba. Di persidangan pula Woodward terkejut setelah mendengar pengakuan seorang tersangka bernama James W. McCord, Jr yang merupakan pensiunan dari lembaga intelijen CIA.
Woodward bahkan sampai berteriak sedikit keras karena pengakuan tersebut. Berbekal informasi di sidang itu, Woodward segera kembali ke kantor dan dari sini pula ia mulai menyelidiki kasus tersebut hingga tuntas. Meski belum menyentuh penguasa tertinggi di negara itu, liputan investigasi duet Woodward dan Bernstein mampu mengungkap skandal Watergate yang bermula dari pembobolan markas Komite Nasional Demokrat itu membuat Presiden Richard Nixon mengundurkan diri pada 1974. Soalnya, semua yang terlibat dalam skandal itu adalah “orang-orang Presiden”.
Selang 48 tahun kemudian pada hari yang sama di bulan Agustus, menjelang jam 7 malam, api tampak membesar melahap sebuah gedung di pusat kota yang berjarak 12 kilometer dari Istana Negara. Asap hitam membumbung tinggi. Tidak lama kemudian puluhan mobil pemadam kebakaran segera merapat ke lokasi kejadian. Kebakaran ini tentu saja tidak terjadi di AS tapi di DKI Jakarta. Itulah kebakaran yang melahap habis Gedung Utama Kejaksaan Agung pada Sabtu, 22 Agustus 2020. Dan tahun yang sama pula diperingati 60 tahun Hari Bhakti Adhyaksa.
Seperti Woodward, kebakaran demikian dinilai sesuatu yang umum. Sebab, kebakaran kerap terjadi di berbagai wilayah di Jakarta. Akan tetapi, kebakaran tersebut menjadi serius dan penting diketahui karena gedung yang terbakar itu adalah Gedung Utama Kejaksaan Agung. Gedung yang termasuk kategori warisan budaya atau heritage dan kerugiannya triliunan rupiah. Kebakaran tersebut perlu diselidiki betul apakah itu sebagai musibah yang tidak disengaja atau ada sesuatu di baliknya. Karena bagaimanapun sebelum kebakaran itu terjadi, Kejaksaan diterpa isu skandal Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Joko Tjandra dan Andi Irfan yang disebut-sebut melibatkan pejabat tinggi di lembaga tersebut.
Hendri Kiswoyo
Secara terpisah, tiba-tiba telepon Tarno berdering. Jam menunjukkan ke arah 7 malam. Suara dari seberang telepon menyebutkan gedung Kejaksaan Agung di kawasan Blok M, Jakarta Selatan terbakar. Mendengar informasi itu, Tarno dan kawan-kawannya kaget.
Belum sempat menjawab apapun, suara dari seberang meminta Tarno dan kawan-kawannya untuk segera datang ke gedung Kejaksaan Agung. Mendengar permintaan itu, Tarno dan kawan-kawannya menyetujuinya. Mereka pun segera bergegas berangkat ke gedung Kejaksaan Agung.
Lalu siapa orang yang memberi kabar kebakaran gedung Kejaksaan Agung itu? Ia adalah Hendri Kiswoyo, karyawan pesuruh (office boy) Kejaksaan Agung. Sementara Tarno merupakan tukang yang sedang merenovasi lantai 6, ruangan Biro Kepegawaian pada Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan. Tarno tidak sendiri tapi bersama dengan Sahrul Karim, Karta dan Halim, semuanya tukang yang berada di bawah naungan CV Central Interior.
Sebelum kebakaran itu terjadi, pada siang harinya, Tarno, Sahrul Karim, Karta dan Halim sedang bekerja merenovasi ruangan Biro Kepegawaian dan ruang kepala Biro Kepegawaian pada pada Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Kejaksaan Agung.
Di sana mereka bertemu dengan 2 tukang akuarium dan Hendri Kiswoyo. Tidak lama berselang juga ada Imam Sudrajat, tukang kertas dinding. Tarno dan kawan-kawannya mengerjakan pantry, bikin lemari, sekat dan memasang vinyl lantai.
Ketika bekerja, Tarno dan kawan-kawannya bekerja sambil merokok termasuk Imam Sudrajat. Mereka menghabiskan antara 4-5 batang rokok hingga pulang sekitar 16.30 WIB. Setelah itu mereka pulang dan tidak merokok lagi karena persediannya sudah habis. Dan gara-gara rokok itulah mereka tersangkut dalam kebakaran gedung Kejaksaan Agung.
