Pada suatu hari di bulan Juli 1799, di sebuah kota kecil bernama Rosetta kini dikenal sebagai El Rashid di tepi anak sungai Nil, tentara Prancis yang tengah membangun benteng dalam rangka invasi Napoleon ke Mesir menemukan sebuah fragmen batu besar yang mengubah arah ilmu pengetahuan dunia.
Batu berwarna gelap dari granodiorit itu yang kemudian dikenal sebagai Batu Rosetta menyimpan prasasti dalam tiga aksara: hieroglif Mesir, Demotik, dan Yunani.
Penemunya, perwira Prancis Pierre François Xavier Bouchard, segera menyadari bahwa ketiga prasasti itu tampaknya adalah versi dari satu teks yang sama.
Keyakinan itu terbukti ketika bagian Yunani menyatakan bahwa dekrit pada batu akan ditulis dalam “aksara suci, asli, dan Yunani” mengacu pada hieroglif, demotik, dan bahasa Yunani.
Batu tersebut dinamai sesuai tempat penemuannya, dan sejak saat itu, Batu Rosetta tidak hanya menjadi objek arkeologi, tetapi juga simbol kekuasaan, lambang pengetahuan, dan pusat sengketa warisan budaya yang berlangsung selama lebih dari dua abad.
Warisan Penjajahan
Melansir laman American Research Center In Egypt, penemuan Batu Rosetta terjadi dalam konteks kolonialisme global di akhir abad ke-18. Setelah kekalahan Prancis oleh aliansi Inggris dan Ottoman pada tahun 1801, Batu Rosetta secara resmi diserahkan kepada Inggris melalui Perjanjian Alexandria, dan setahun kemudian dipindahkan ke British Museum, tempat ia dipajang hingga hari ini dengan nomor registrasi BM EA 24.
Namun, pameran itu bukan tanpa kontroversi. Di salah satu sisinya tertera tulisan bahwa batu tersebut “direbut di Mesir oleh tentara Inggris pada tahun 1801” dan “dipersembahkan oleh Raja George III.”
Konteks ini mencerminkan dinamika kekuasaan kolonial: Mesir saat itu bagian dari Kekaisaran Ottoman, namun harus menghadapi dua kekuatan besar Eropa, Prancis dan Inggris yang berebut pengaruh atas wilayah dan kekayaannya.
Invasi Napoleon pada 1798 membuka jalan bagi masa panjang eksploitasi budaya Mesir oleh kekuatan asing, memunculkan protes rakyat, pemberontakan, serta nasionalisme di kalangan penduduk lokal, baik Muslim maupun Koptik.
Bagi para tentara Prancis, Batu Rosetta adalah lambang penemuan ilmiah. Bagi Inggris, ia menjadi trofi kemenangan kolonial. Sementara itu, bagi banyak orang Mesir, batu ini adalah bagian dari identitas budaya yang terampas.
Tak mengherankan bila dalam beberapa dekade terakhir, muncul tuntutan agar artefak ini dikembalikan ke tempat asalnya—tuntutan yang hingga kini masih diperdebatkan.
Kunci Membuka Bahasa Mesir Kuno
Batu Rosetta menjadi pusat perhatian para filolog dan ahli bahasa sejak awal abad ke-19 karena sifat trilingual-nya. Meski hieroglif paling mencolok secara visual, usaha awal menguraikan teks justru dimulai dari bagian Demotik, karena bagian ini adalah versi Mesir yang paling lengkap dan terjaga.
Filolog Prancis Antoine Isaac Silvestre de Sacy dan muridnya dari Swedia, Johan David Åkerblad, menjadi tokoh awal yang berhasil mengidentifikasi nilai fonetik beberapa tanda dan membaca nama-nama pribadi dari teks Demotik. Usaha mereka menggunakan perbandingan dengan teks Yunani sebagai landasan awal penguraian.
Kemudian muncul dua nama besar dalam perlombaan penguraian hieroglif: Thomas Young dari Inggris dan Jean-François Champollion dari Prancis.
Meski Young lebih dulu membuat kemajuan dengan mencocokkan nama-nama kerajaan, seperti “Ptolemaios” dalam cartouche (bingkai oval kerajaan), Champollion-lah yang memimpin terobosan besar.
Champollion, yang sejak kecil terobsesi pada Mesir kuno, belajar bahasa Koptik, bentuk lanjut dari bahasa Mesir, untuk menguraikan makna simbol-simbol kuno. Ia berhasil menunjukkan bahwa hieroglif bukan hanya lambang simbolik, tetapi juga sistem fonetik.
