Koran Sulindo – Mahkamah Konstitusi (MK) Korea Selatan (Korsel) secara resmi memakzulkan Park Geun-hye sebagai Presiden. Putusan itu diambil secara bulat oleh majelis hakim yang terdiri atas delapan orang.
Akibatnya, Park resmi diberhentikan sebagai Presiden dan berpotensi digugat secara hukum. Park dinyatakan secara serius melanggar hukum dan semangat demokrasi. Choi Soon-sil, orang kepercayaan Park disebut “memeras” miliaran won dan dibiarkan ikut campur dalam urusan negara.
Tuduhan terhadap Park ini juga melibatkan Samsung Group. Apalagi empat pimpinannya didakwa dengan penyuapan dan penggelapan. Seperti dilaporkan dw.com, DPR Korsel telah memberhentikan sementara Park pada Desember tahun lalu karena isu skandal korupsi. Dan putusan MK pada 10 Maret 2017 menguatkan keputusan politik DPR itu.
Menanggapi putusan MK itu, Park tentu saja membantahnya dan menolak terlibat dalam urusan Choi, temannya. Pengadilan akan tetapi berkeras menyatakan Park harus bertanggung jawab atas tindakan Choi. Apalagi membiarkan Choi ikut campur dalam urusan negara.
Meski demikian, Park akan tetap menyandang jabatan presiden tanpa kekuasaan hingga terpilih penggantinya. Pemilihan presiden Korsel akan digelar dalam waktu 60 hari setelah putusan MK itu.
Peristiwa ini mengingatkan publik pada kisah yang serupa di Indonesia. Skandal mega-korupsi yang melibatkan banyak pejabat tinggi termasuk Ketua DPR Setya Novanto. Apa yang terjadi di Korsel itu juga menjadi pembeda keseriusan negara dalam memberantas korupsi.
Berdasarkan dakwaan terhadap Irman (mantan Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri) dan Sugiharto (mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Dukcapil) pada Kamis (9/3) kemarin nama Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar disebut turut serta melakukan korupsi dan melawan hukum yaitu pengadaan e-KTP secara nasional tahun anggaran 2011 hingga 2013.
Dalam dakwaan itu juga disebut bagaimana Novanto bersama seorang pengusaha bernama Andi Agustinus alias Andi Narogong, Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Golkar), dan M Nazaruddin (mantan Bendahara Partai Demokrat) mengatur anggaran pengadaan proyek e-KTP. Sekitar 51 persen atau Rp 2,7 triliun dari total anggaran Rp 5,9 triliun akan akan dipergunakan sebagai belanja modal untuk pembiayaan proyek.
Sisanya sekitar Rp 2,6 triliun akan dibagi-bagikan kepada beberapa pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto serta anggota DPR. Sementara jatah untuk Novanto dan Andi Agustinus mencapai sekitar Rp 574 miliar. Komisi yang serupa juga diperoleh Anas dan Nazaruddin.
Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah menegaskan soal keterlibatan Novanto. Lembaga anti-rasuah itu disebut telah mengantongi dua alat bukti permulaan yang cukup sehingga berani menyatakan Novanto turut serta dalam perbuatan korupsi itu. Karena itu, KPK telah menyiapkan alat bukti untuk menyeretnya ke pengadilan.
Menaruh Harapan pada KPK
Presiden Joko Widodo mengakui program e-KTP menjadi kacau karena anggarannya digarong ramai-ramai mulai dari pejabat di Kemendagri hingga anggota DPR. Padahal, jika program itu bisa dilaksanakan secara baik, maka persoalan administrasi kependudukan akan dapat diselesaikan. [Baca juga: Korupsi E-KTP, Bermula dari Ruangan Setya Novanto]
Ia pun menaruh harapan pada penyidik KPK untuk menuntaskan kasus yang terjadi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Apalagi itu menjadi harapan bersama terutama rakyat.
Setelah namanya disebut dalam dakwaan, Novanto tetap berkeras dan membantah terlibat dalam kasus korupsi e-KTP. Tidak seperti di Korsel, tindakan politik untuk mencoba “melengserkan” Novanto dari jabatannya pun kurang bergema. Sebab, bukan Novanto namanya jika tidak mampu berkelit dan menghindar dari persoalan hukum.
Berkali-kali skandal korupsi selalu menyebut nama Novanto, namun berkali-kali pula ia bisa lolos dari jerat hukum. Terakhir adalah soal skandal “papa minta saham” untuk memuluskan kontrak PT Freeport Indonesia. Sebelum, Mahkamah Kehormatan DPR menjatuhkan hukuman, Novanto memilih untuk mundur dari jabatannya.
Itu kemudian memicu Kejaksaan Agung untuk menyidik keterlibatan Novanto dalam skandal tersebut. Belakangan, kasus ini mandek, Novanto kembali menjadi Ketua DPR dan nama baiknya dipulihkan.
Kali pertama nama Novanto tersohor ketika dikaitkan dengan skandal pengalihan hak piutang (cessie) PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang diduga merugikan negara sebesar Rp 900 miliar pada 1999. Bank Bali kala itu mengalihkan dana sebesar lebih dari Rp 500 miliar kepada PT Era Giat Prima yang dimiliki Novanto, Djoko S. Tjandra dan Cahyadi Kumala.
Meski Kejaksaan berhasil membawa Djoko Tjandra ke pengadilan, Novanto berhasil lolos berkat surat perintah penghentian penyelidikan (SP3). Nama Novanto juga disebut dalam kasus impor beras dari Vietnam sebanyak 60 ribu ton pada 2003. Ia berhasil memindahkan beras itu dari Bea Cukai melalui perusahaannya tanpa membayar pajak yang sesuai aturan.
Skanda limbah beracun lebih dari 1.000 ton dari Singapura ke Batam pada 2004 juga sempat mengguncang Indonesia. Lagi, nama Novanto terseret dalam kasus itu sebagai pemilik perusahaan yang menandatangani kerja sama dengan perusahaan Singapura.
Kasus yang belum terlalu lama yang juga menyebut nama Novanto adalah kasus korupsi proyek pembangunan lapangan tembak PON di Riau pada 2012. Novanto disebut menggunakan pengaruhnya untuk memuluskan anggaran PON dari APBN. Penyidik bahkan sempat menggeledah ruang kerjanya pada Maret 2013 dan terakhir hanya menjadi saksi dalam kasus itu.
Setelah semua kasus itu, terutama penyebutan namanya dalam dakwaan kasus korupsi e-KTP, akankah Novanto masih bisa berkelit seperti sebelumnya? Menarik untuk mengikuti kisah Novanto selanjutnya. [KRG]