Setelah bertelepon dengan Hendri, Tarno dan kawan-kawan pun segera bergegas ke kawasan Blok M. Setibanya di kantor Kejaksaan Agung, rupanya Tarno dan kawan-kawannya tidak bisa masuk karena dihalangi petugas kepolisian dan pemadam kebakaran. Tarno dan kawan-kawannya lalu menghubungi Hendri dan diminta menunggu saja. Hingga sekitar jam 24.00 WIB, tidak ada kabar dari Hendri. Mereka telepon lagi Hendri dan belakangan justru disuruh pulang untuk istirahat.
Setelah berbagai penyelidikan seitar dua bulan kemudian, Kepolisian RI justru menetapkan Tarno dan kawan-kawannya bersama Imam Sudrajat serta Uti Abdul Munir yang merupakan mandor sekaligus pemilik CV Central Interior sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Penyebabnya kealpaan atau kelalaian yang menyebabkan kebakaran. Bukti kelalaian mereka itu antara lain puntung rokok yang dibuang di lantai 6 ruang Biro Kepegawaian pada Jaksa Agung Muda Pembinaan. Tentu ini mengejutkan bagi para tukang itu. Tetapi, benarkah kebakaran itu karena puntung rokok mereka?
Dalam beberapa kali persidangan yang menghadirkan 6 terdakwa yaitu Tarno, Sahrul Karim, Karta, Halim, Imam Sudrajat dan Uti Abdul Munir muncul fakta-fakta lain yang tampaknya janggal. Juga membuat kita tersentak dan terperangah. Mengapa?
Soalnya, berdasarkan fakta tersebut keenam orang itu bisa dikatakan sama sekali tidak terlibat dalam kebakaran itu. Di samping mereka tidak berada di lokasi kejadian, keenamnya pun mendapat kabar kebakaran gedung itu dari seorang karyawan pesuruh (office boy) Kejaksaan Agung bernama Hendri Kiswoyo. Pun demikian soal rokok. Lima terdakwa kasus itu terakhir merokok pada pukul 16.30 WIB dan setelah itu pulang. Sementara kebakaran gedung Kejaksaan Agung baru terjadi menjelang pukul 19.00 WIB.
Lalu apa peran dari keenam orang tersebut? Mereka hanya tukang yang merenovasi ruangan Biro Kepegawaian lantai 6 di Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan. Jaksa penuntut umum (JPU) pun gagal membuktikan puntung rokok para tukang itu yang menyebabkan kebakaran gedung Kejaksaan Agung. Soalnya, puntung rokok tersebut tidak bisa dihadirkan dalam persidangan.
Yang dihadirkan dalam persidangan justru rokok yang dimiliki para tukang dua bulan setelah kejadian kebakaran gedung Kejaksaan Agung. Kuasa hukum terdakwa menyebut hal demikian sebagai fakta sesat. Pendapat yang sama juga disampaikan ahli pidana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Beniharmoni Harefa bahwa pembuktian merupakan kunci dari hukum pidana. Karena itu, ia mengingatkan jangan ada penyesatan fakta dalam perkara tersebut.
Kejanggalan lainnya terkesan terdakwa dan kuasa hukumnya tidak berkeinginan mengungkap kebenaran sejati dari peristiwa ini. Terkesan menyimpan sesuatu. Semisal, keengganan kuasa hukum untuk mengkonfrontasi terdakwa dengan saksi Hendri Kiswoyo, karyawan pesuruh yang mengetahui betul tentang peristiwa itu. Apalagi terdakwa mengetahui kabar peristiwa itu setelah mendapat telepon dari Hendri.
Terbaru, para terdakwa dituntut dengan beragam ancaman pidana. Lima (Tarno, Karta, Halim, Imam Sudrajat dan Saiful Karim) tukang itu, misalnya, dituntut satu penjara. Sementara Uti Abdul Munir yang merupakan mandor sekaligus pemilik perusahaan dituntut 1,5 tahun penjara. Tentu saja tuntutan ini janggal karena kebakaran itu diperkirakan mencapai Rp 1,12 triliun. Dengan kata lain, jika memang enam terdakwa ini pelaku, tuntutannya terlalu ringan.
Mendengar tuntutan tersebut, ekspresi para terdakwa pun tidak kaget atau panik. Tidak ada penolakan yang menggebu-gebu. Kejanggalan-kejanggalan tersebut tentu membuat publik bertanya-tanya. Meski mengungkap kebenaran sejati kasus ini ibarat menelusuri labirin yang berliku dan gelap, tetapi tetap memungkinkan. Skandal Watergate yang ditelusuri Woodward dan Bernstein yang berujung pengunduran diri Nixon bisa menjadi contoh menuntaskan misteri kebakaran gedung Kejaksaan Agung. Apalagi publik berdasarkan fakta persidangan agaknya sulit menerima bahwa puntung rokok para tukang itu menjadi penyebab utama kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung. [Kristian Ginting]