Ilustrasi: Usaha garam rakyat/disperindang.pamekasankab.go.id

Koran Sulindo – Direktur Utama PT Garam, Achmad Boediono, tersangka dalam penyimpangan importasi dan distribusi puluhan ribu ton garam, mengakali Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 125 tahun 2015 yang mengatur perbedaan garam industri dan garam kosumsi. Pada 1 Maret 2017, importasi garam industri dan garam kosumsi berubah, di mana garam kosumsi dikenai bea masuk 10 persen.

Importir harus membayar bea masuk yang akan dimasukkan ke dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kebijakan itu untuk melindungi petani garam yang selama ini sulit berkembang karena kalah bersaing harga dengan garam impor.

Pemerintah kemudian memproteksi kebutuhan garam kosumsi dengan hanya memperbolehkan PT Garam untuk mengimpor. Sementara untuk garam industri diberlakukan bebas dengan syarat untuk keperluan sendiri tidak boleh dipindahtangankan.

Penugasan dari Kementerian BUMN pada PT Garam itu untuk mengimpor garam komsumsi itu dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang saat ini kekurangan stok karena banyak petani lokal gagal panen.

Namun sesuai Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan, yang diimpor oleh PT Garam adalah garam industri dengan kadar NaCl (Natrium Klorida) diatas 97%.

Wakil Kepala Satgas Pangan, Brigjen Agung Setya yang juga menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri, mengatakan Achmad Boediono pada 1 Maret mengumpulkan 53 perusahaan garam yang memproduksi kebutuhan garam kosumsi untuk mendapatkan rencana kebutuhan. Pada tanggal itu juga, Achmad juga mengundang perusahaan importir, 6 dari India dan 2 dari Australia.  Perusahaan yang mengimpor dari Australia mendapatkan jatah impor 55.000 ton, yang dari India sebanyak 20.000 ton garam.

Untuk mengakali mendapatkan SPI nomor 42 dan 43, PT Garam mengubah persentase NaCl menjadi 97 % ke atas, sehingga diberikan surat rekomendasi dari Kementerian KKP kepada Kemendag.

Agung mengatakan di dalam perubahan inilah, terealisasi 75.000 garam untuk menghindari bea masuk.

“Kemudian harga garam industri yang hanya Rp 400 per kilogram, kemudian dijual seharga garam konsumsi menjadi Rp 1.200 per kilogram, ada perbedaan harga yang sangat tinggi. Ini kita rumuskan atas tidak dibayarnya bea masuk 10 persen saja kita bisa menghitung ada Rp3,5 miliar yang tidak dibayar oleh bersangkutan,” kata Agung di Mabes Polri, Minggu (11/6).

PT Garam juga mengolah langsung garam industri ke dalam garam kosumsi yang dikemas dalam bungkus 400 gram dengan merek Segi Tiga G. Hal itu terbukti dari hasil penggeledahan di 4 gudang di Gresik pada Jumat (9/6) lalu.

“Ditemukan 1.000 ton sisanya sudah disebar ke 53 perusahaan yang mana diberikan harga garam kosumsi, padahal itu garam industri,” kata Agung.

Setelah melakukan penyidikan dari menemukan beberapa bukti dokumen penyimpangan importasi oleh PT Garam, polisi Achmad Boediono di kediamannya, Perumahan Prima Lingkar Luar, Jatibening, Bekasi, Sabtu (10/6) kemarin. Agung mengatakan, kasus ini akan terus dikembangkan untuk mencari tersangka lain. [YMA]