Dengan mengaitkan kata Koptik mise (melahirkan) dengan simbol hieroglif, ia menjadi orang pertama dalam lebih dari seribu tahun yang dapat membaca nama Ramses dan Thutmosis dalam aksara aslinya.
Konon, saat menyadari penemuannya, ia berlari ke kantor saudaranya, berteriak, “Aku mendapatkannya!”, lalu pingsan dan tidak sadarkan diri selama seminggu karena kelelahan dan kegembiraan.
Penemuan Champollion menandai kelahiran disiplin ilmu baru: egiptologi.
Isi Batu Rosetta bukan sekadar teks suci, melainkan sebuah dekrit resmi yang diumumkan oleh sinode imam-imam Mesir pada 27 Maret 196 SM di kota Memphis, untuk meresmikan penobatan Ptolemeus V Epifanes, seorang raja muda berusia 13 tahun dari dinasti Ptolemeus.
Dekrit tersebut adalah bagian dari tradisi panjang dekrit imamat—kerjasama antara kerajaan dan otoritas keagamaan Mesir. Memphis, meskipun telah tersisih secara ekonomi oleh Alexandria, tetap menjadi kota simbolis penting sebagai penghubung ke masa firaun.
Maka tak heran bila penobatan resmi dilakukan di sana dan disebarkan dalam bentuk prasasti seperti Batu Rosetta.
Isi dekrit tersebut mencakup dukungan para imam terhadap raja, dengan imbalan berbagai kebijakan menguntungkan: keringanan pajak, amnesti bagi tahanan, peningkatan tunjangan imam, dan penghormatan terhadap pemujaan hewan suci.
Sebagai gantinya, raja dipuja melalui patung-patung yang akan ditempatkan di kuil-kuil, serta perayaan hari kelahirannya dan hari kenaikan takhta tiap bulan.
Namun, semua ini terjadi dalam konteks politik yang tidak stabil. Sebelum Ptolemeus V naik takhta, Mesir mengalami pemberontakan besar di Mesir Hulu dan Delta pasca-pemerintahan Ptolemeus IV.
Raja muda ini juga tidak naik takhta secara penuh sejak kematian ayahnya di usia dini. Ia dimahkotai oleh para bupati yang juga diduga terlibat dalam pembunuhan ibunya, Ratu Arsinoe III.
Penobatannya secara resmi baru berlangsung sembilan tahun kemudian dan dikukuhkan melalui dekrit yang kini dikenal lewat Batu Rosetta.
Rangkaian Dekrit Sejenis dan Temuan Arkeologis
Dekrit Memphis bukan satu-satunya. Ia merupakan bagian dari jaringan dekrit imamat Ptolemeus yang melibatkan perundingan antara kerajaan dan para imam sebagai pilar kekuasaan. Contoh lainnya adalah:
Dekrit Mendes (264/3 SM) – Ptolemeus II Philadelphus
Dekrit Aleksandria (243 SM) dan Canopus (238 SM) – Ptolemeus III Euergetes
Dekrit Raphia (217 SM) – Ptolemeus IV Philopator
Dekrit Philae I & II (186–185/4 SM), dan dekrit Nobaireh (182 SM) – Ptolemeus V
Temuan arkeologi modern juga menambah daftar ini, seperti fragmen dekrit Aleksandria dari el-Khazindariya (1999–2000) dan fragmen dekrit Canopus dari Tell Basta (2004). Temuan-temuan ini memperkaya pemahaman kita tentang hubungan kompleks antara kekuasaan politik dan agama di Mesir Helenistik.
Dari konflik kolonial dan penguraian linguistik, hingga perdebatan etika repatriasi dan simbolisme modern, Batu Rosetta telah melintasi ruang dan waktu.
Ia bukan hanya artefak arkeologis; ia adalah ikon dunia yang terus hidup dalam memori kolektif global. Istilah “Batu Rosetta” kini digunakan untuk menyebut segala bentuk kunci pemecahan kode dan misteri—mulai dari teknologi hingga ilmu komputer.
Namun, di balik semua itu, ada kisah panjang tentang perjumpaan budaya, penjajahan, dan pencarian makna. Dan seperti teks trilingual yang terukir di permukaannya, Batu Rosetta tetap menjadi saksi bisu dari tiga kekuatan besar: bahasa, kekuasaan, dan sejarah. [UN]




